Syarah Ruba’i; Tafsir Syamsuddin Sumatrani atas Syair Mistik Hamzah Fansuri

Kitab Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri adalah salah satu karya Syekh Syamsuddinn As-Sumatrani (w.1630) yang berisi tafsir atas syair-syair Hamzah Fansuri (w.1590). Kitab tersebut memuat 39 bait syair Hamzah. Kitab ini juga menjadi salah satu rujukan bagi mereka yang ingin memahami makna syair mistik Hamzah Fansuri secara mendalam. Selain itu, kelebihan Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri adalah bahwa ia ditulis oleh murid langsung Syekh Hamzah Fansuri atau setidaknya orang yang hidup sezaman dengannya dan setuju dengan pemikiran-pemikirannya.
Pada tahun 1976, Ali Hasjimi menerbitkan Naskah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri karya Syekh Syamsuddin. Naskah tersebut ia peroleh dari sisa perpustakaan Kutubkhannah Dayah Tiro, sebuah perpustakaan terbesar dimasa lalu, milik ulama-ulama Tiro Aceh yang terkenal. Naskah tersebut disimpan oleh Teungku Muhammad Yunus Jamil dan kemudian disalin kembali oleh Ali Hasjimi sendiri pada tahun 1972. Penyalinan tersebut, menurut Ali Hasjimi adalah dalam rangka mengetengahkan kembali pemikiran tasawuf Syekh Hamzah Fansuri setelah lama terpendam dan dilupakan masyarakat muslim Nusantara.
Ada empat pokok penting pemikiran Syekh Hamzah yang disyarah Syamsuddin dalam kitab tersebut yaitu tajalli, makrifat, suluk dan nur muhammad.
1. Tajalli
Wujud Allah Maha Sempurna. Allah menciptakan manusia dan alam semesta sendiri tanpa memerlukan sekutu. Allah juga tidak bercerai dari sekalian makhluk ciptaan-Nya sejak sedia hingga selama-lama. Itu sebabnya para pecinta (sufi) menjadikan ia sebagai mahbub (sebagai tujuan atau sebagai yang dicintai). Kata Syamsuddin, Allah tidak bercerai dari Ahlullah, sejak martabat azal (alam azali) hingga martabat abad (selama-lama).
Arif Billah (sufi) menyebutkan, “Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allah bertajalli padanya.” Pada martabat azal dan martabat arwah, Allah bertajalli dengan sirr (dengan tersembunyi). Akan tetapi pada martabat ‘abad Allah bertajalli pada sekalian semesta (dengan nyata). Walaupun tajalli Allah nyata pada alam semesta, Ia hanya dapat disaksikan oleh Arif Billah dan tidak terlihat oleh orang awam.
Allah tersembunyi di alam nyata; bertajalli dengan makhluknya. Allah senantiasa nyata bagi Arif Billah dan tidak terlihat bagi orang awam. Mereka yang memiliki pandangan demikian secara sempurna akan mabuk sehingga terkadang keluar kata-kata yang menentangi syari’at. Ketika Husein Manshur Al Hallaj karam dalam makrifat; ia menyaksikan Allah nyata dalam seru sekalian alam; lalu Al Hallaj keluar dan menyampaikan kesaksiannya. Ia berujar dalam mabuknya, “Ana Al-Haq!”
2. Makrifat
Kajian mistik-makrifat terkait perbedaan pandangan antara Arif Billah dengan orang awam dalam melihat tajalli Allah di alam semesta. Ketika Arif Billah mengenal Allah, mereka disebut alim, dan ketika Allah mengenal Arif Billah, maka mereka disebut bangsawan. Inilah yang dimaksud syair Hamzah, lagi alim lagi bangsawan. Alim dimaksud adalah makrifat dan bangsawan yang dimaksud adalah beroleh kemuliaan dunia dan akhirat.
Penyebab orang awam tidak dapat melihat Allah lantaran mata batin mereka tertutup oleh kesibukan mencari kesenangan dunia (syair berahimu daim akan orang kaya); kesibukan memperturutkan hawa nafsu dengan lalai dan maksiat (syair nafsu dan syahwat daim sertamu); dan didalam tubuh diliputi oleh kedirian (syair dunia nan kau sandang-sandang).
Syamsuddin dalam tafsirnya menuliskan bahwa mabuk dunia justru membahayakan diri sendiri. Orang yang tidak mengenal agama dengan baik karena terlalu sibuk dengan dunia, nafsu dan syahwat, tidak akan sampai kepada maqam fana’ dan baqa’ selama-lama. Jika dunia masuk ke dalam hati; maka Allah akan keluar darinya. Begitupun sebaliknya jika dunia keluar dari dalam hati, maka cahaya Allah akan mudah masuk ke dalamnya. Jadi jelas, siapapun yang tidak menjauhi dunia, tidak akan pernah sampai kepada makrifat. Siapapun yang masih condong kepada nafsu tidak akan pernah sampai (wasil) kepada Allah.
3. Suluk
Menurut Hamzah, walaupun kita menguasai ilmu syari’ah, akidah dan muamalah, jika tidak disertai dengan suluk (makrifah dan fana) maka semuanya hanya sia-sia belaka. Maka, untuk mencapai makam tersebut, seseorang harus senantiasa bermuraqabah (mengingat Allah dan melakukan ibadah serta perbuatan baik), mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi angan-angan duniawi yang berkepanjangan. Ilmu agama bagi mereka yang tidak melengkapi diri dengan makrifat dan fana hanya akan menjadi alat untuk mencari keuntungan duniawi semata. Maka, wajib bagi orang Islam untuk menuntut ilmu makrifat tersebut supaya mereka sampai pada maqam istirahat.
Orang yang menuju Allah harus mengemis penuh hiba. Ia harus masuk ke dalam pagar rabbani, dan membuang segala sesuatu selain-Nya. Ia harus menempuh jalan syari’at, melalui tarekat dan mencari bimbingan dari guru yang ‘arif hingga mendapat makrifat dan washil (sampai) kepada Tuhannya.
Pertajam mata batin, butakan mata zahir, isbatkan Allah dan nafikan selainnya. Semua itu harus dilalui dengan jalan suluk dan ma’rifat. Siapa yang ingin memandang wujud Allah maka ia tidak diperkenankan memandang kepada selain Allah. Karena untuk sampai kepada Allah (washil), seseorang harus melenyapkan diri (memiskinkan diri), lenyap secara wujud, sifat, tubuh dan perbuatan seperti orang mati yang telah dikubur atau seperti laron yang menceburkan diri ke dalam api.
Fana fillah – baqa billah; lenyap dalam Allah – kekal bersama Allah dengan cara mengikuti syari’at dan hakikat Muhammad. Kata Syamsuddin, fanakan akal dan rasa (bahkan badan dan nyawa) karena kesemuanya adalah ta’yin makhluk. Penjamkan mata zahir supaya terbuka mata batin. Mereka yang telah sampai pada maqam fana akan memperoleh tempat diam yang tetap (makam sakinah) dan dapat beristirahat. Ia melepas cinta pada selain Allah dengan tawakal, zikir nafi isbat dan meminta perlindungan hanya kepada Allah.
4. Nur Muhammad
Nur Muhammad adalah pancaran pertama dari tajalli Allah. Ketika pada mulanya Allah adalah kanz makhfiyan (permata yang tersembunyi) yang ingin dikenal; maka Allah menjadikan nur Muhammad yang darinya Allah menjadikan sekalian alam. Nur Muhammad juga merupakan cermin dari Wujud, Dzat, Sifat dan Asma. Darinya lahir segala kebaikan maupun keburukan; segala kekurangan maupun kelebihan; segala kesempurnaan maupun ketidaksempurnaan.
Hakikat Muhammad nyata bagi sekalian alam. Itu sebabnya ia juga disebut awal dan akhir karena dialah permulaan ciptaan dan ia pula penghabisannya Sekalian alam nyata (maujud) dari Hakikat Muhammad dan Hakikat Muhamamd nyata (maujud, merupakan tajalli) dari hakikat Al-Wujud. Itu sebabnya ada hadist Qudsi yang menyebut,”Aku ciptakan Engkau Ya Muhammad daripada Ku dan Aku ciptakan alam semesta daripada engkau.” Wallahu a’lam.
Penulis: Ramli Cibro (Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh)
Editor: Khoirum Millatin