Thariqah Syatthariyah: Pendiri Hingga Amalannya

Asal Mula Munculnya Thariqah Syatthariyah
Thariqah Syatthariyyah adalah thariqah yang dinisbatkan kepada Syekh Abdullah Asy-Syatthar (w.890 H/1428 M). Ulama ini masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihabuddin Abu Hafsh 'Umar As-Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang memopulerkan Thariqah Suhrawardiyah.
Muncul pertama kali di India, awalnya thariqah ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Al-'Isyqiyyah. Sedangkan di wilayah Turki 'Utsmani, disebut Al-Busthamiyyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Imam Abu Yazid Al-Busthomi Al-'Isyqi.
Nisbah Asy-Syatthar yang berasal dari kata ‘Syathara’ artinya membelah dua dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam Zikir Nafi Itsbat, La ilaha (nafi) dan illallah (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washithah (mursyid).
Oleh karena popularitas Thariqah'Isyqiyyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan Thariqah Naqsyabandiyyah, 'Abdullah Asy-Syatthar dikirim ke India oleh gurunya, Syekh Muhammad 'Arif. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan thariqahnya tersebut.
Syatthariyyah di Indonesia berasal dari Makkah, tidak dari India. Adalah Syekh 'Abdul-Raûf Singkel yang membawa thariqah ini pertama kali ke Aceh, dalam bimbingan Syekh Ahmad Al Qusyasyi di Makkah selama 19 tahun.
Sepeninggal 'Abdullah Asy-Syatthar, Thariqah Syatthariyyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syathiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Thariqah Syatthariyyah sebagai thariqah yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri.
Tradisi Thariqah Syatthariyyah yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh Syekh Shibghatullah bin Rûhullah (1606), salah seorang murid Wajihudîn dan mendirikan zawiyah di Madînah. Thariqah Syatthariyyah ini kemudian disebarluaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya, Syekh Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan Thariqah ini yaitu seorang guru asal Palestina Ahmad Al-Qusyasyi.
Setelah Ahmad Al-Qusyasyi meninggal, Syekh Ibrahim Al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Thariqah Syatthariyyah yang terkenal di wilayah Madînah. Ahmad Al-Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani adalah guru dari 'Abdul-Raûf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatthariyyah di Indonesia.
Bahkan, sebelum 'Abdul-Raûf Singkel, Thariqah Syatthariyyah telah diajarkan oleh Muhammad bin Fadhlullah Al-Burhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajīhuddin, melalui kitabnya yang berjudul Tuhfat Al-Mursalāt ila Ar-Rūh An-Nabi.
Di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddîn dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Syekh Abdul-Muhyi. Dari Jawa Barat, thariqah ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Thariqah Syatthariyyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim Al-Kurani yaitu Syekh Yûsuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Amalan Zikir Thariqah Syatthariyyah
Tujuh macam zikir Thariqah Syatthariyyah meliputi Thawaf, Zikir Nafi Itsbat, Itsbat Faqod, Ismu Dzat, Zikir Taraki, Zikir Tanazul, dan Zikir Ismu Ghaib.
Mengucap kalimat لا اله الا الله sebanyak 3x dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya memutar kepala, mulai dari bahu kiri. Alat penunjuknya adalah dagu (simbol pena Allah dengan tinta Nur Muhammad). Dengan dagu tersebut lalu menggaris dada (mulai dari bahu kiri) menuju bahu kanan, berpusat pada pusar, membentuk Lam Alif dengan mengucap kalimah “Lâ ilâha” (zikir pertama), dengan menahan nafas.
Setelah sampai pada bahu yang kanan lalu menarik nafas, baru mengucapkan (zikir kedua) yaitu kalimah itsbât ‘Illallah’ yang dipukulkan (oleh dagu) tersebut ke dalam sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah payudara kiri. Bahu kanan sebagai tempat menarik nafas ketika hendak mengucap kalimah nafi “Illallah” adalah simbolnya “maqâm firâq”. Simbol pisahnya yang hak dan yang batil. Simbol nafinya dzat, sifat dan af’alnya hamba supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya yang wujud dan yang ada adalah yang diitsbatkan (ditetapkan) dalam qalbu. Yaitu Diri-Nya Ilahi Al-Ghaib yang hanya dapat diketahui dari guru wasithah (mursyid) yang berhak dan sah menunjuki.
Maksud dan kandungan makna dari zikir muqaddimah (zikir pertama dan kedua), yang bertempat pada bahu kiri (tempat mulai thawaf) dan bahu kanan (tempat menarik nafas) adalah simbol hamba yang mempunyai keberanian dengan tekad, kemantapan, meski betapa pun berat risiko yang harus ditanggung guna memenuhi amanat ilahi. Jadi sebagai simbol keberanian memikul amanah dari Allah, yaitu,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنࣖ
“Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati).”
Ayat tersebut mengandung makna supaya menyembah Tuhan yang asma-Nya Allah dengan kesungguhan berjihâdun-nafs supaya dapat lulus dalam mengikuti watak dan jejak para Malaikatul Muqarrabin, rela sepenuh qalbu bersujud (memperlakukan diri bagai mayat yang patuh dan taat di hadapan yang berhak dan sah mensucikannya) hingga akan ditarik keutamaan dan rahmat-Nya dapat merasakan seyakinnya kehadIran yang disembah itu.
Ketika menjelajahi jagat (menjalani kehidupan dunia sebatas umur masing-masing sebagai ujian dan cobaan ini) supaya dapat lurus harus berani menahan nafas, karena menahan nafas merupakan lambang sesuatu yang amat sangat penting. Agar dapat menjadi hamba-Nya, karena dapat dimengertikan bagaimana cara mengadili diri sendiri supaya hidupnya tidak ditipu daya, apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu. Lalu menjadi hamba yang hurriyah tammah (merdeka secara sempurna). Menjadi hamba yang jiwanya merdeka sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya Ilahi di muka bumi. Dijadikan oleh-Nya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri. Karena itulah ketika melakukan zikir itsbat (Illallah), dagu dipukulkan ke arah sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak berfungsi (dapat dikendalikan).
Kalimah Nafi Itsbât (kalimah thayyibah) yaitu “Lâ Ilâha Illallah” (dilafalkan secukupnya). Zikir ini dilakukan sebanyak mungkin dengan menghidupkan angan-angan, bahwa semua hal tentang dunia dan apa saja termasuk jiwa raganya, nafi, tidak ada. Dibarengi dengan hati mengintai-intai dirinya Ilahi. Dan apabila masih selalu merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata memang demikianlah yang terjadi), maka segeralah menyadari atas salah dan dosanya sendiri. Masih banyaknya lakon dan pitukon yang belum dijalani. Masih banyak sekali keteledoran dan masih sangat kurang kesungguhannya dalam ber-jihâdun-nafs. Dengan demikian jiwa dan taubat nashuha-nya terus menghidupi diri. Itulah sebabnya warga Syatthariyyah apabila melakukan zikir nafi itsbat suara yang dikeraskan adalah suara nafi-nya. Sebab begitu mengucap “ill”(yang lengkapnya Illallah) suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai asma’ Allah
Zikir ini berupa lafal “illallah” (diucapkan sebanyak 7x). dipukulkan ke dalam nurani dengan alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas bahwa hanya diri-Nya lah Dzat yang Wujud dan yang Ada. Sehingga qalbu yang menjadi markas besarnya nafsu lawwamah ini benar-benar diam. Tidak akan mengganggu perjalanan dan cita-cita nurani, ruh dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai makrifat kepada-Nya.
Zikir Ismu Dzat yaitu “Allah” (diucapkan sebanyak 7x) Arah yang dipukul oleh dagu tepat pada tengah-tengah dada. Mengarah pada ruh yang keberadaannya di dalam nurani. Supaya benar-benar disadari dan dipahami bahwa ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan dengan keluar masuknya nafas dalam dada, lalu karena itu wujud jiwa raga mempunyai daya dan kekuatan, ini semua adalah min rûhihi. Daya dan kekuatan Allah sama sekali bukan daya dan kekuatan nafsu yang terbiasa telah diaku oleh wataknya nafsu. Sebab bila dilanjutkan terus-menerus sama saja dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya.
Zikir Taraki yaitu “Allah Huwa” dibaca sebanyak 7x atau ganjil. Ucapan Allah diambil dari dalam dada, dan “Huw” dimasukkan ke dalam Baitul-Ma'mur (markaznya berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh cahaya Ilahi, sehingga potensi pikir akan benar-benar dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah dunia. Thariqah ini mengelola garapan dunia yang oleh Allah tidak diciptakan dengan sia-sia. Namun karena markas berpikir selalu diterangi oleh cahaya-Nya, sama sekali tidak akan ditujukan untuk mengumpulkan harta benda dunia, bersenang-senang, mengumbar hawa nafsu dan syahwat serta berbangga-bangga dan bermegah-megah dengan kehidupan dunia. Melainkan semata-mata demi untuk “subhaanaka”. Demi untuk mensucikan Dzat yang Maha Suci. Oleh karena itu, hasil kerja kerasnya semata-mata dijadikan sebagai pancaran yang kokoh, guna mensucikan diri supaya dapat sampai selamat dan bahagia bertemu kembali dengan Dzat yang Maha Suci.
Zikir ini berupa lafad “Huwallah” (sebanyak 7x). “Huw” diambil dari Baitul-Ma'mur (otak), dan kalimah Allah dimasukkan ke dalam dada. Sebab Akhirat itu pintu masuknya ada di dalam dada. “Al-taqwa hahuna” (tiga kali) sebagaimana sabda Nabi Muhammad yang ditunjuk beliau adalah dadanya. Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi, bahwa hidup dan kehidupan dunia dengan segala kewajiban hamba yang dilakukannya adalah merupakan proses nyata terhadap kandungan makna “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”.
Zikir Isim Ghoib yaitu “Huwa” (dibaca huw dengan mulut tertutup, secukupnya). Dengan mata terpejam dan mulut dikatupkan. Yang diarahkan tepat pada tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa yang telah diisi dengan zikir (ingatnya nurani pada Al-Ghaib, isinya Huw). Zikir huw ini asalnya dari ha’ wawu di-dhammah. Yaitu dhamir huwa. Dhamir yang maknanya adalah “sesuatu yang tersimpan di dalam qalbu tentang ada dan wujud diri-Nya Dzat Al-Ghaib. Dan ini adalah makna kandungan firman Allah. dalam Surat Al-Ikhlas,
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah, Dia adalah Allah Yang Esa”
Kitab As-Simth Al-Majid menjadi rujukan utama Syatthariyyah, karya Syekh Ahmad Al-Qusyasyi asal Palestina, guru Syekh Abdur Rauf Singkel di Makkah. Dari jalur Syekh Al-Qusyasyi inilah, Indonesia mendapatkan sanad Thariqah Syatthariyyah. Meskipun agak sulit mendapatkan kitab Berbahasa Arab yang induk dalam Thariqah ini mengingat pendirinya asli India yaitu Syekh Abdullah Asy-Syatthar. Dalam kitab ini kita bisa mendapatkan kejelasan inti ajaran Syatthariyyah yang bersanad.
Syatthariyyah diajarkan dengan bahasa ‘Arab pertama kali oleh Syekh Ahmad Syimnawi, murid Syekh Shibghatullah. Shibghatulaoh yang membawa Thariqah Syatthariyyah ke Makkah. Ada juga kitab lainnya yaitu 'Umdah Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufrodin karya Syekh Abdur-Rauf Singkel. Di antara contoh sanad (silsilah) Thariqah Asy-Syatthariyyah adalah dari Nabi Muhammad kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin 'Ali Asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid Al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib; kepada Syekh 'Arabi Al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Quthb Abu Hasan Al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh 'Abdullah Asy- Syatthar, kepada Syekh Hidayatulloh Saramat, kepada Syekh Al-Hajj Al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib 'Abdullah Ahmad bin 'Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), Kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH. Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
Penganut Thariqah Syatthariyyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut thariqah ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syatthar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syatthar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia zikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan thariqah ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, 'uzlah, muraqabah, sabar, ridha, zikir dan musyahadah. Demikianlah sekilas pengantar tentang Thariqah Syatthariyyah. Lebih rinci, silakan datang ke mursyid, khalifah atau badal Thariqah Syatthariyyah di daerah terdekat.
Sumber: Thuruq As-Salikin, disusun oleh Lajnah Ta'lif wa Nasyr (LTN) JATMAN Jawa Timur
Editor: Khoirum Millatin