Thariqah Syadziliyyah: Ajaran Hingga Perkembangannya
Asal-usul Syekh Abul-Hasan Asy-Syādzili
Imam Abul-Hasan Asy-Syādzili lahir di Desa Ghumaroh, dekat kota Sabtah, Maroko pada tahun 593 H/1197 M. Nama lengkapnya adalah Abul-Hasan 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abdul-Jabbār bin Tamīm bin Hormuz. Ia adalah keturunan ke-22 Rasūlullah saw. Sejak kecil Asy-Syādzili biasa dipanggil dengan nama ‘Ali. Ia dikenal sebagai orang yang memiliki akhlak yang amat mulia. Tutur katanya fasih, halus, indah, dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Asy-Syadzili juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya, Asy-Syadzili mendapat tempaan pendidikan akhlak serta cabang-cabang ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah bundanya.
Pada usia yang masih anak-anak itu, Asy-Syadzili juga sudah menghafal Al-Qur`an serta menekuni sunnah-sunnah Nabi Muhammad saw. Pada usia 6 tahun (599 H /1202 M) di Tunis, Asy- Syādzili didatangi oleh Nabi Khidhir yang membawa kabar bahwa Asy-Syādzili diangkat menjadi wali agung. Kabar ini Asy-Syādzili laporkan kepada salah satu ulama besar Tunis saat itu, Syekh Abu Sa’id Al-Baji (w. 628 H). Kebetulan kepindahannya ke Tunis, ibukota Tunisia, Afrika Utara, memang untuk berguru kepada Syekh Abu Sa'id Al-Baji selama lebih kurang 19 tahun, ulama terkemuka pada masa itu. Dari gurunya ia mempelajari ilmu-ilmu, seperti Al-Qur`ān, hadis, fikih, akhlak, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Tidak hanya itu, ia juga berkesempatan menemani gurunya menunaikan ibadah haji di Makkah.
Pada tahun 615 H/1218 M, di usianya yang ke-22, ia bertolak ke timur setelah merasa bahwa apa yang dipelajarinya masih berada dalam tatanan Syariat saja. Di Irak, ia menemui pemimpin Thariqah Rifā’iyyah, Syekh Abul-Fattah Al-Wasithi. Dalam pertemuan tersebut, Imam Asy-Syādzili dinasihati untuk mencari seorang guru spiritual yang sedang melakukan pengasingan diri di sebuah gunung di tanah kelahirannya. Ia lantas berpamitan dan bergegas melakukan perjalanan kembali ke kampung halamannya. Setelah bertanya-tanya, akhirnya ia mengetahui bahwa seseorang yang dimaksud adalah Syekh Abdus-Salām bin Masyīsy Al-Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathah. Dari Syekh Abdus-Salām bin Masyīsy Al-Hasani, Imam Asy-Syādzili menerima banyak ilmu yang mampu menghantarkannya untuk dekat dengan Allah sekaligus ijazah serta baiat sebuah thariqah yang rantai silsilahnya menyambung hingga ke hadirat Allah.
Setelah merasa cukup, Syekh Abdus-Salām bin Masyīsy Al-Hasani menghimbau Imam Asy-Syādzili untuk menetap di Syadzilah, Tunisia hingga akhirnya terkenal dengan julukan Asy-Syadzili. Namun, karena fitnah yang dilancarkan Ibnu Al-Bara’, seorang qadhi yang tidak menyukainya, akhirnya ia pindah ke Alexandria, Mesir pada tahun 624 H/1227 M.
Asy-Syādzili menginjakkan kaki di negeri Mesir bertepatan pada tanggal 15 Sya‘ban (Nishfu Sya‘ban) 1227 M., bersamaan dengan wafatnya Syekh Abû Al-Hajjaj Al-Aqsyari yang dikenal sebagai Quthb Az-Zaman pada waktu itu. Di kemudian hari, para ulama’ shiddiqin Mesir, berkeyakinan bahwa Asy-Syādzili ditetapkan oleh Allâh Swt. sebagai Wali Quthub menggantikan Syekh Abû Al-Hajjaj Al-Aqsyari.
Imam Asy-Syādzili tinggal di sebuah tempat yang cukup luas bernama Burûj As-Sûr hadiah sultan Mesir, Malik Shalih (w. 1249 M). Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah. Di antara muridnya adalah anak-anaknya sendiri, kemudian Izzuddîn bin Abdus-Salâm, Ibnu Daqîq Al-Ied, Abdul Azhîm Al-Mundziri, Ibnu Shalah, Ibnu Al-Hâjib, Jamaluddîn Ushfur, Nabihuddîn bin Auf, Ibnu Suraqah, dan Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka Ibnu Arabî), serta masih banyak lagi yang lainnya.
Pada tahun 656 H/1258 M, dalam perjalanan pulang setelah melaksanakan ibadah haji, Imam Asy-Syādzili wafat di Humaitsra di pantai Laut Merah dalam usia 63 tahun, di gurun ‘Idzab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di Desa Humaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir.
Ajaran dan Amalan Syekh Abul-Hasan Asy-Syādzili
Secara pribadi Abul-Hasan Asy-Syādzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul-Abbās Al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizb. Ibnu Athaillāh adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah Thariqah Syadziliyah tetap terpelihara.
Ibnu Athaillāh juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan thariqah tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibnu Athaillāh, Thariqah Syādziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru.
Imam Asy-Syādzili sendiri tidak mengenalkan atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan popular yang digalakkan. Namun, murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Thariqah Syādziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Sebagian ajaran thariqah ini dipengaruhi oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Thalib Al-Makki. Salah satu perkataan Asy-Syādzili kepada murid-muridnya,
“Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid Al-Ghazāli”.
Perkataan yang lainnya,
“Kitab Ihya’ Ulum Ad Din, karya Al-Ghazāli, mewarisi anda ilmu. Sementara Quth Al-Qulub, karya Al-Makki, mewarisi Anda cahaya.”
Selain kedua kitab tersebut, para murid Thariqah Syādziliyyah biasa mempopulerkan kitab Khatm Al-Auliyā`, karya Al-Hakim At-Tirmidzi, Al-Mawāqif wa Al-Mukhāthabah karya An-Niffari, Asy-Syifā karya Al-Qadhi ‘Iyādh, Ar-Risālah karya Imam Al-Qusyairi, Al-Muharrar Al-Wajiz karya Ibnu 'Athiyyah dan Ar-Ri'āyah karya Imam Al-Harits Al-Muhāsibi.
Tokoh Thariqah Asy-Syadziliyyah yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibnu 'Abbad Ar-Rondi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab Al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syādziliyah,
"Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”
Di antara Ajaran imam Abul-Hasan Asy-Syādzili adalah sebagai berikut:
"Penglihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan tak akan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya ‘Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.’ Maka aku pun memohon kekuatan dari Dia, pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!”
"Aku dipesankan oleh guruku ('Abdus-Salām bin Masyisy), ‘Jangan Anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridlaan Allah, dan jangan duduk di majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”
"Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha sendiri."
"Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya."
"Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala’ yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya."
"Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal."
"Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan, ‘Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah.’
Mengenai zikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam thariqah, secara umum pada pola zikir thariqah ini biasanya bermula dengan Fātihat Adz-Dzikr. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan Syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai zikir dengan Al-Asmā` Al-Husnā dalam thariqah ini, kebijaksanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan Asma` Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara ruhani dan mental, baik bagi si pemakai maupun terhadap orang-orang di sekelilingnya.
Beberapa contoh penggunaan Asma` Allah diberikan oleh Imam Ibnu Athaillāh berikut. “Al-Lathif, Yang Maha Halus, harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih Yang Maha Dicintai, membuat sang shufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Al-Fā`iq, Yang Maha Mengalahkan, sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
Thariqah Syādziliyyah terutama menarik di kalangan kelas menengah ke atas, pengusaha, pejabat, dan pegawai. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam thariqah yang lainnya. Setiap anggota thariqah ini wajib mewujudkan semangat thariqah di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan.
Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangkaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan magis. Para pengamal Thariqah ini mempelajari berbagai hizb, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talqin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah thariqah.
Hizb Al-Bahr, Hizb An-Nashr, di samping Hizb Al-Hāfizhah, merupakan Hizb yang sangat terkenal dari Imam Asy-Syādzili. Menurut laporan, hizb ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi sendiri. Hizb ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, di mana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan magis doa ini hanya dapat “dibeli” dengan berpuasa atau pengekangan diri di bawah bimbingan guru.
Hizb-hizb dalam Thariqah Syadziliyyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota thariqah lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighatsah), dan berbagai kekuatan hikmah. Para ahli mengatakan bahwa hizb, bukanlah doa yang sederhana. Ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera magis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ismullah Al-A’zham) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural.
Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dan doa, para syekh thariqah biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib, dan wirid-wirid dalam thariqah dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang. Sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru.
Persebaran Thariqah Syādziliyyah
Thariqah ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang Thariqah ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran thariqah ini, mempunyai beberapa cabang, yaitu: Al-Qasimiyyah, Al-Madaniyyah, Al-Idrīsiyyah, As-Salāmiyyah, Al-Handusiyyah, Al-Qauqau`iyyah, Al-Faidiyyah, Al-Jauhariyyah, Al-Wafa`iyyah, Al-Azhimiyyah, Al-Hamidiyyah, Al-Faisiyyah dan Al-Hasyimiyyah. Diantara Mursyid Thariqah Asy-Syādziliyyah yang terkenal di Indonesia adalah KH. 'Abdul-Jalil Mustaqim Tulungagung dan KH. Dalhar Watucongol Magelang.
Menurut Syekh Syamsuddin Abu Mahmūd Al-Hanafi, kelebihan Syādziliyyah itu disebabkan tiga hal. Pertama, para wali Allah dari Thariqah Syadziliyyah sudah dipilih dan dicatat langsung dari Lauh Mahfuzh. Kedua, wali majdzub dari kalangan Thariqah Syādziliyyah bisa kembali ke maqam normal lagi. Ketiga, wali yang mendapatkan predikat Quthb dari kalangan Thariqah Syadziliyyah itu berlangsung sampai Hari Kiamat.
Sepeninggal Imam Asy-Syādzili, kekhalifahan thariqah ini kemudian dilanjutkan oleh murid terkemuka beliau bernama Syekh Syihābuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar Al-Anshari Al-Mursi Asy-Syādzili atau lebih dikenal dengan nama Syekh Abu Al-Abbâs Al-Mursî (w. 686 H/1288 M). Di masa hidupnya, Syekh Abu Al-‘Abbās Al-Mursi banyak memiliki murid masyhur yang amat berpengaruh dalam dunia Islâm, di antaranya Shahibul-Hikam Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari (w. tahun 709 H/1309 M), Syekh Yaqut Al-‘Arsyi (w. 732H/1331 M), Syekh Abu Al-Fath Al-Maidumi, Shahibul-Burdah Syekh Muhammad bin Sa’id Al-Bushiri (wafat 649 H/1295 M), dan Syekh Najmuddin Al-Isfahani (w. 721 H/1321 M). Tiga nama pertama di atas, yaitu Syekh Ibnu Athaillah, Syekh Yaqut Al-Arsyi, dan Syekh Abu Al-Fath Al-Maidumi di kemudian hari menggantikan kedudukan Syekh Abu Al-‘Abbâs Al-Mursî sebagai khalifah Thariqah Syādziliyah.
Thariqah Syādziliyah yang dibawa oleh Syekh Ibnu Athaillah secara umum lebih banyak berkembang ke wilayah barat Mesir, mulai dari kota Iskandariah (Alexandria) sampai ke negara Libya, Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Selain itu juga ke sebagian besar negara-negara berpenduduk muslim lainnya di daerah Afrika Barat, hingga ke Spanyol dan beberapa negara lainnya di Eropa dan Amerika.
Sedangkan perkembangan Thariqah Syadziliyah yang dibawa Syekh Yaqut Al-‘Arsyi lebih mendominasi wilayah dalam negeri Mesir sendiri dan negara-negara di sebelah selatannya, seperti Sudan, Ethiopia, Kenya, Somalia, dan Tanzania, hingga ke daerah timur Mesir, antara lain Yordania, Syiria, Turki, Irak, Iran, ke utara sampai ke semenanjung Balkan.
Sementara itu, dakwah Syekh Al-Maidumi mendapat sambutan hangat di wilayah jazirah Arab, terutama di dua kota suci, Makkah dan Madinah. Justru dari kedua kota inilah pada akhirnya Thariqah Syādziliyah menyebar dengan pesat ke negara-negara timur, mulai dari India, Pakistan, Afganistan, hingga sampai ke Malaysia dan Indonesia. Dari jalur Syekh Al-Maidumi inilah silsilah Thariqah Syādziliyah sampai ke Indonesia.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok untuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di Pulau Jawa saat ini— tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Thariqah Syadziliyyah diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman Wali Songo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada penghujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syekh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.
Demikianlah sekilas pengantar tentang Thariqah Syadziliyyah. Lebih rinci, kami persilakan datang ke mursyid, khalifah atau badal Asy-Syādziliyyah di daerah terdekat.
Sumber: Thuruq As-Salikin, disusun oleh Lajnah Ta'lif wa Nasyr (LTN) JATMAN Jawa Timur
Editor: Khoirum Millatin