CAHAYA MUTIARA PERSIA DI TENGAH CHAOS ISLAM PASCA RUNTUH NYA DAULAH ABBASIYAH

Agustus 20, 2025 - 14:46
Agustus 28, 2025 - 14:07
CAHAYA MUTIARA PERSIA DI TENGAH CHAOS ISLAM PASCA RUNTUH NYA DAULAH ABBASIYAH

Mayoritas umat Islam telah terpengaruh dengan pemikiran para sejarawan oreintalis Barat dan sejarawan Muslim modernis yang literal bahwa serangan Penghancuran Bangsa Mongol ke Ray, Thus, Nishapur dan Baghdad pada 1256 merupkan pusat-pusat peradaban Islam. Disusul pengusiran umat Islam di Andalusia (Spanyol dan Portugal) merupkan masa kemunduran dan sekaligus berakhir era kejayaan peradaban intelektual umat.

Perspektif Sejarawan  pada umumnya menyatakan bahwa Kairo, Mesir pada saat itu pusaf Kesultanan Mamluk satu-satu nya yang terselamat dari ganasnya topan agresif Mongol. Karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka perkembangan peradaban intelektual masa klasik relatif terlihat dan di antara beberapa prestasi yang pernah di capai pada masa klasik bertahan di Mesir. 

Namun menurut pengamatan saya, perkembangan intelektual di Mesir hanya sekedar bertahan dari apa yang di capai di masa era Abbasiyahmnamun dari segi filsafat tidak ada evolusi perkembangan intelektual yang berarti, cuma dari segi irfani ada perkembangan cuma sebatas kedalam kajian irfan amali (tasawuf amali). Sementara segi teologi, hadits, hukum syariat dan tafsir mengalami perkembangan re generasi hingga sekarang. 

Dari segi melahirkan pakar-pakar ulama-ulama filsafat, (Paripatetik dan Isyraqi) dan irfani Sufi kemajuan yang dicapai di Mesir masih di bawah prestasi yang dicapai di Persia. Walaupun Persia mengamali kehancuran yang super parah dari serangan Hulagu Khan dan serangan Timur leng namun dalam mencetak generasi ulama bidang intelektual Islam dan Spiritual Islam masih terus bertahan dan justru mengalami sintesis perkembangan luar biasa di Persia. Macetnya intelektual Islam baik filsafat Paripatetik maupun spiritual Islam yaitu Isyraqi dan irfani nazhori Sufi terjadi di Mesir, disebabkan karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak berkembangnya aliran teologi Asy'ariyah, filsafat mendapat kecaman keras dari ulama kalam, sejak pemikiran Al-Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam yang Sunni. Dan ajaran-ajaran Wahdatul al-Wujud dari Ibnu Arabi dan ajaran Isyraqiyah Syuhrawardi Al-Maqtul mendapat vonis sesat disertai tuduhan zindiq dan kafir dari ulama fukaha yang ada di Mesir bahkan di Suriah.

Dengan demikian, para kalangan intelektual, yang bertahan di Mesir hanya sebatas kalangan ulama-ulama Hadits, fuqaha, tafsir, mantik, teologi dan kalangan tasawuf amali dari tarekat Syadziliyah dan tarek Ahmad Badawiyyah. 

Sementara ajaran-ajaran filsafat, teologi, irfan (sufi), astronomi, matematika dan lainya masih bertahan dan tumbuh subur di daerah Persia di tengah-tengah situasi politik dan keamanan yang carut marut. Akan tetapi cahaya intelektual dan spiritual justru bersinar di Persia tempat Hulagu Khan dan Timur Lenk berkuasa.

Awal periode ini, filsafat paripetik Ibnu Sina dibangkitkan kembali oleh Nashir Al-Din ath Thusi (1201-1274). Al-Thusi salah satu tawanan Hulagu, kemudian beliau dibebaskan dan diangkat sebagai penasehat pribadi Hulagu karna kepintaran al-Thusi.

Al-Thusi seorang filosof paripetik Islam terkemuka. Komentarnya tentang Isyarat wa' I-tanbihat dan respon nya kritik-kritik Fakhr al-Din ar-Razi terhadap Ibnu Sina. Memberikan pengaruh yang besar pada filsafat Islam berikut nya, dari pada Tahafut al-tahafut karya Ibnu Rusyd.

Thusi adalah cahaya terkemuka dalam lingkungan terkemuka dalam suatu lingkungan filosof dan sufi yang lebih luas, termasuk Shadr al-Din al-Qunawi (1202-1274) seorang Irfan (Sufi) sekaligus filosof metafisika merupakan anak angkat sekaligus murid Ibnu Arabi, 

Ath-Thusi dan al-Qunawi hidup pada zaman yang sama dan memiliki minat yang sama dalam bidang filsafat dan spiritualitas.  Pertemuan atau pertukaran ide antara ath-Thusi dan al-Qunawi dapat memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan pemikiran Islam, terutama dalam bidang tasawuf dan filsafat.

Selain filsafat paripetik, ajaran filsafat Isyraqiyah digagas oleh Syihabuddin Yahya ibn Amarikh Syuhrawardi Al-Maqtul, berkembang pesat di wilayah Persia, pada era Dinasti Mongol, Ilkhani yaitu dengan tokohnya Qutb al-Din al-Syirazi (w. 1311) seorang ulama Persia, al-Syirazi haruslah dianggap sebagai tokoh intelektual Islam yang utama yang memiliki wawasan luas dalam bidang fisika, astronom, logika, medis dan sekaligus seorang pengikut Isyraqi Syuhrawardi Al-Maqtul dan Sufi Ibnu Arabi.

Tidak hanya Qutb al-Din al-Syirazi, tapi juga Dabiran Khatibi Qazwini (w. 1276 ) penulis Hikmah al-ayn juga seorang filosof masyur hidup Persia. Filosof paripetik lain yang terkenal adalah Athir al-Din Abhari (w. 1264), yang karyanya Hidayah al-Hikmat.

Filosof Persia yang lebih khusus lagi periode ini adalah Afdal al-Din Kasyani ( w 1213) dikenal Baba Afdal seorang Sufi eminen, juga seorang ahli logika dan metafisika yang brilian. Ia menulis sejumlah karya bahasa Persia yang kedudukan nya sejajar dengan penjelasan-penjelasan. Syuhrawardi.

Bersamaan dengan kebangkitan kembali filsafat paripetik oleh ath Thusi dan filsafat Isyraqiyah oleh koleganya di Maragha, Qutb al-Din al-Syirazi, Sufisme Wujudiyah, ajaran Ibnu Arabi yang dibawah oleh murid-murid Shadr al-Din al-Qunawi menyebar secara lebih luas di kawasan, Irak, Yaman, Anatolia, dan wilayah Timur Persia diantara toko nya, Kamal al-Din Abd al-Razzaq al-Kasyani (w. 1345), Syaraf al-Din Dawud Al-Qasyhari (w 1350 ), Sayyid Haidar al-Amuli (w. 1385) Abdul Karim al-Jili ( w. 1430 ), dan Nuruddin Abdurrahman Jami ( w 1492 )

Sementara aspek filosofis kalam telah berkembang secara lebih besar oleh Syarif Ali Al-Jurjani ( w 1414). Selama tiga abad berikut nya beberapa filosof penting kelihatan mencoba mensintesakan berbagai ajaran pemikiran ini. Beberapa diantaranya Ibnu Turkah Isfahani,(w 1432) merupakan tokoh penting periode ini, adalah seorang penafsir Isyraqiyah tentang filsafat paripetik dan seorang arif tentang ajaran Wujudiyah Ibnu Arabi. Begitu juga Jalal al-Din Dawani (w. 1502) adalah ulama kalam (teologi) yang filosofis. Dan pemikiran Islam mencapai puncaknya dalam periode Safawiyah di Persia dengan ajaran Isfahan oleh Shadr al-Din Muhammad al-Syirazi al-Muta'allihin lebih dikenal sebutan Mulla Shadra (1572-1641).

Mulla Shadra berhasil meng kolaborasi dan men sintesis empat ajaran besar sebelumnya, yakni masysya'i (paripatetik), isyraqi (ilmuniasi), irfani (Sufi) dan kalam (teologi) dengan ajarannya dikenal sebutan al-Hikmah al-Muta'aliyah.

Sebelum Mulla Shadra terdapat dua tokoh terkemuka filsafat Isyraqiyah dari ajaran Isfahan, yang keduanya adalah guru Mulla Shadra. Pertama yaitu Mir Damad ( w 1631 ) seorang teolog, filosof,mistikus dan seorang pujangga. Mir Damad seorang filosof yang secara tepat mengajar filsafat Ibu Sina, yang ia interpretasikan ke dalam sistem Isyraqiyah. Disamping beliau seorang Sufi bersifat irfan nazhori.

Kedua, yaitu Syaikh Baha' al-Din al-Amili ( w. 1622), seorang irfan nazhori, saintis, fuqaha, teologi, arsitek dan pujangga. Dan ketiga Mir Abu al-Qasim Findiriski (w. 1641 ) adalah seorang filosof yang mengajarkan karya-karya Ibnu Sina di Isfahan dan banyak menghabiskan waktunya di India.

Mulla Shadra memasukkan konsep Isyraqi Yang menurut filosof yang sempurna atau teosofi ( Hakim Muta'aliyah) harus menjalani latihan intelektual maupun penyucian hati. Dalam tradisi dan khazanah filsafat Islam, Mulla Shadra melahirkan apa yang disebut "teosofi transeden" (al-Hikmah al-Muta'aliyah ). Secara ringkas filsafat Mulla Shadra dibangun di atas tiga prinsip utama: intuisi, atau iluminasi intelektual (kasyf, dzuq, isyraq ): nalar, demonstasi rasional (aql atau istidlal): dan agama atau wahyu (syar atau wahyu). Berikut adalah beberapa aspek penting dari pemikirannya:

Konsep Wujud

Mulla Sadra mengembangkan konsep wujud (keberadaan) yang menjadi dasar bagi pemikirannya tentang realitas dan Tuhan. Ia berpendapat bahwa wujud adalah konsep yang paling fundamental dalam memahami realitas.

Gerakan Substansial

Mulla Sadra juga mengembangkan konsep gerakan substansial, yang menjelaskan tentang perubahan dan perkembangan dalam realitas. Ia berpendapat bahwa gerakan substansial adalah proses yang terus-menerus dan dinamis.

Kesatuan Wujud

Mulla Sadra berpendapat bahwa wujud adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi. Ia menolak konsep dualisme dan pluralisme, dan berpendapat bahwa realitas adalah kesatuan yang utuh.

Tuhan sebagai Wujud yang Mutlak

Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan adalah wujud yang mutlak dan tidak terbatas. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber dari semua wujud dan keberadaan.

Pemikiran Mulla Sadra memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan filsafat dan teologi Islam. Karya-karyanya menjadi sumber inspirasi bagi banyak filsuf dan teolog Muslim. Diantara kalam-kalam Mulla Shadra berhubungan dunia tasawuf irfan adalah:

شهد الله لا إله الاهو ( ال عمران : ١٨).

أعلم أن السالكين الذين يستدلون بوجود الآثار على الصفات ومن الصفات على الذات، لهم طرق كثيرة أجودها طريقان : 

أحدهما معرفة النفس الإنسانية "وفي انفسكم أفلاتبصرون"، هذا أجود الطرق بعد طريق الصديقين.

وثانيهما النظر في الآفاق والانفس، كما أشار إليه بقوله "سنريهم آياتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتى يتبين لهم أنه الحق" ( فصلت : ٥٣). وفي القرآن آيات كثيرة في هذا المنهبج ولهذا مدح الله على الناظرين في خلق السماوات والأرض، واثنى على المتفكرين في آثار صنعه ووجوده. ولاثبات هذا المطلب منهج آخر، وهو الاستدلال على ذاته بذاته، وذلك لأن اظهر الأشياء هو طبيعة الوجود المطلق بما هو وجود مطلق، وهو نفس حقيقة الواجب تعالى وليس شيء من الأشياء غيرا لحق الأول نفس حقيقة الوجود، فيثبت من ذلك إثبات المدا الأعلى والغاية القصوى. 

والحق أن وجود الواجب أمر فطري لايحتاج إلى برهان وبيان، فإن العبد عند الوقوع في الأهوال وصعاب الأحوال يتوكل بحسب الجبلة على الله تعالى ويتوجه توجها غريزيا إلى مسبب الأسباب ومسهل الأمور الصعاب، وإن لم يتفطن لذاك ولذلك ترى أكثر العرفاء مستدلين على إثبات وجوده وتدبيره للمخلوفات بالحالة المشاهدة عندالوقوع في الأمور الهائلة، كالغرق والحرق وفي الكلام الإلهي أيضا إشارة إلى هذا، فما أضلت الدهرية والطباعية والبختية واخوان الشاطين الذين يتشبهون بالعلماء ويكذبون أنبياء الله ويزعمون أن العالم قديم ولاقيم له فمثواهم الجحيم وجزاهم البعد عن النعيم.

"Allah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia (QS. Al-Imran: 18). Ketahuilah, para penempuh jalan spiritual (as-Salikin) yang menunjukkan adanya jejak-jejak atas sifat-sifat dan sifat-sifat atas Dzat Allah Ta'ala memilik banyak metode (dalam argumentasi itu), dan metode yang paling baik di antaranya adalah dua metode berikut ini: Pertama memgenal diri Insaniyah, "Dan dalam dirimu sendiri, tidaklah kalian memperhatikan". Ini merupakan jalan (thariqah) terbaik setelah thariqah kaum ash-Shiddiqun;.

Kedua, memperhatikan cakrawala dan diri sendiri, sebagai mana ditujukan dalam firman-Nya: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di cakrawala dan di dalam diri mereka sendiri sehingga tampak pada mereka bahwa Dia-lah Yang Al-Haqq (QS. Fushshilat: 53).  

Didalam Alqur'an terdapat banyak ayat tentang jalan ini. Oleh karena itu, Allah memuji orang-orang yang memperhatikan penciptaan langit dan bumi dan menyanjung orang-orang yang memikirkan bekas2 tindakan dan Wujud-Nya. Untuk membuktikan hal ini terdapat jalan lain, yakni penunjukan atas Dzat-Nya dengan Dzat-Nya. Yang demikian itu karena sesuatu yang paling jelas adalah karakter Wujud (eksistensi), Mutlaq dalam dalam esensinnya sebagai Wujud Mutlaq, yakni hakikat al-Wajib Ta'ala itu sendiri, dan sesuatu apa pun, selain Tuhan Yang Maha Benar lagi Maha Awal (al-Haqq al-Awwal) bukanlah hakikat eksistensi itu sendiri.

Dari situ ditegaskan titik pangkal (al-mabda) tertinggi dan tujuan paling puncak. Yang benar adalah Wujud al-Wajib merupakan perkara yang bersifat fitrah yang tidak membutuhkan penjelasan.

Seorang hamba, ketika jatuh kedalam ketakutan dan keadaan-keadaan sulit, bertawakal kepada Allah dan menghadap secara naluriah kepada penyebab segala sebab dan pemberi kemudahan dalam perkara2 yang sulit, sekalipun, ia tidak memahaminya. 

Oleh karena itu, engkau lihat kebanyakan orang arif ('urafa) dalam membuktikan Eksistensi-Nya dan pengaturan-Nya atas makhluk-makhluk. Ber argumentasi dengan keadaan yang dapat disaksikan ketika seorang jatuh ke dalam perkara2 yang menakutkan, seperti tenggelam dan kebakaran. Di dalam kalam Ilahi pun ada isyarat tentang hal ini. Betapa sesat kaum ad-Dahriyyah (ateis), ath-Thiba'iyyah (naturalis), al-Bukthtiyyah (evolusilis), dan teman-teman setan aliran sesat menyerupai para ulama, yang mendustakan para nabi Allah, dan mengatakan bahwa alam ini bersifat qadim dan berdiri sendiri (ber evolusi sendiri) dan pendapat ini tidak bernilai. Tempat mereka adalah Neraka Jahim dan balasan bagi mereka jauhnya mereka dari kenikmatan.

[ Kitab Mazhahir al-Ilahiyyah fi Asrar al-Ulum al-Kamaliyah, Markaz Intisharat Daftar Tablighat Islami Hauzah 'Ilmiyyah, Qum-Teheran, hal 69-70 ]

Mengenal diri baik esensi maupun sifatnya adalah awal menuju pengenalan tentang Tuhan. Dengan memperoleh nya manusia termasuk golongan Malaikat yang dekat dengan Tuhan. Padahal sebelumnya ia termasuk jenis binatang yang jauh Dari-Nya.

Mengenal diri adalah pegangan yang kuat dan sandaran yang kukuh dalam mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh kebahagiaan di akhirat. Ketidaktahuan tentang dan pengingkaran atas, pengetahuan Ilahiyyah ini padahal terdapat kesiapan dan potensi untuk belajar dan memperoleh nya adalah pangkal dari kesengsaraan dan hukuman. Sumber dari setiap kemunafikan dan penyakit jiwa, serta benih dari setiap pohon yg terkutuk dan pohon yg buruk di dunia dan akhirat.

"ومن كان في هذه أعمى فهو في الآخرة أعمى" ولذلك قال بغض المحققين "من أراد أن يتنور بيته بادراك حقائق الأشياء، فعليه أن يسد الروازن الخمس" 

ويؤيد ما قلنا ما قيل في الفارسية:

از حق جورسد به عقل كل راز. از عقل به نفس كل رسد باز

از نفس رود به خانه نور. برلوح خيال جمله مسطور 

فكرت زخيال يابد الهام درحال كندبه حسفظ ييغام 

حفظش جوبه نظق كرد اشارت أورد كتاب درعبارت.

Barangsiapa buta di dunia ini, maka ia juga buta di akhirat. ( QS. Al-Israa: 72). Oleh karena itu, sebagian ahli Muhaqiqin berkata: "Barangsiapa ingin rumahnya dicerahi dengan pengenalan terhadap hakikat segala sesuatu maka ia harus menutup pintu-pintu indera."

Apa yang kami kemukakan ini ditegaskan dengan syair Persia berikut ini;

Tiap rahasia datang dari al-Haq sampai ke akal. Dan dari akal menuju jiwa, semuanya tersingkap dari jiwa ke tempat cahaya.

Dan dari lembaran khayal kalimat itu tertuliskan.

Dari pikiran, khayal menjadi ilham.

Bertugas untuk membawa pesan.

Pesan itu disampaikan dalam bentuk isyarat.

Dan di dalam kitab dalam bentuk isyarat.

[ Kitab Al-Mazhahir al-Ilahiyah fi Asrar al-Ulum al-Kamaliyah, Markaz Intisharat Daftar Tablighat Islami, Hauzah Ilmiyah Qum, Iran hal 89 dan 97 ]

Murid-murid Mulla Shadra yang sangat terkenal adalah Mulla Abd al-Razzaq Lahiji (w. 1661 ) Mulla Muhsin Fayd Kasyani ( w. 1680), mencurahkan diri mereka teramat sangat terhadap ilmu-ilmu agama yang murni seperti hadits dan kalam dan tidak menulis teosofi transeden, sebab perlawanan secara lebih besar terhadap mulla Shadra di antara beberapa ulama eksorerik. Tetapi mereka benar-benar mengetahui dalam ajaran Hikmah al-Muta'aliyah ini, dan melatih murid-murid mereka lagi untuk mempertahan ajaran ini. Satu diantara mereka, Qadi Sa'id Qummi ( w. 1692 ), yang terkenal baik karna tulisan-tulisan filsafat nya, termasuk komentarnya tentang Enneads karya Plotinus.

Perkembangan intelektual Islam Mulla Shadra dan murid-muridnya terus berlanjut setelah runtuh nya era Safawiyah berlanjut ke era Afsyarid, Zands, hingga periode Qajar dan Pahlevi hingga ke era Revolusi Islam oleh Ayatullah Khomeni.

Mulla Muhammad Sadiq Ardistani ( w 1721 ) yang menjembatani filsafat Hikmah Muta'aliyah Mulla Shadra di era Safawi ke masa periode Qajar.

Tidak sampai periode Qajar ajaran Mulla Shadra dibangkitkan kembali secara penuh di Isfahan dan Qum oleh Mulla Ismail Khajui (w. 1760), Mulla Ali Nuri (w. 1830 ), Mulla Hadi Sabzawari (w. 1872 ) dan Mulla Ali Zunuzi (w. 1890). 

 Setelah periode Qajar, perkembangan intelektual Islam dan spiritual Islam terutama ajaran-ajaran Ibnu Sina, Syuhrawardi, Ibnu Arabi dan Mulla Shadra terus berlanjut di era Pahlevi yang modern sampai era Revolusi Islam kontemporer hingga sekarang oleh tokoh2 filosof, teosof dan irfan kontemporer yaitu Sayyid Muhammad Husein Thabathaba'i, Murtadha Muthahhari, Sayyid Jalaluddin Al-Ashtiyani, Muhammad al-Baqir Sadr, Ayatullah Khomeni, Hasan Za'adah al-Amuli, Muhammad Reza Qumashie, Sayyid Kamal Haydar sebagai ulama-ulama intelektual dan spiritual yang superior yang lebih memuaskan bila dibandingkan kebesaran pemikir-pemikir Barat. Bahkan banyak kalangan intelektual dan spiritual Persia yang menjadi guru besar dan pengajar di sejumlah negara barat terutama Amerika Serikat, seperti Javad Thabathaba'i, Javad Nurbhakhs, Gholam Reza Aavani, Hossein Ziai, Salah al-Sawy, Sayyed Hossein Nasr dan lain sebagainya. 

Budi Handoyo SH MH