Jaringan Keulamaan dan Jalur Silsilah Tarekat al-Muhammadiyah Sulsel

Tarekat sejak dahulu telah masyhur dikalangan ulama, kerajaan, dan masyarakat Sulawesi Selatan. Corak keagamaan tasawuf mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Mayoritas ulama terdahulu yang kembali ke tanah air setelah mengaji dan mukim di tanah saci Makkah telah mengantongi amaliyah ijazah tarekat dan diberikan ijazah menyebarkan tarekat. Bahkan jamaah haji, umumnya menginjakkan kaki di satu tempat bersejarah yaitu Jabal Abi Qubais.

Agustus 29, 2023
Jaringan Keulamaan dan Jalur Silsilah Tarekat al-Muhammadiyah Sulsel

Tarekat sejak dahulu telah masyhur dikalangan ulama, kerajaan, dan masyarakat Sulawesi Selatan. Corak keagamaan tasawuf mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Mayoritas ulama terdahulu yang kembali ke tanah air setelah mengaji dan mukim di tanah saci Makkah telah mengantongi amaliyah ijazah tarekat dan diberikan ijazah menyebarkan tarekat. Bahkan jamaah haji, umumnya menginjakkan kaki di satu tempat bersejarah yaitu Jabal Abi Qubais.

Di tengah perkembangan zaman, tarekat masih mampu menunjukkan eksistensinya, karena sanad tarekat terpelihara melalui sistem pengajian, kekeluargaan maupun pondok pesantren. Sebagai tanggung jawab keilmuan dan bentuk khidmat kepada pewaris sanad, diskusi dan penelusuran sejarah menjadi sesuatu hal yang sangat penting bagi generasi yang ditinggalkan.

Pada Ahad, 12 Juni 2022, sekitar 70 ikhwan tarekat hadir di pusat zawiyah menelusuri jaringan dan warisan sanad keulamaan Tarekat al-Muhammadiyah. Khadim Tarekat al-Muhammadiyah, Syekh Dr. KH. Baharuddin AS., MA. bersama Rais Mustasyar Prof. Dr. H. Abdul Kadir Ahmad, MS. APU. menginisiasi diskusi terbatas kalangan ikhwan Tarekat al-Muhammadiyah dengan menghadirkan Drs. KH. Muhammad Ali (Khalifah Tarekat al-Muhammadiyah), Drs. KH. Mukammiluddin (murid KH. Muhammad Nur) dan Ustaz Fadly ibrahimahim (ahli waris Syekh Abdul Majid), Ustaz Yahya Syamsuddin, S.Th.I., M.Th.I (tokoh Tarekat al-Muhammadiyah Kampung Paropo).

Di momentum bersejarah ini, Prof. Dr. H. Abdul Kadir Ahmad, MS. APU. yang juga mudir JATMAN Sulsel menyampaikan bahwa praktik tarekat sudah ada sejak masuk dan berkembangannya Islam di kalangan keluarga kerajaan, ulama dan masyarakat. Misalnya, pahlawan nasional Sultan Hasanuddin 1653-1669 menganut Tarekat Qadiriyah dan Khalawatiyah.

Di daerah-daerah lain juga terdapat ulama-ulama kharismatik yang mendakwahkan Islam dan memberikan ijazah tarekat, seperti Makassar, Maros (Tekolabbua, Tambua dan Moncongloe), Pulau Salemo Pangkep, Gowa, Sinjai, Bone Soppeng Wajo, dan daerah lainnya.

Melacak sanad keilmuan dan tarekat para masyayikh terdahulu, harus mencermati penanggalan setiap peristiwa dari para tokoh. Jika ingin mengetahui ulama-ulama yang mengambil Tarekat al-Muhammadiyah di Jabal Abi Qubais dari tangan mulia Sayyid Ahmad A-Syarif Al-Sanusi, dapat ditelusuri tahun keberangkatan ulama Sulawesi ke Makkah dan kedatangan Sayyid Ahmad Al-Syarif ke tanah suci. Tentu dengan melihat penanggalan tersebut, data-data yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berdasarkan bukti otentik dari hasil penelitian, peran tarekat sangat besar dalam mengislamkan dan mendakwahkan daerah-daerah di Sulsel.

Mengenai ketersambungan sanad terdahulu, Kiai Mukammiluddin mengemukakan bahwa ini disebabkan adanya hubungan kekerabatan dan kedekatan ruhani sebelumnya. Zawiyah atau majelis zikir umumnya ditempatkan di rumah syekh tarekat. Dan paling urgen dalam bertarekat adalah memamahmi sisi lahir dan batin. Bagi ahli suluk, dalam perjalanannya akan menemukan banyak fadhilah dan hikmah-hikmah selama istiqamah melakoni wirid dan zikir tarekat.

Lebih detail lagi Ustaz Fadli menyampaikan ketersambungan sanad ulama Sulsel dan Haramain abad ke-18 setelah masa Syekh Yusuf al-Makassari terjadi rentang sejarah yang mengisi keulamaan hingga abad ke-19. Kalangan ilmuan lebih banyak mengawali perluasan keilmuan Islam berada pada masa Syekh KH. Muhammad As’ad dan  Syekh KH. Abdul Rasyid Pulau Salemo. Peran ulama abad 18 seakan-akan masih misteri yang harus dipecahkan.

Melalui isyarat ruhani dan ikhtiar, ia mampu mengungkap kembali titik temu ulama Sulawesi dan Nusantara hingga ke Haramain, Al-Azhar Mesir dan Universitas Qawariyyun Maroko. Salah satu ulama yang hidup pada abad 18 adalah Syekh Abdul Majid Al-Bugisy. Berangkat ke Makkah sejak umur 10 tahun (1830 M) dan Kembali ke Bone sekitar tahun 1860. Selama bemukim lebih kurang 30 tahun di Mekkah, Syekh Abdul Majid larut dalam tradisi keilmuan Islam Haramain. Ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka di Mekkah dan Madinah di antaranya Sayyid Muhammad bin Ali al-Sanusy, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Ustman ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, dan lain-lain. Syekh Abdul Majid segenerasi dengan Syekh Nawawi al-Bantani, bahkan ia berguru pada guru yang sama yakni Syekh Yusuf Sumbulaweni. Selain belajar hadis, fiqih, ilmu falak, dan pengobatan, ia memiliki kecenderungan pada tarekat. Syekh Abdul Majid memiliki literasi keagamaan yang kuat hingga 20-an literasi yang telah dihasilkan, yang paling eksklusif adalah tulisan tangan mushaf kuno yang tersimpan di LPMQ Museum Bayt Al-Quran TMII di Jakarta. Rumpun keluarga Syekh Abdul Majid termasuk ulama penulis mushaf.

Kedalaman ilmu Syekh Abdul Majid menginspirasi beberapa ulama Bugis untuk berangkat menuntut ilmu di Mekkah pada akhir abad 19. Kemudian Pada fase berikutnya, anak dan cucunya menjadi pelanjut transmisi keilmuan islam dan bagian dari parewa syara’ di Dulung Ajangale Bone. Di antaranya adalah AGH. Abdul Hayyi al-Bugisi Imam Pompanua (w.1915), AGH. Muhammad Khalifah al-Bugisi Kadhi Tellumpocco (w. 1922), AGH. Ahmad Surur al-Bugisi Imam Pompanua (w. 1932), dan AGH. Muhyiddin Imam Pompanua (w. 1943).

Pada beberapa kolofon naskah tulisannya, Syekh Abdul Majid memproklamirkan dirinya bermazhab Syafi’i berakidah Asy’ariyah dan bertarekat Muhammadiyah. Untuk melanjutkan dakwah al-Muhammadiyah, wirid Muhammadiyah diijazahkan kepada anak, murid dan keluarganya. Pengijazahan kemudian menjadi tradisi setiap imam, sehingga sampai pada tahun 1950-an parewa syara’ di Pompanua adalah pengikut Tarekat Sanusiyah Muhammadiyah.

Pada sebuah naskah ijazah, Syekh Abdul Majid mengambil Tarekat Muhammadiyah Sanusiyahh Idrisiyah kepada Sayyid Muhammad bin al-Sanusi. Dan ada kemungkinan juga mengambil ijazah ‘am kepada Sayyid Ahmad bin Idris (pengasas Tarekat Ahmadiyah)

Sementara itu, Ustaz Yahya Syamsuddin, S.Th.I., M.Th.I. mengatakan, Paropo sejak dahulu dikenali dengan kampung seni budaya yang masyarakatnya taat beragama. Literasi lisan mengungkapkan bahwa ada istilah tiga awal dikalangan keluarga Kerajaan Gowa, yaitu Awwal al-Islam (Kerajaan Tallo), Awwal al-Din (Kerajaan Gowa), Awwal al-Ma’rifah (Masjid Nurul Ma’arif Paropo menga mengenang istilah yang melekat kepada orang tua terdahulu di Paropo). Ulama-ulama bergantian memberikan pengajian, ceramah dan mengijazahkan tarekat. Umumnya masyarakat Paropo mengamalkan Tarekat Al-Muhammadiyah, jalur sanad Tekolabbua Maros melalui khaifah-khalifah Syekh KH. Syamsuddin, yaitu KH. Asnawi, KH. Puang Passallam dan KH. Mudo Kaemba. Selain itu, Gurunta H. Jafri Baco (khalifah Tarekat Muhammadiyah Paropo) juga belajar kepada dua ulama Tarekat al-Muhammadiyah KH. Kadir Khalid, MA. dan KH. Bilalu. Termasuk di antaranya yang sering membawakan pengajian adalah Allamah KH. Muhammad Nur.

Drs. KH. Muhammad Ali menuturkan bahwa ia mengikuti pengajian KH. Muhammad Nur selama 40 tahun dan KH. Kadir Khalid, MA. selama 20 tahun. Secara khusus, menyampaikan peristiwa-peristiwa spiritual KH. Muhammad Nur di Makkah, kemampuan belajarnya dan penguasaannya terhadap literatur-literatur Islam.

Tarekat sejak dahulu memiliki jaringan yang sangat luas di Sulsel dari sumber yang beragam dengan amalan khas yang sama. Sebagai langkah awal ikhwan Tarekat al-Muhammadiyah, peneliti dan umat untuk menerobos lubang sejarah keulamaan abad 18. Diskusi ilmiah tarekat ini berdasarkan data dan manuskrip peninggalan ulama-ulama, tentu ini menepis stigma bahwa tarekat itu dogma dan tidak ilmiah.

*Catatan: Tarekat al-Muhammadiyah adalah nama lain dari Tarekat Idrisiyah yang berkembang di Sulawesi Selatan. Mursyidnya saat ini adalah Dr. KH. Baharuddin yang merupakan Ketua MUI Makassar.

Penulis: Hardianto
Editor: Khoirum Millatin