Walisongo Luar Negeri dalam Kitab Manaqib al Auliya’ al Abrar

September 20, 2023 - 00:01
 0
Walisongo Luar Negeri dalam Kitab Manaqib al Auliya’ al Abrar

Nama “Walisongo” mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, khususnya muslim di Jawa. Kepopulerannya bahkan dijelaskan pula oleh KH. Bisri Musthofa dalam kitab berbahasa Arab pegon yang berjudul Tarikh al Auliya’ Tarikh Walisanga yang selesai ditulis pada tahun1952 Masehi. Dalam kitab tersebut, KH. Bisri Musthofa tidak hanya menyebutkan Sembilan nama wali, tetapi lebih dari itu. Mereka diantaranya Raden Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Abdul Qadir (Sunan Gunung Jati), Raden Sa’id (Sunan Muria), Raden Amir Haji (Sunan Kudus), Sayyid Muhsin (Raden Wilis), Raden Haji Usman (Sunan Manyuran), Raden Patah (Sunan Bintoro), Raden Usman Haji (Sunan Ngudung), Raden Jakandar (Sunan Bangkalan), Khalifah Husain (Sunan Kertayasa), Sayyid Ahmad (Sunan Malaka), Pangeran Santri (Sunan Ngadilangu), Raden Abdul Jalil (Sunan Siti Jenar) dan Raden Qasim (Sunan Drajat).

Nama-nama di atas tentu sangat familiar dalam proses penyebaran Agama Islam di Jawa. Berbeda dengan KH. Bisri Musthofa, dan ulama nusantara kebanyakan yang membahas walisongo sebagai tokoh Nusantara, KH. Mishbah bin Zain al Musthofa justru mengadaptasi istilah tersebut untuk mengumpulkan wali-wali yang berasal dari luar Indonesia dan menghimpunnya dengan nama walisongo luar negeri. Ulama yang berasal dari Bangilan, Tuban itu menuangkan nama-nama walisongo luar negeri dalam kitabnya yang berjudul Manaqib al Auliya’ al Abrar yang diantaranya Abu al Qasim al Junaid, Abd al Qadir al Jilani, Abu al Hasan al Sadzili, Abu al ‘Abbas al Mursi, Abu al Husain al Rifa’I, Ibrahim al Dasuqi, Ibrahim al Matbuli, Ali al Khawwash dan Syams al Din Muhammad al Hanafi. Pemilihan nama-nama di atas didasari oleh kepopuleran mereka berdasarkan cerita-cerita ulama thariqah terdahulu. Dan bukan berarti nama-nama ulama lain yang tidak disebutkan itu lebih rendah derajatnya.

Kitab ini berisi kisah-kisah wali yang dikutib dari beberapa kitab tasawuf terkemuka seperti Asrar al Talibin, Futuhat al Makkiyah, Syarah Kharidah, dan lain-lain. Layaknya kisah-kisah sufi dalam kitab lain, Manaqib al Auliya’ al Abrar  juga memuat kisah-kisah dan qaul-qaul ulama yang mencerminkan kesalehan dan kedekatan mereka kepada Allah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Abd al Qadir al Jilani berikut:

 “Tanda-tanda musibah yang didatangkan Allah dengan tujuan sebagai azab adalah ketika hamba tersebut tidak bisa sabar menghadapinya serta mengeluh dan mengadu kepada orang lain. Adapun tanda-tanda musibah yang didatangkan Allah dengan tujuan sebagai pelebur dosa adalah ketika hamba tersebut sabar dan tidak mengeluh kepada siapapun dalam menghadapinya. Ia juga tidak akan bosan melaksanakan perintah Allah dan menaati-Nya. Adapun musibah yang didatangkan Allah dengan tujuan untuk mengangkat derajat hamba-Nya adalah hamba tersebut ridha dengan apa yang dihadapi dan menerimanya dengan ikhlas. Hatinya masih tentram dan damai hingga musibah itu hilang.”

Kitab Manaqib al Auliya’ al Abrar ditulis dengan dua bahasa. Pertama Bahasa Arab, kemudian oleh penulis diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon untuk memudahkan pembaca (yang pada saat itu pembacanya adalah masyarakat Jawa) yang tidak bisa berbahasa Arab. Adapun di akhir kitab, penulis masih menyempatkan untuk menulis beberapa kisah kewalian dari tokoh lain seperti wali perempuan, Mu’adzah al Adawiyah yang menghabiskan sepanjang harinya dengan shalat sunnah enam ratus rakaat dan selama empat puluh tahun pandangannya tak pernah menghadap ke langit karena rasa takutnya terhadap Allah. Adapula cerita dari Dzun Nun al Mishri yang mengatakan bahwa semakin seseorang itu bertambah ilmunya, seharusnya bertambah pula zuhudnya. Namun pada saat ini, semakin seseorang itu bertambah ilmunya, justru ia semakin mencintai dunia. Dahulu ia melihat setiap orang berlomba-lomba mengeluarkan hartanya untuk memperoleh ilmu. Namun saat ini yang dilihat adalah setiap orang berlomba-lomba mengeluarkan ilmunya untuk memperoleh harta.

Wallahu a’lam bi as shawwab