Kontroversi Tasawuf Ibnu Arabi dan Pembelaannya

Tasawuf falsafi Ibnu Arabi, mendapat kecaman yang keras dari ulama fiqih ortodoks. Sejak kehadiran ajaran Ibnu Arabi telah di kecam, dimusuhi dan di diskriminasikan.
Barangkali faktor utama yang paling sering menimbulkan kecurigaan dan kecaman keras terhadap tasawuf falsafi ialah muncul nya ajaran-ajaran yang mengarah kepada atau yang sering di tuduh Wahdatul al-Wujud. Kecaman para ulama Syariat terhadap ajaran Wahdatul al-Wujud itu sangat keras dan tajam karena masalah ini langsung menyangkut dengan tauhid: prinsip utama ajaran Islam yang dipersoalkan ialah; apakah Tuhan identik dengan alam? Menurut Wahdatul al-Wujud dalam pengertian yang populer, Tuhan identik dengan alam. Semua yang ada sebagai keseluruhannya adalah Tuhan, dan Tuhan adalah semua yang ada sebagai keseluruhannya. Tuhan dan alam adalah satu realitas atau satu Wujud. Di sini imanensi (tasybih) Tuhan terlihat secara total dan trasedensi (tanzih)-Nya hilang; perbedaan esensial antara Tuhan dan alam tidak ada lagi.
Diantara Ulama-ulama menentang paham Wahdatul al-Wujud Ibnu Arabi adalah; Ibnu Taymiyyah (w. 1328), Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ( w. 1350 ), al-Taftazani ( w. 1389) Ibrahim al-Biqa'i (w.1480 ) dan Mulla Ali Al-Qari ( w 1606 ) Semuanya adalah ulama yang berkecimpung dalam rana Syariat, hadist dan teologi. Ibnu Taymiyyah misalnya, menuduh Ibnu Arabi berkeyakinan bahwa Wujud makhluk adalah wujud Khaliq, dan segala sesuatu adalah perwujudan Nya. Ia menuduh Ibnu Arabi sebagai zindiq dan kafir.
Kritik yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi intelektual dan spiritual luar biasa terhadap doktrin Ibnu Arabi tidak hanya dari kalangan teologi dan syariat. Di dalam tubuh tasawuf sendiri, seorang Sufi terkenal Rukh al-Din al-Simmani (w. 1336 ) telah menuduh Ibnu Arabi mencampur adukan Tuhan dengan alam, dengan mengidentikkan yang Ilahi dengna yang manusiawi. Gerakan ini mencapai puncaknya pada ajaran Ahmad Faruq Sirhindi ( w 1625 ), seorang teoritikus tasawuf amali tarekat Naqsyabandiyah menyatakan pengalaman Wahdatul al-Wujud, walaupun sebagai suatu pengalaman rill, tidaklah menunjukkan tahap terakhir perkembangan sang Sufi.
Kecurigaan terhadap ajaran-ajaran tasawuf Ibnu Arabi datang tidak hanya datang dari para kalangan ulama-ulama tradisional, tetapi juga dari para ulama modernis seperti Muhammad Abduh ( w.1905 ) yang mencela Futuhat Al-Makkiyah Karya ibnu Arabi paling besar. Ketika menjadi direktur pelbagai penerbitan di Mesir ia menolak untuk menerbitkan Futuhat. Selain itu pada November 1975 Syekh Kamal Ahmad Awm Direktur Institu al-Azhar menulis sepucuk surat terbuk dalam sebuah kabar terbit di Kairo. Surat itu berisi tuduhan bid'ah atas ajaran-ajaran Ibnu Arabi.
Selain ulama-ulama yang membenci dan memusuhi tasawuf Wahdatul al-Wujud Ibnu Arabi. Ulama-ulama pendukung, pemuji dan pembelanya pun sangat banyak. Diawali dengan murid2 dan pengikut2 beliau yaitu: Shadr al-Din al-Qunawi (w 1274 ), beliau murid paling utama penyambung lidah Ibnu Arabi disamping beliau sebagai anak tiri ibnu Arabi. Mu'ayyid al-Din al-Jandi (w. 1291), Abd al-Razzaq Al-Kasyani (w. 1330), Syaraf al-Din Dawud Al-Qasyhari (w. 1350), Abdul Karim Al-Jili (w. 1424 ), Syams ad-Din Hamzah al-Fanari (w 1431), Abdurrahman Jami (w. 1492), Mulla Shadra (w. 1641 ), Burhan ad-Din al-Kurani (w. 1690), Ismail Hakki Bursevi (w.1725), Abdul Ghani An-Nabulusi (w. 1731), Ahmad Ibn al-Ajibah (w.1809), Abdul Qadir al-Jazairi (w.1883).
Disamping pengikut Ibnu Arabi yang nota bone ulama-ulama tasawuf falsafi. Banyak juga ulama-ulama lain yang mendukung Ibnu Arabi yaitu : el Izz Din Abdus Salam al-Maqdisi, Imam al-Yafi'i, Ibnu Athaillah Al-Sakandari, Zakariyah al-Anshari, Fakhr al-Din ar-Razi, Abdul Wahab Sha'arani, Mustafa Al-Bakri, Jalaluddin al-Suyuth, Syihubuddin Syuhrawardi, Muhammad Hasyim al-Tilmisani, Abdullah as-Syarqawi, Ibnu Hajar al-Haitami, Abdul Halim Mahmoud (Grand Al-Azhar), dan Ahmad al-Tayeb (Grand Al-Azhar sekarang).
Pembelaan Ibnu Arabi juga datang dari sarjana-sarjana Barat (Eropa dan Amerika), pada 1977 sekelompok sarjana Barat yang mengagumi Syekh al-akbar mendirikan satu organisasi bernama The Muhiyiddin Ibnu Arabi Society. Ketertarikan pada pemikiran tasawuf Ibnu Arabi tampak pula pada pemikir Sufi kontemporer seperti ; Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya), Frithjof Schuon (Isa Nur al-Din), Titus Burckhardt (Ibrahim Izz al-Din), Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din), Henry Corbin, Seyyed Jalaluddin Al-Ashtiyani, Wililam C Chttick, Toshihiko Izutsu, dan Seyyed Hossein Nasr.
Dalam perspektif pengikut, pendukung dan pembelaa Ibnu Arabi diatas baik yang tradisional maupun yang kontemporer menafsirkan bahwa Ibnu Arabi mengajarkan bahwa tidak ada (sesuatu pun) dalam wujud kecuali Allah. Segala sesuatu selain Allah tidak ada pada dirinya sendiri; Ia hanya ada sejauh memanifestasikan wujud Tuhan. Manusia sempurna (al-Insan al-kamil) adalah lokus penampakkan (mazhar) diri Tuhan yang paling sempurna.
Di dalam sistem Tasawuf falsafi Ibnu Arabi manifestasi diri (tajalli) Tuhan memang merupakan salah satu ajaran sentral. Dalam hal ini Syekh Kamaluddin Abdul Razaq Al-Kashyani menjelaskan:
قال الشيخ الأكبر " فالعالم صورته وهو روح العالم المدبر له، فهو الإنسان الكبير". اي فالعالم ظاهر الحق وهو باطنه، والحق روح العالم والعالم صورته فهو الإنسان الكبير، لأن الإنسان الكبير خلق على صورته والعالم كذلك "وهو الظاهر والباطن" لا أن العالم صورة وهو باظنها فحسب، بل بمعنى أنه ظاهر العالم وباطنه ولهذا قال:
فهو الكون كله وهو الواحد الذي قام كوني بكونه.
Berkata Asy-Syaikhul al-Akbar : " Alam adalah bentuk-Nya, Dia adalah ruh alam yang mengatur alam. Dia adalah al-Insan al-Kabir (manusia besar)." Penjelasan Al-Qasyani: Alam merupakan pendhahiran Al-Haq dia merupakan bathin-Nya, dan Al-Haq ruh alam dan alam merupakan gambaran-Nya dalam bentuk Al-Insan Al-Kabir (makrokosmos), tak lain makrokosmos tercipta dari pada gambaran-Nya tak lain alam. "Sesungguhnya Dia yang Dhahir dan yang bathin". Tak alam tak lain gambaran merupakan pada bathin. Dengan makna Sesungguhnya Dhahir alam bathin Al-Haq. Berkata Asy-Syaikhul al-Akbar: "Dialah alam keberadaan seluruhnya. Dia yang Tunggal (Ahadit) eksistensiku tegak berdiri dengan keberadaan-Nya.
[ Kitab Syarh Al-Qasyani ala Fushush Al-Hikam Fass Hikmah Ahadiyah fi Kalimati Hudiyah, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut hal 201 ]
Dalam tasawuf Ibnu Arabi, penampakkan diri (tajalli) Tuhan memang merupakan salah satu ajaran sentral. Alam tidak mempunyai wujud sendiri kecuali wujud pinjaman, wujud yang berasal, "melimpah" atau "memancar" dari Tuhan. al-Haq (Tuhan) dan al-khalq (alam) adalah satu tetapi tetap berbeda. Asy-Syaikhul al-Akbar Ibn Arabi menjelaskan:
الحق هو الظاهر فالخلق مستور فيه، فيكون الخلق جميع أسماء الحق سمعه وبصره وحميع نسبه وادركاته. وإن كان الخلق هو الظاهر فالحق مستور باطن فيه، فالحق سمع الخلق وبصره ويده ورجله وحميع قواه كما ورد في الخبر الصحيع. ثم إن الذات لوتعرت عن هذه النسب لم تكون الها. وهذه النسب احدثتها أعياننا فنحن جعلناه بمالوهيتنا إلها. فلا يعرف الحق حتى نعرف قال عليه السلام "من عرف نفسه فقد عرف ربه" وهو أعلم الخلق بالله.
Jika Al-Haq adalah Dhahir maka ciptaan-Nya adalah yang tersembunyi di dalam-Nya [al-Bathin]. Ciptaan menjadi seluruh nama-nama Al-Haq, ia menjadi Pendengaran-Nya, Penglihatan-Nya serta seluruh keterkaitanNya dan pengetahuan-pengetahuan-Nya. Jika makhluk [khalq] adalah yang Dhahir maka al-Haqq yang tersembunyi [al-Bathin] di dalamnya, Al-Haq menjadi pendengaran Khalq, penglihatannya, kakinya serta seluruh energinya sebagaimana hal ini diriwayatkkab dalam hadits shahih, hadits Al-Qudsi. Kemudian jika Dzat-Nya lepas dari semua keterkaitan ini maka Dia Bukan Tuhan. Sedangkan keterkaitan-keterkaitan ini merupakan esensi-esensi kita yang kita telah memunculkannya; kita telah menjadikan-Nya sebagai Tuhan dengan sebab apa yang disembah kita. Tuhan tidak kita kenal kecuali setelah kita dikenal. Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa telah mengenal dirinya pasti telah mengenal Tuhannya." Pasti dia adalah makhluk yang paling mengenal Allah.
[ Kitab Fushush Al-Hikam, Dar Ihya Kutubi Al-Arabi, Beirut hal 81 ]
Ajaran tauhid Wahdatul al-Wujud menekankan tidak hanya sisi tasybih, tetapi juga sisi tanzih. Dilihat dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik atau lebih tepat serupa satu, dengan alam walaupun kedunya tidak setara karena Dia melalui nama-nama-Nya, menampakkan Diri-Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlaq yang tidak terbatas di luar alam nisbis yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh Ibnu Arabi dengan ungkapan singkat huwa la huwa (Dia dan bukan Dia). Dalam pandangan ini Tuhan adalah imanen dan sekaligus transeden.
Asy-Syaikhul al-Akbar Ibnu Arabi menjelaskan:
والحق إنما وسعه القلوب، ومعنى ذلك أن لا يحكم على الحق تعالى، بأنه لا يقبل ولا يقبل، فإن ذات الحق وأنبته مجهولة عند الكون، ولا سميا وقد أخبر جل جلاله عن نفسه بالنقيضين في الكتاب والسنة، فشبه في موضع ونزه في موضع. قال تعالى " ليس كمثله شىء"(الشورى : ١١). وشبه يقوله: ""وهو السميع البصير" (الشورى : ١١). فتفرقت خواطر التشبيه وتشتتت خواطر التتزيه، فإن المنزه على الحقيقة قد قيده وحصره في تنزيهه وأخلى عنه التشبيه، والمشبه أيضا قيده وحصره في التشبيه وأخل عنه التنزيه والحق في الجمع بالقول بحكم الطائفتين، فلا ينزه تنزيها يخرج عن التشبية، ولا يشبه تشبيها يخرج عن التنزيه، فلا تطلق ولا تقيد لتميزه عن التقييد، ولو تميز بقيد في إطلاقه ولو تقيد في إطلاقه لم يكن هو، فهو المقيد بما قيد به نفسه من صفات الجلال، وهو المطلق بما سمى به نفسه من أسماء الكمال، وهو الواحد الحق الجلي الخفي لا إله إلا هو العلي العظيم.
Al-Haq hanya bisa dicakup oleh qalbu. Makna dari perkataan ini adalah Al-Haq tidak bisa dihukumi bisa menerima ini dan itu itu atau tidak bisa menerimanya, karena Dzat Al-Haq dan al-Ainiyyah (kedirian-Nya) tidak mungkin bisa diketahui oleh al-Kaun ( makhluk jadian ). Terlebih lagi Dia telah mengabarkan tentang Diri-Nya Yang Maha Agung Jalal-Nya dengan hal-hal yang kontradiktif (naqidatayn). Dalam kitab dan Sunnah. Di satu tempat Dia menyatakan Diri-Nya tasybih (bisa diserupai), sementara di tempat lain Dia tanzih (Meniadakan Diri-Nya). Dia menyatakan tanzih dalam firman-Nya, "Tiada sesuatu pun yang serupa Dengan-Nya". (QS. Asy-Syura: 11). Dan tasybih pada firman-Nya, "Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. Asy-Syura: 11). Oleh karena itu, khawatir tentang tasybih terpisah dan khawatir tentang tanzih juga terbedakan.
Pada hakikatnya, ia yang menganut mazhab tanzih telah mengikat dan membatasi Allah dengan tanzih-Nya dan menganggap-Nya tidak memiliki tasybih. Di sisi lain, penganut mazhab tasybih juga telah mengikat dan membatasi-Nya dengan tasybih dan melepaskan-Nya dari tanzih.
Tetapi Al-Haqq adalah himpunan dari pernyataan hukum kedua kelompok tersebut. Dia tidak bisa di tanzih dengan tanzih yang mengeluarkan-Nya dari tasybih, dan Dia tidak pula di tasybih dengan tasybih yang mengeluarkan-Nya dari tanzih.
Oleh karena itu, janganlah engkau mengatakan bahwa Dia sepenuhnya "tak terbatas" sehingga engkau akan membatasi-Nya dengan mengatakan bahwa, " Dia tidak bisa dibatasi." Jika Dia dikatakan "tidak bisa dibatasi". Berarti Dia telah terbatasi Oleh ketidakterbatasan-Nya itu. Dan jika Dia terbatasi Oleh ketidakterbatasan-Nya, maka Dia tidak bisa menjadi "Dia". Yang benar adalah Dia terbatasi (muqayyad) oleh sifat-sifat Jalal yang dengannya Dia membatasi Diri-Nya, dan Dia tak terbatas (mutlaq) melalui nama-nama Kamaliyah yang dengannya Dia menamai Diri-Nya. Dan Dia adalah Maha Satu (al-Wahid), Al-Haqq, Al-Jali namun juga tersembunyi (Al-Khafi). Tiada Tuhan Selain Dia Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.p
[ Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah Jilid II, Bab 58, Dar Ihya Al-Thorast Al-Arabi, Beirut hal 35 ]
Maka tuduhan bahwa Ibnu Arabi menyamakan Tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan antara keduanya dan dengan telah mengajarkan doktrin sesat, yang menyalahi ajaran tauhid yang murni, tidak dapat dibenarkan. Tuduhan seperti ini timbul dari Kesalahpahaman orang-orang yang melihat hanya sisi tasybih dan imanensi Tuhan dalam Wahdatul al-Wujud dan mengabaikan sisi tanzih dan trasedensi-Nya. Padahal Ibnu Arabi sangat menekankan keduanya. Inilah pengetahuan yang benar tentang Tuhan.
Sesungguhnya Wahdatul al-Wujud tidak dapat dipandang sebagai yang menyimpang dari ajaran tauhid. Sebaliknya Wahdatul al-Wujud adalah sebagai ekspresi tauhid yang paling tinggi, dan sebagai satu-satunya bentuk tauhid yang benar. Salah seorang ulama Sufi pembela Ibnu Arabi, yaitu Syekh Ali Al-Qari Al-Mawsili Al-Jafa'tari menerangkan konsep Wahdatul al-Wujud:
وأعلم : أيضاً أن القائلين بوحدة الوجود منهم من يعلم أن الوجود الحق تعالى في الخلق على معنى أن المخلوقات كلها قائمه به، وهي كلها تقاديره وتصاويره، وهذا يعلم مجرد علم من غير ذوق وفهم. ومهنم من يشاهد الوجود الحق في الخلق شهودا حالياً بألقلب وهذا شهود الوحدة في الكثرة، ومنهم من يشاهد الحق في الخلق في الحق بحيث لا يكون أحدهما مانعاً من الآخر، وهذا شهود الوحدة في الكثرة والكثرة في الوحدة.
Ketahuilah juga, bahwa mereka yang meyakini Wahdat al-Wujud (kesatuan eksistensi) ada yang mengetahui, bahwa keberadaan al-Haqq yang Maha Tinggi di dalam ciptaan menunjukkan bahwa semua makhluk bersandar pada-Nya.
Semuanya adalah ketetapan dan citra-Nya. Keyakinan ini mengandalkan hanya pada pengetahuan, tanpa intuisi (dzawq) dan pemahaman intelektual
Ada juga dari mereka yang menyaksikan keberadaan al-Haqq pada makhluk dengan penyaksian terkini melalui kalbu. Ini adalah penyaksian pada yang Esa dalam yang banyak.
Ada pula di antara mereka yang menyaksikan al-Haqq di dalam penciptaan al-Haqq, di mana keduanya tidak saling mengalangi
Dan ini adalah penyaksian pada yang Esa dalam yang banyak, dan pada yang banyak dalam yang Esa.
(Kitab Kasyf Al-Muhaddarat fi Hiba Al-Mu'assarat, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 246)
Dengan demikian ajaran Wahdatul al-Wujud, Allah betul-betul Esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Allah. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Allah. Alam tidak lebih dari penampakkan-Nya. Hanya saja, ulama-ulama yang membenci, menyesatkan Ibnu Arabi dan mendiskriminasikan ajaran dan pengikut beliau, disebabkan mereka memahami tasawuf Ibnu Arabi menggunakan perspektif kalam (teologi),yang burhani/aqli. Mereka tidak yang memahami konsep Irfan dalam memahami esensi tertinggi dari tasawuf.
Budi Handoyo SH MH Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.