Kisah Abdullah bin Jahsy, Pertumpahan Darah Di Bulan Haram

Abdullah bin Jahsy adalah putra dari Jahsy bin Ri'ab bin Ya'mar bin Sabirah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW dari suku Asad. Ia lahir di Mekkah, sekitar 40 tahun sebelum Hijriah (sekitar 580 M). Tidak hanya sebagai sahabat Rasulullah Saw, tetapi ia juga keluarga Rasulullah Saw dari jalur ibunya, Umaimah binti Abdul Muthalib dan saudara perempuannya, Zainab binti Jahsyi adalah istri Rasulullah Saw.
Abdullah masuk Islam sebelum Rasulullah Saw menjadikan rumah al-Arqam sebagai pusat dakwah. Ia adalah salah satu sahabat di antara beberapa sahabat Rasulullah Saw yang pertama masuk Islam. Karena itu, ia disebut sebagai Assabiqunal Awwalun.
Pada bulan Rajab tahun 2 Hijriah atau bertepatan dengan bulan Januari tahun 624 M, Abdullah diutus oleh Rasulullah Saw untuk menuju lembah Nakhlah. Ia diutus bersama dua belas orang dari kalangan Muhajirin, tanpa disertai satu orang pun dari kalangan Anshar.
Rasulullah Saw menuliskan sebuah surat untuk Abdullah bin Jahsy. Ia diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar tidak melihat apa isi surat itu, kecuali telah melakukan perjalanan selama dua hari. Abdullah melaksanakan perintah Rasulullah Saw yang dititahkan kepadanya.
Ketika telah melakukan perjalanan selama dua hari, Abdullah membuka surat tersebut. Ternyata isinya, “Apabila engkau telah melihat isi suratku ini,maka teruskanlah perjalanmu sampai tiba dan beristirahat di lembah Nakhlah yang terletak antara Makkah dan Tha’if. Awasilah kaum Quraisy di sana dan beritahulah kepada kami kabar mereka.”
Setelah selesai membaca surat itu, Abdullah memberitahukan kepada pasukannya mengenai surat itu dan menyatakan bahwa dirinya tidak akan memaksa mereka untuk ikut serta. Ia pun melanjutkan perjalanannya, semua anggota pasukannya ikut berangkat, tidak ada seorang pun di antara mereka yang tertinggal.
Ketika Abdullah dan para pasukannya berada di kawasan Bahran (daerah pertambangan yang terletak di Hijaz dekat Furu'), tiba-tiba onta yang ditunggangi oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan hilang. Mereka berdua pun tertinggal, karena mencari ontanya yang hilang.
Sesuai perintah Rasulullah Saw, Abdlullah bin Jahsy dan pasukannya meneruskan perjalanannya hingga tiba di lembah Nakhlah. Sekelompok Quraisy lewat di tempat itu dengan membawa kismis, kulit, dan sejumlah barang dagangan.
Kaum musilimin ingin menyerang rombongan Quraisy yang lewat itu, namun mereka masih berada di penghujung bulan Rajab, yaitu bulan yang diharamkan untuk berperang. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk menyerang rombongan Quraisy itu dan sepakat untuk membunuh siapa saja yang mampu mereka bunuh dan merampas harta yang dibawanya.
Abdullah dan pasukannya berhasil membunuh satu orang dari rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan satu orang lainnya berhasil melarikan diri. Mereka membawa harta rampasan dan dua orang tawanan itu kepada Rasulullah Saw di Madinah.
Ketika mereka menghadap kepada Rasulullah Saw di Madinah, beliau bersabda, “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan Haram!” Setelah Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya, Abdullah dan pasukannya menjadi lunglai, mereka menyangka telah binasa. Saudara-saudara mereka dari kalangan muslimin mencerca atas tindakan yang telah dilakukannya itu.
Tak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban yang ditanggung mereka terhadap cercaan yang diterimanya. Namun demikian, imannya tetap tegar. Akhirnya Allah SWT memberikan kabar gembira kepada mereka dengan turunnya ayat:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِه وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِه مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِه فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Namun, menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Fitnah (pemusyrikan dan penindasan) lebih kejam daripada pembunuhan.” Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu jika mereka sanggup. Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 217)
Setelah ayat tersebut turun, tenanglah hati Rasulullah Saw. Harta rampasan itu disita untuk Baitul Mal dan kedua tawanan dimintai tebusan. Rasulullah Saw setuju dengan apa yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy dan pasukannya.
Penyergapan ini kemudian memicu terjadinya Perang Badar. Orang-orang Quraisy semakin terpacu semangatnya untuk memerangi Rasulullah beserta para sahabat. Dalam perang ini kemenangan berada dalam genggaman pasukan muslim meski secara jumlah pasukan Quraisy Mekah lebih banyak dibandingkan pasukan muslim.
Ketika Perang Badar, Abdullah ikut berjuang bersama kaum muslimin. Dalam peperangan itu, ia cedera cukup parah. Selang setahun setelah Perang Badar, terjadilah Perang Uhud tepatnya pada tahun 3 Hijriyah yang dialami oleh Abdullah bin Jahsy dan Sa'ad bin Abi Waqqash.
Abdullah bin Jahsy wafat dalam keadaan syahid pada Perang Uhud. Jasadnya ditemukan oleh para sahabat dalam keadaan hidung dan telinganya buntung, dan tubuhnya tergantung pada seutas tali. Kemudian ia dimakamkan, air mata Rasulullah Saw mengalir membasahi kuburnya, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasadnya. (Hepi Andi Bastoni, Wallahu A’lam.
Sumber:
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum [Mesir: Darul Wafa’, 2020], halaman 179.
Abdussalam Muhammad Harun, Tahzib Sirah Ibnu Hisyam, [Beirut, Darul Kitab al-Alamiyah: 2018], halaman 113.
101 Sahabat Nabi, [Jakarta, Pustaka al-Kautsar: 2008], halaman 36-37.
Penulis: Danial .M Alumni Pondok Pesantren Hj. Haniah, Maros Mahasantri Ma’had Aly Sa’idussidiqiyah, Jakarta
Editor: Khumaedi NZ