JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
Kontestasi Tarekat

Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Ali Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa.
Oleh: Abdur Rahman El Syarif
BAB V. DI BUMI MELAYU: NAQSYABANDIYAH DAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA
5.4. Minangkabau: Laskar Ruhani dan Revolusi Sosial
5.4.2 Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah: Kontestasi Spiritualitas dan Wacana Otoritas
Pada abad ke-17 hingga ke-19, Minangkabau menjadi salah satu pusat penting penyebaran dan perkembangan tarekat sufi di Nusantara. Di antara tarekat yang paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Kedua tarekat ini tidak hanya bersaing dalam bidang spiritual dan pengaruh sosial, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk diskursus keagamaan, pendidikan, bahkan perlawanan terhadap hegemoni kolonial dan dominasi adat yang tak selaras dengan syariat¹.
Tarekat Syattariyah lebih dahulu mapan di Minangkabau, terutama melalui jalur Ulakan yang diasosiasikan dengan Syekh Burhanuddin (w. ca. 1691), seorang ulama sufi yang belajar di Aceh dan dipercayai memiliki silsilah keilmuan yang tersambung dengan ulama-ulama Mekkah dan India².
Tarekat ini sangat populer di pesisir barat Sumatera, dan menjadi bagian dari identitas keagamaan masyarakat Minang selama lebih dari satu abad. Surau-surau Syattariyah menjadi pusat dakwah dan pendidikan yang meresap ke dalam kehidupan adat³.
Namun, pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, mulai masuk pengaruh Tarekat Naqsyabandiyah melalui jalur Tanah Datar dan Padang Panjang. Pengaruh ini datang dari ulama-ulama yang belajar di Haramain, terutama melalui Syekh Ismail al-Minangkabawi dan murid-muridnya, yang membawa semangat tajdid, pemurnian tauhid, serta penekanan pada zikir khafi dan disiplin syariat⁴.
Para tokoh ini membawa corak Naqsyabandiyah-Khalidiyah yang berkembang pesat di Timur Tengah pasca reformasi oleh Syekh Khalid al-Baghdadi⁵.
Kontestasi antara Syattariyah dan Naqsyabandiyah pada dasarnya adalah pertarungan paradigma: Syattariyah yang cenderung akomodatif terhadap adat, dan Naqsyabandiyah yang lebih ketat terhadap penyucian akidah dan pemurnian ibadah. Hal ini tercermin dalam perdebatan-perdebatan keagamaan di surau, juga dalam perbedaan metode dakwah dan kehidupan spiritual³.
Namun demikian, keduanya tetap berakar dalam tradisi tasawuf Sunni dan sama-sama berkontribusi besar dalam membentuk masyarakat Islam Minangkabau yang aktif dan dinamis.
Selain itu, pertumbuhan Tarekat Naqsyabandiyah di pedalaman juga turut melahirkan kader-kader perlawanan yang kelak terlibat dalam gerakan Paderi. Gerakan ini menolak sinkretisme dan menyerukan pemurnian akidah serta penegakan syariat⁶.
Meskipun kemudian terjadi konflik internal antara kaum adat dan kaum agama, benih perlawanan terhadap kolonialisme telah mulai tumbuh dari rahim tarekat dan gerakan pembaruan Islam ini. (Bersambung ke Sub Bab 5.4.3)
Referensi:
1. Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847 (London: Curzon Press, 1983), hlm. 66–67.
2. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 197–198.
3. Syamsul Bahri, Sejarah Tarekat di Minangkabau (Padang: Tarbiyah Press, 2004), hlm. 88–89.
4. Azra, op. cit., hlm. 199–201.
5. Dobbin, op. cit., hlm. 70–71.
6. Bahri, op. cit., hlm. 91–93.