Keterkaitan Tasawuf dan Jiwa Kemerdekaan

Allah sebagai Motif Utama
Tasawuf merupakan upaya penyucian diri, membebaskan hati dan jiwa dari belenggu keterikatan pada dunia dan menuju pada Allah semata. Tasawuf menjadikan setiap jiwa merdeka dari perbudakan jiwa atas dunia, sebuah jiwa yang merasakan hati yang merdeka dari rasa terkekang atas segala tarikan belenggu himpitan dunia. Tasawuf juga mengajarkan akhlak sebagai manusia yang tunduk pada kehendakNya. Tasawuf bermakna pula ilmu yang berupaya mengetahui kebaikan dan keburukan jiwa serta berupaya untuk memperbaikinya (Gitosaroso, t.t.)
Ide tasawuf tertuang dalam lagu Kebangsaan Indonesia Raya: “Bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya”. Sebuah kalimat yang menunjukkan keutamaan anak bangsa untuk membangun jiwa yang kemudian disusul oleh pembangunan fisik tubuh manusia. Tasawuf bergerak dalam lapangan dalam jiwa manusia, ia memperbaiki jika ditemukan kekurangan, mempertebalnya jika telah baik. Tasawuf bergerak dalam lingkaran dalam hati dan kalbu manusia terdalam, dan syariah bergerak dalam lapangan fisik manusia. Lagu Indonesia Raya secara tidak langsung menunjukkan kesepaduan dan harmoni antara tasawuf dan syariah bagi manusia.
Kemerdekaan Bangsa dalam lagu Kebangsaan Indonesia Raya tidak semata keluar dari belenggu penjajahan fisik, tetapi makna terdalam adalah menyangkut kemerdekaan setiap jiwa bangsa Indonesia dari belenggu apapun. Kemerdekaan yang hendak dicapai oleh Bangsa Indonesia memiliki nilai spiritualitas yang tinggi, karena kemerdekaan bangsa juga menyentuh sisi kemerdekaan jiwa manusia Indonesia.
- Baca Juga – Refleksi Tasawuf: Meneladani Sifat Ar-Rahman
Hal ini juga dipertegas lagi dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea III yang dinyatakan bahwa “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kalimat ini menunjukkan ide tasawuf yang dalam bahwa Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah anugerah Allah subhanahu wa ta’ala. Bahwa hanya Allah yang menjadi kosmologi bertindak setiap jiwa manusia Indonesia. Kemerdekaan tercipta bukan sekedar kehendak manusia semata, tetapi di dalamnya ada peran kehendak Tuhan sebagai kehendak yang paling agung bagi Bangsa Indonesia.
Kemerdekaan bagi manusia Indonesia hakikatnya bermakna kemandirian dalam bertindak untuk menentukan kehendaknya, terbebas dari bentuk penundukan oleh bangsa manapun karena dalam jiwa bangsa Indonesia yang ada hanyalah Allah semata. Menjadi wajar bahwa Sila Pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan Sila Ketuhanan ini menunjukkan karakter manusia Indonesia yang selalu melekatkan hati dan jiwanya semata kepada Tuhan. Dalam perspektif tasawuf maka yang ada dan terus hidup dalam diri manusia Indonesia hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai jiwa bangsa bermakna meletakkan Allah sebagai satu-satunya motif penggerak abadi manusia Indonesia. Inilah kosmologi tasawuf dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Baca Juga: Thariqah dan Kebangsaan
Menempatkan Allah sebagai motif gerak dalam kosmologi befikir manusia Indonesia menunjukkan sebuah hubungan yang abadi antara manusia Indonesia dengan Tuhannya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia menunjukkan pula sebuah totalitas penghambaan manusia Indonesia semata kepada Allah. Dengan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno maka manusia Indonesia menyatakan dirinya bukanlah budak bangsa manapun, bahwa manusia Indonesia adalah bangsa dengan jiwa merdeka yang berada dalam Rahman dan Rahim Allah semata.
“Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang dia berjalan dengannya” (HR. Bukhari No.6502).
Tasawuf dan Jiwa Membangun
Tasawuf memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya nation Indonesia. Para Pahlawan Indonesia sejak Syaikh Yusuf al Makassari, Pangeran Diponegoro, Hadaratussyaikh Hasyim Asyari, hingga Buya Hamka adalah para pengamal tasawuf yang meletakkan dasar kemerdekaan bangsa sebagai sebuah pengabdian kepada Allah semata. Kemerdekaan manusia itu membebaskan manusia dari belenggu penjajahan materi, dehumanisasi, membebaskan diri dari segala apapun, karena yang ada hanya Dia, Allah semata.
Ketika jiwa sudah diliputi oleh Allah semata, maka desingan peluru dan ledakan bom sekalipun tidak menyurutkan para syuhada pejuang untuk rela mengorbankan nyawa demi tercapainya dan dalam upaya mempertahankan sebuah kemerdekaan. Yang dipandangnya bukan senjata dan peluru Belanda dan Sekutu, yang dipandangnya adalah surga Allah dan limpahan rahmat dan ampunanNya. Mereka tidak dibayar oleh Negara untuk berjuang, mereka adalah manusia yang berjuang demi kemerdekaan serta mempertahankannya dengan penuh keikhlasan. Tidak ada bayaran selain bayaran yang diterima oleh para syuhada pejuang kemerdekaan hanyalah rahman dan rahimNya semata.
- Baca Juga: Algoritma Tasawuf
Relasi tasawuf dan kemerdekaan membuktikan bahwa tasawuf bukan berarti menyepi dari persoalan hidup manusia, tidak peduli dengan problematika kesulitan hidup manusia. Tasawuf justru melahirkan sikap kepedulian terhadap penderitaan sesama yang berujung pada perjuangan pencapaian kemerdekaan bangsa. Tasawuf memiliki dampak besar terhadap kehidupan sosial berbangsa. Penindasan yang dilakukan oleh kolonialis Eropa dilawan dengan semangat juang para pahlawan mengharap ridho Allah semata. Tasawuf telah memberikan pelajaran yang sangat berarti, bahwa tasawuf adalah kepedulian atas dasar cinta kepada Allah. Tasawuf adalah bentuk dari pemecahan problema sosial yang dihadapi manusia (Muhtador, 2017).
Para pahlawan pejuang kemerdekaan sudah membuktikan begitu besarnya peran tasawuf dalam menggerakkan jiwa dan semangat berkorban. Tasawuf di tangan para syuhada pahlawan bangsa adalah seperangkat nilai-nilai pengorbanan. Walau kini Indonesia telah merdeka, perjuangan belumlah berakhir. Perlawanan terhadap kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ekstremisme, ketimpangan sosial, masih terus diperjuangkan oleh para pengamal tasawuf yang mewarisi nilai-nilai kejuangan para Bapak Bangsa.
Nilai pengorbanan dalam tasawuf mengajarkan sebuah gerak aktif membangun yang tiada henti, dengan semangat totalitas gerak itu hanya untuk Allah. Menjadikan Bumi Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi siapapun dan selalu berada dalam rahmat Allah terus diperjuangkan dan tidak pernah berhenti oleh para pengamal tasawuf. Membangun dengan menyebarluaskan kebaikan dan ketulusan berbuat menjadi sangat penting di tengah ramainya perhitungan materi untung-rugi di era postmoderen ini. Para pengamal ilmu tasawuf berupaya tetap terus menanamkan semangat ketulusan dan keikhlasan bagi setiap anak bangsa dalam membangun negeri.
“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Anfal [8]: 17)
Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)