Kontribusi dan Jejak Kaum Thariqah dalam Kemerdekaan Indonesia
(Catatan Historis, Teologis, dan Sosiologis) Oleh: Mashuri Mazdi, Sekretaris JATMAN Kab. Cilacap

(Catatan Historis, Teologis, dan Sosiologis)
Oleh: Mashuri Mazdi, Sekretaris JATMAN Kab. Cilacap
Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kelompok-kelompok keagamaan. Salah satu komponen penting di dalamnya adalah kaum thariqah, yaitu para pengikut tarekat sufi yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Meskipun secara umum mereka dikenal dengan aktivitas spiritual seperti dzikir, wirid, dan khalwat, dalam sejarahnya mereka telah memainkan peran signifikan dalam membangun kesadaran kebangsaan, menentang kolonialisme, serta menjadi pelopor perlawanan bersenjata maupun kultural terhadap kekuasaan asing.
Struktur Sosial dan Politik Tarekat
Kaum thariqah memiliki struktur sosial keagamaan yang sangat kuat dan terorganisir. Kepemimpinan spiritual (mursyid) dan hubungan murid-guru yang sangat erat membentuk loyalitas dan solidaritas kolektif. Di samping itu para mursyidin juga memiliki badal badal (wakil / koordinator) yang tersebar di setiap pelosok desa, hal ini menjadikan tarekat bukan hanya sebagai jalan spiritual, tetapi juga sebagai jaringan sosial-politik yang potensial dalam menggerakkan massa untuk kepentingan perjuangan nasional. Beberapa tarekat seperti; Tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ternyata mampu menjadi penggerak utama di berbagai wilayah seperti Minangkabau, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Dalam konteks ini, tarekat telah berperan menjadi pusat pendidikan, pemberdayaan umat, dan juga basis perlawanan terhadap penjajahan (Baca Bruinessen, Martin van : 1992)
Minat Thariqah Ila Al-Harokah (Aspek Sosial Politik)
Thariqah di Indonesia tidak hanya menjadi jalur spiritual, melainkan juga menjadi kekuatan sosial dan budaya yang memiliki struktur komunitas yang kuat. Dalam konteks kolonialisme, struktur ini menjadi jaringan komunikasi dan mobilisasi massa yang efektif. Kaum thariqah, dengan basis pesantren, surau, zawiyah dan zikir berjamaah, sering menjadi pusat konsolidasi umat. Hal ini bisa kita lihat pada gerakan perlawanan yang terjadi, di antaranya;
1. Perlawanan Diponegoro (1825–1830)
Pangeran Diponegoro bukan hanya seorang bangsawan keraton. Ia adalah murid Tarekat Syattariyah, yang mengajarkan pengendalian diri, kesabaran, dan perjuangan atas nama keadilan. Ia juga diyakini sebagai figur Ratu Adil oleh para pengikutnya - sebuah konsep mistik yang diperkuat oleh ajaran tarekat. Tasawuf memberikan fondasi moral dan spiritual untuk gerakan ini. Maka tak heran, perang yang dipicu oleh ketidakadilan pajak dan campur tangan kolonial dalam urusan adat dan agama, berubah menjadi perang besar yang mengguncang Belanda selama lima tahun.
KH. Achmad Chalwani Nawawi, Rais Aly Idarah Aliyah sering menyebut Pangeran Diponegoro sebagai santri tarekat yang gigih dalam berjuang, beliau lahir di tegalrejo Jogjakarta, nama kecilnya Ontowiryo, nyantri di tegalsari, jetis, ponorogo. Ontowiryo adalah murid Kiai Hasan Besari, KH Nursodiq, KH. Baedowi Bagelen Purworejo. Berguru tarekat Syatariyah kepada KH Taftazani Kartosuro, beliau juga ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Mohamad Ngadiwongso Magelang. Karena banyaknya prestasi beliau sering menyebut rentetan gelar yang panjang pada pangeran Diponegoro, yakni, "KH. Kanjeng Bendoro Raden Mas Ontowiryo Sultan Abdul Hamid Mustahar Herucokro Senopati Ingalogo Sayyidin Panatagama Amirul Mukminin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Gua Slarong". Gelar lengkap ini untuk menunjukkan kealiman, kewalian, dan kepemimpinan spiritual Pangeran Diponegoro. Bagi beliau, Diponegoro bukan sekadar pejuang kemerdekaan, tapi juga wali besar yang bersambung sanad ruhaniyah dan keilmuannya dengan para ulama dan mursyid tarekat. (Lihat Ceramah Rais Aly).
2. Perlawanan Petani Banten (1888)
Di balik gerakan petani dibanten ada para ulama tarekat, khususnya dari Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tokoh seperti Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail adalah pengikut tarekat yang memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun guru besar mereka, Syekh Abdul Karim al-Bantani, saat itu sedang di Mekkah, akan tetapi ajaran-ajarannya tentang keadilan dan jihad telah mengakar kuat. Mereka melihat penjajahan sebagai bentuk kezhaliman yang tidak bisa dibiarkan. Maka majelis zikir dan zawiyah tarekat pun berubah menjadi arena konsolidasi. Semangat jihad bangkit, dan perlawanan pun Meletus (Baca Sartono Kartodirdjo : 1888)
3. Perang Padri (1803–1838)
Pada awalnya konflik ini adalah benturan antara kaum adat dan kaum pembaru Islam di Minangkabau. Tapi ketika Belanda ikut campur, konflik ini berkembang menjadi perang melawan penjajahan. Tokoh utamanya, Tuanku Imam Bonjol, dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai ilmu agama dan tasawuf. Ia banyak dipengaruhi oleh ajaran thariqah dan semangat pembaruan Islam. Dalam perjuangannya, nilai-nilai jihad sangat terasa. Ia menggabungkan semangat purifikasi Islam dengan perlawanan terhadap kolonialisme, dan ini diperkuat oleh jejaring spiritual tarekat yang sudah tertanam kuat di Minangkabau.
4. Perang Menteng di Palembang (1819)
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Tarekat Sammaniyah juga punya catatan emas dalam sejarah perjuangan. Di Palembang, para pengikut tarekat ini bangkit melawan Belanda. Dalam gempuran pertama tahun 1819, pasukan Belanda bahkan kalah oleh kekuatan rakyat yang dipimpin oleh ulama tarekat. Yang menarik, sebelum mereka turun ke medan tempur, para pejuang ini memperkuat diri dengan zikir dan wirid. Dzikir bukan hanya ritual, tapi juga sumber kekuatan. Mereka percaya bahwa hati yang selalu terhubung dengan Allah akan membuat mereka tak gentar menghadapi senjata kolonial.
5. Perlawanan Syekh Samanhudi 1911
Syekh Samanhudi, seorang pengusaha batik di Solo, merupakan murid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Ia menyadari bahwa dominasi ekonomi Belanda dan pedagang Tionghoa merugikan pengusaha pribumi. Penyatuan Ekonomi dan Politik: Dengan spiritualitas yang kuat dari tarekat, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911. SDI bukan sekadar perkumpulan dagang, melainkan wadah perlawanan ekonomi yang berlandaskan ajaran agama. Jaringan spiritual tarekat membantu Syekh Samanhudi dalam mengorganisir pengusaha dan masyarakat kecil. Ia menggabungkan semangat persaudaraan dagang dengan semangat jihad, sehingga SDI dengan cepat menyebar dan berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang memiliki jutaan anggota di seluruh Hindia Belanda. Fakta ini menjadi salah satu gerakan politik massa pertama yang sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial.
6. Syekh Abdul Wahab Rokan (Sumatera Utara)
Beliau adalah mursyid besar Tarekat Naqsyabandiyah. Pada masa kolonial, ia mendirikan sebuah perkampungan khusus bernama Babussalam di Langkat, Sumatera Utara. Perkampungan ini tidak hanya menjadi pusat tarekat, tetapi juga benteng perlawanan ideologis. Syekh Abdul Wahab secara konsisten mengkritik kebijakan kolonial dan menanamkan semangat kemandirian serta penolakan terhadap intervensi asing di kalangan murid-muridnya. Babussalam menjadi tempat para pejuang dan ulama berkumpul untuk merumuskan strategi perlawanan.
7. Syekh Akhmad Khatib Sambas (Kalimantan)
Beliau adalah pendiri Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Mekkah, yang kemudian menyebar ke seluruh Nusantara melalui murid-muridnya. Meskipun ia tidak memimpin perlawanan fisik di Indonesia, ajarannya memiliki dampak yang sangat besar. Ajarannya yang menekankan pada persatuan umat, jihad, dan penolakan terhadap kezaliman menjadi landasan spiritual bagi banyak ulama lokal yang kemudian memimpin perlawanan di daerah masing-masing, seperti di Banten, Jawa Barat, dan Sumatera.
8. KH. Zainal Mustafa (Tasikmalaya)
Sebagai murid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, ia memimpin perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai Pemberontakan Singaparna melawan Jepang pada tahun 1944. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap kebijakan Jepang, termasuk ritual Seikerei (menghormat kaisar Jepang) yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam. KH. Zainal Mustafa menggunakan ajaran tarekat untuk mengobarkan semangat jihad di kalangan santri dan masyarakat, meskipun perlawanan ini akhirnya berhasil dipadamkan dan ia dieksekusi.
9. KH Hasyim Asy’ari
Tokoh pendiri Nahdlatul Ulama yang juga pengamal tarekat, mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang mendorong umat Islam berperang mempertahankan kemerdekaan sebagai fardlu ‘ain. Fatwa ini berdampak luas dalam menggerakkan kaum santri dan tarekat untuk turun ke medan pertempuran, seperti peristiwa 10 November di Surabaya.
Aspek Teologis dan Spiritualitas Jihad
Para tokoh thariqah memaknai perjuangan melawan penjajah sebagai jihad fi sabilillah. Mereka menekankan pentingnya niat ikhlas, kesabaran, serta ketundukan kepada pimpinan ruhani (mursyid), yang menjadikan perjuangan mereka tidak semata-mata politis, tetapi bersifat spiritual.
Dalam kitab-kitab sufi klasik maupun nasihat para guru tarekat, jihad tidak hanya dipahami dalam bentuk fisik, tetapi juga sebagai perjuangan membebaskan umat dari kebodohan, penjajahan, dan ketidakadilan. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi SAW.
أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
"Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud)
Majelis dzikir tarekat sering menjadi medium penyebaran semangat perlawanan secara halus. Dzikir-dzikir seperti "La ilaha illa Allah" dan "Allahu" bukan sekadar bacaan ritual, tapi juga seruan pembebasan dari segala bentuk taghut dan penjajahan. Dalam perspektif ini, dzikir kolektif adalah bentuk mobilisasi ruhani yang menyatukan batin umat dan menumbuhkan keberanian moral dalam menghadapi penindasan.
Kesimpulan
Kontribusi kaum tarekat dalam kemerdekaan Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Mereka telah membuktikan bahwa spiritualitas dan nasionalisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Dengan jaringan sosial yang kuat, keteguhan akidah, serta keberanian ruhani, para pengamal tarekat telah memberikan fondasi moral dan spiritual bagi perjuangan bangsa. Peran kaum thariqah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia mencakup aspek spiritual, sosial, politik, dan militer. Melalui struktur tarekat, ajaran jihad yang kontekstual, serta kepemimpinan karismatik mursyid, mereka telah menyumbang tidak sedikit dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Pengakuan terhadap kontribusi ini harus terus digali dan dilestarikan sebagai bagian dari narasi besar perjuangan kemerdekaan Indonesia yang inklusif dan religius. Sudah saatnya kontribusi ini diakui sebagai bagian sah dari sejarah nasional Indonesia.
REFERENSI
Al-Ghazali. Ihya Ulumiddin, Bab al-Jihad.
Alfian. Islam dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. LP3ES, 1987.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Kencana, 2004.
Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis. Mizan, 1992. Dzulqornain, Abdul Wahid. Syekh Abdul Wahab Rokan: Ulama Besar Nusantara dari Riau. BPS DM Riau, 2010.
Ibnu 'Ajibah. Mi'raj at-Tashawwuf, hlm. 178–190
Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Pustaka Jaya, 1984.
Luthfi, M. Nur. Biografi KH. Zainal Mustafa. Pustaka Amanah, 2005.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Paramadina, 1993.
Nata, Abuddin. Pendidikan Islam pada Masa Kolonial. RajaGrafindo Persada, 2001.
PBNU. Resolusi Jihad: 22 Oktober 1945. Arsip NU, 2010.
Wahid, Abdul. Pesantren dan Revolusi. Pustaka Pesantren, 2007.