Cahaya yang Bersembunyi di Balik Ikhlas
(Catatan Ngaji Qalbu bersama Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa; Kitab Tanbīhu al-Mughtarīn karya Syaikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sya’rānī; Kamis, 6 November 2025)
Subuh telah turun perlahan, lembut seperti tangan ibu yang merapikan selimut anaknya.
Kabut tipis masih menggantung di sela-sela pohon, dan di pendapa pesantren, jamaah duduk bersila dalam lingkar hening. Tak ada suara yang ingin mengalahkan suara yang paling lembut: bisikan Allah dalam hati hamba-Nya.
Sang guru membuka kitab pelan, sepelan seseorang membuka rahasia hatinya sendiri.
Dari lembaran itu, mengalir pembicaraan tentang ikhlas, sesuatu yang halus seperti cahaya dalam air, namun berat seperti gunung bagi jiwa yang belum kenal Allah.
Bayang-Bayang Dalam Cahaya: Ilmu yang Mencari Imbalan
Syaikh al-Sya’rānī menukil kata-kata Imam Malik bin Dinar:
وجدت في بعض الكتب المنزلة: أهون شيء عند الله طالب الدنيا بعلمه
“Aku dapati dalam sebagian kitab suci: yang paling ringan (hina) di sisi Allah adalah orang yang mencari dunia dengan ilmunya.”
Ilmu seharusnya menjadi jalan kembali,kembali kepada Allah, kepada kejernihan hati, kepada pengenalan diri yang sejati, bukan menjadi dagangan nama atau investasi pujian. Namun sering kali manusia terjerumus, mempelajari ilmu agar dipanggil “Kyai”, “Ustadz”, “Habib”, “Guru Besar”, seolah gelar adalah tujuan akhir, bukan sekadar pakaian amanah. Padahal, di langit, gelar-gelar itu tidak memiliki gema; yang naik ke hadapan Allah bukanlah sebutan yang disematkan manusia, tetapi niat yang tersembunyi di dalam hati.
Dari seluruh suara yang terdengar di hadapan-Nya, hanya niat yang memiliki suara, hanya ketulusan yang memiliki cahaya. Maka ilmu itu akan mengangkat seorang hamba apabila ia mempelajarinya untuk mendekat, tetapi akan menjatuhkannya apabila ia menuntutnya untuk dikenal. Karena pada akhirnya, Allah tidak melihat nama yang dipanggil manusia, tetapi untuk siapa hati itu hidup dan berjalan. Ikhlas bukanlah menghilangkan manusia dari pandangan, tetapi menghapus dunia dari niat.
Al-Qur’an berbisik dalam Al Quran (QS. Al-Bayyinah: 5)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya.”
Kedalaman Nama: Ketika Pujian Menjadi Kubangan
Umar ibn Khattab (رضي الله عنه) menyampaikan peringatan yang seperti pedang:
إذا رأيتم العالم يحب الدنيا فاتهموه على دينه
“Jika kalian melihat seorang alim mencintai dunia, maka curigailah agamanya.”
Nama memang dapat mengalir seperti sungai yang menenangkan, menghadiahkan rasa diterima dan diakui; namun di dasar sungai itu bersemayam lumpur halus yang perlahan dapat menarik seseorang untuk tenggelam tanpa ia sadari. Dan ketika seseorang beramal hanya karena ia takut tidak dihargai, sesungguhnya ia tidak sedang beramal kepada Allah, tetapi sedang memberi makan lapar di dalam dirinya sendiri, lapar akan dipuji, dihormati, disanjung. Pada saat itu, amal yang tampak suci bergerak dengan ruh yang rapuh. Ia tampak menuju Allah, tetapi hakikatnya sedang berputar mengitari bayangan dirinya sendiri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Berjalan menuju Allah adalah perjalanan yang panjang dan sunyi; banyak yang memulainya, namun sedikit yang benar-benar sampai. Bukan karena jalan itu sulit ditemukan atau terlalu sepi untuk dilalui, melainkan karena hati sering memilih berhenti di tengah perjalanan, tepat di tempat manusia memberi tepuk tangan, memuji, dan mengangkat nama. Pada titik itu, perjalanan ruhani berhenti, sebab yang dikejar bukan lagi Wajah-Nya, melainkan bayangan penghargaan sesama makhluk. Hanya mereka yang tetap melangkah, tanpa menoleh kepada pujian ataupun cemooh, yang akhirnya tiba di hadapan-Nya.
Ilmu yang Tidak Menetes Menjadi Akhlak
Imam Hasan al-Bashri berkata:
إن أقوامًا طلبوا العلم ليأكلوا به، وبئس ما صنعوا
“Ada kaum yang mencari ilmu untuk memperkaya diri. Sungguh buruk apa yang mereka lakukan.”
Ilmu itu laksana hujan; ketika ia turun ke tanah yang hidup, ia menyuburkan hati dengan kasih sayang, kerendahan diri, kesabaran, dan ketawadhuan. Namun bila ia jatuh pada tanah yang keras, ia hanya memantul tanpa memberi jejak, tak menumbuhkan apapun selain kebanggaan kosong dan rasa lebih unggul dibanding yang lain. Maka ukuran keberhasilan menuntut ilmu bukan seberapa banyak yang dihafal atau dipamerkan, melainkan seberapa lembut hati yang menerimanya, dan seberapa dalam ia mengubah sifat-sifat dalam diri menjadi kebaikan.
Orang yang paling jauh dari Allah bukanlah mereka yang tidak mengetahui, tetapi justru mereka yang mengetahui namun tidak mengamalkannya. Karena ilmu tanpa amal bagaikan lentera yang menyala namun dibiarkan tertutup, ia memberi cahaya, tetapi bukan bagi pemiliknya. Mereka mengetahui ayat-ayat Allah, memahami peringatan, bahkan mampu menasihati orang lain, namun hatinya tetap gelap karena ilmu itu tidak pernah turun menjadi amal dan akhlak. Maka jauhnya seseorang dari Allah bukan diukur dari sedikitnya pengetahuan, tetapi dari sejauh mana ia membiarkan pengetahuan itu mengantarnya pulang kepada-Nya. Semakin ilmu bertambah, namun amal tidak mengikuti, semakin jauh jarak hati dari Tuhan yang mengilhamkan segala pengetahuan.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
مثل العالم الذي لا يعمل، كمثل السراج يضيء للناس ويحرق نفسه
“Perumpamaan orang berilmu yang tidak beramal adalah seperti lampu: menerangi orang lain, namun membakar dirinya.”
Amal dan Sorotan: Antara Cahaya dan Bayangan
Syeikh Fudhail ibn ‘Iyadh berkata:
ترك العمل لأجل الناس شرك، والعمل لأجل الناس رياء، والإخلاص أن يعافيك الله منهما
“Meninggalkan amal karena manusia adalah syirik. Beramal karena manusia adalah riya’. Ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Zaman ini menyuguhkan panggung yang megah, tempat amal menjadi pertunjukan dan ibadah menjadi konten. Tangan mengulurkan sedekah di depan kamera, suara dzikir dinaikkan agar terdengar merdu dalam rekaman, bahkan shalat direkam lengkap dengan sudut cahaya yang dipilih dengan cermat. Seolah-olah kita sedang berbicara kepada Allah, padahal hati sebenarnya sedang berbicara kepada penonton. Namun apa yang dipersembahkan untuk manusia tidak pernah naik ke langit. Karena Allah tidak melihat tampilan, tidak mengukur dari tepuk tangan, tidak menilai dari jumlah penonton, Ia hanya memandang hati: “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya. Dan di hati itulah diketahui kepada siapa sebenarnya kita sedang beribadah: kepada Allah, atau kepada keinginan agar dipuji.
Allah berfirman dalam Hadits Qudsi
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.” (HR. Muslim)
Amal itu selalu berpulang kepada siapa yang menjadi tujuannya. Jika seseorang beramal untuk manusia, agar dipuji, disanjung, atau dianggap saleh, maka amal itu akan kembali kepada manusia: kosong, rapuh, dan hilang bersama lupa mereka. Tetapi jika tujuan amal adalah Allah semata, tanpa menoleh kepada tepuk tangan, penilaian, atau ucapan terima kasih, maka amal itu kembali kepada Allah: penuh, utuh, dan kekal dalam catatan-Nya. Sebab Allah berfirman: “وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ” , Dan apa saja kebaikan yang kalian persembahkan untuk diri kalian, kalian akan mendapatkannya di sisi Allah (QS. Al-Baqarah: 110). Pada akhirnya, yang menentukan nilai amal bukan besar kecilnya pekerjaan, tetapi kepada siapa hati itu menghadapkan persembahannya. Amal bukan sekadar gerak tubuh, tetapi arah pulangnya.
Kesunyian: Tempat Di Mana Hati Ditemukan
Nabi ‘Isa (عليه السلام) menasihati ahli ibadah:
إذا صمتم فامسحوا الشفاه وجلودكم؛ لئلا يعرف الناس أنكم صائمون
“Jika kalian berpuasa, basahilah bibir dan kulitmu agar orang tidak tahu bahwa kalian sedang berpuasa.”
Allah mencintai yang tersembunyi, sebagaimana akar mencintai tanah yang menjadi tempat ia bersembunyi: tak terlihat, namun justru di sanalah kehidupan ditopang. Dalam kesunyian yang tidak dipertontonkan, ibadah menemukan kejujurannya yang paling jernih. Rahasia itu bukan pelarian dari dunia, bukan ketakutan dicaci, bukan pula sikap menjauh dari manusia. Rahasia adalah kedekatan, tempat hati kembali menjadi sederhana, diam, dan jernih di hadapan-Nya. Sebab sebagaimana akar yang kokoh dalam gelap tanah membuat pohon berdiri indah di bawah matahari, demikian pula amal yang tersembunyi membuat ruh berdiri tegak di hadapan Allah, tanpa perlu diketahui siapa pun.
Doa Bagi Hati yang Ingin Kembali
Majelis subuh itu akhirnya menjadi sebuah cermin, bukan cermin yang memantulkan wajah, tetapi keadaan batin. Saat azan pertama menyapu udara, cahaya lembut fajar merayap di antara jendela-jendela masjid, seperti tangan halus yang membangunkan jiwa dari tidurnya. Di tikar yang sama, pada waktu yang sama, namun dengan nasib hati yang berbeda, setiap orang datang membawa rahasia yang tak terucapkan.
Ada yang menunduk lama, seperti seseorang yang sedang mencari pintu pulang di dalam dirinya sendiri. Ada yang meneteskan air mata pelan, bukan karena sedih semata, tetapi karena tiba-tiba menyadari betapa jauh ia berjalan tanpa menyebut nama-Nya. Ada yang berdoa dalam dada, begitu sunyi hingga hanya Allah yang mendengarnya, seakan doa itu bukan lagi suara, melainkan hembusan hidup.
Di sudut lain, ada yang hanya diam, diam yang bukan ketidaktahuan, tetapi diamnya seseorang yang sedang disentuh oleh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Dan di antara semuanya, gema suara lembut penuh hikmah dari Sang Guru mengalir pelan, seperti sungai yang membersihkan batu-batu lama di dasar hati. Dzikir berputar, tidak keras, tidak terburu, namun teratur, xseperti detak hidup yang kembali menemukan ritmenya. Pada saat itu, tak ada gelar, tak ada pangkat, tak ada nama. Yang ada hanyalah hamba, dan Tuhannya.
Begitulah Ngaji Qalbu berakhir bukan sebagai pertemuan biasa, tetapi sebagai perjalanan pulang yang halus dan sunyi, di mana setiap orang membawa pulang sesuatu yang tidak bisa dibawa dengan tangan, melainkan hanya dengan hati.
Dan suara lembut Sang Guru mengalun merdu ke dalam sanubari, seperti seseorang yang mengetuk pintu:
اللهم ارزقنا إخلاصًا لا ترفعه العيون، ولا تفسده الألسن، ولا يشوبه رجاء غير وجهك
“Ya Allah, karuniakan kepada kami ikhlas yang tidak diangkat oleh pandangan manusia, tidak dirusak oleh pujian, dan tidak bercampur dengan harapan selain wajah-Mu.”
آمِين يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ