Sejarah Perkembangan dan Dinamika Tarekat di Betawi (1)

Seri ke-1

Desember 9, 2025 - 16:08
Desember 9, 2025 - 16:23
Sejarah Perkembangan dan Dinamika Tarekat di Betawi (1)
Sejarah Perkembangan dan Dinamika Tarekat di Betawi (1)

Seluruh sejarawan sepakat, Islam yang masuk ke Nusantara sejak awal adalah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, yaitu ajaran Islam yang dikenal berkarakter moderat dan toleran. Ajaran Islam yang masuk ke Betawi tidak berbeda dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo. Maka, tidak heran jika tarekat juga berkembang di Betawi. Tarekat yang berkembang di Betawi lebih didominasi oleh tarekat yang beraliran tasawuf sunni, seperti Tarekat 'Alawiyah dan Tarekat Sammaniyah. Tarekat falsafi tidak begitu berkembang di Betawi, sebagaimana di Aceh dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, atau Syekh Siti Jenar dan Syekh Ahmad Mutamakkin di Jawa. Tulisan berikut ini akan menguraikan tentang sejarah perkembangan tarekat di Betawi.

Syekh Qura dan Peranan ‘Alawiyin

Menurut beberapa sejarawan, antara lain Ridwan Saidi, Islam masuk ke Betawi jauh sebelum penaklukkan Fatahilah pada 22 Juni 1527. Pembawanya adalah Syekh Qura yang makamnya terletak di Pulobata Kabupaten Karawang.[1] Menurut Alwi Shihab, Syekh Qura memiliki ketersambungan nasab kepada Abdul Malik Azhmat Khan, keturunan Ba'alawi yang hijrah ke India. Syekh Qura adalah keturunan Jamaluddin Husain al-Akbar yang nasabnya bersambung kepada Abdul Malik Azhmat Khan. Begitu juga dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati; dalam kitab Syamsu az-Zhahirah, sebuah kitab induk catatan nasab 'Alawiyin karya Abdurrahman al-Masyhur dari Tarim (1834–1902), Ia juga adalah keturunan Abdul Malik Azhmat Khan. Abdul Malik Azhmat Khan adalah keturunan Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath yang kakeknya, Ahmad bin Isa al-Muhajir, hijrah ke Hadramaut pada tahun 951 H.[2]

Tarekat Alawiyah adalah sebuah tradisi kesufian yang dibentuk oleh keluarga Bani Alawi yang memiliki ketersambungan nasab kepada Nabi Muhammad saw. melalui Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir, dari situlah istilah 'Alawiyah berasal. Perintis dan peletak dasar-dasar tarekat ini adalah Ahmad bin Isa al-Muhajir, kemudian dikembangkan oleh al-Faqih al-Muqaddam, dan selanjutnya dimatangkan oleh Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad. Ajaran-ajaran salaf Bani Alawi diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Nama tarekat ini dikaitkan dengan nama pengembangnya, yakni Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir.[3]

Ajaran Tarekat 'Alawiyah sederhana dan praktis. Tarekat ini lebih menekankan pada menghiasi diri dengan akhlak mulia dan menjalankan syariat secara konsisten. Tarekat ini tidak menerima ajaran tasawuf falsafi seperti wahdatul wujud-nya Ibnul 'Arabi, ittihad-nya Yazid al-Busthami, atau hulul-nya al-Hallaj. Habib Abdullah al-Haddad melarang mempelajari kitab-kitab mereka karena hanya akan menimbulkan kebingungan, dan adakalanya seseorang mendakwahkan sesuatu yang dia sendiri belum mencapainya. Sebaliknya, ia menganjurkan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tercantum dalam karya-karya al-Ghazali. Pada kenyataannya, mazhab tasawuf Tarekat 'Alawiyah lebih bermuara kepada mazhab tasawuf yang dibangun oleh al-Ghazali, yakni tasawuf sunni yang memadukan antara syariat dan hakikat.[4]

Sejak kehadirannya di Nusantara, tokoh-tokoh Tarekat 'Alawiyah tidak pernah mendeklarasikan tarekat ini sebagai sebuah lembaga ketarekatan sehingga membutuhkan pusat-pusat suluk dan zawiyah dalam proses penyebarannya. Dalam penyebarannya, Tarekat 'Alawiyah bertransformasi ke dalam pengajian-pengajian dan pengajaran-pengajaran kaum Alawiyin di manapun berada.[5]

Pada permulaan abad ke-18, Tarekat Alawiyah terefleksikan dalam figur Habib Husain bin Abu Bakar al-'Aydarus (w. 1756) di Luar Batang dan Habib Ali bin Abdurrahman Ba'alawi di Kampung Bandan. Kedua tokoh ini menjadi sentral penyebaran Islam di Betawi pada saat itu. Kemudian pada abad ke-19 dan 20 tercermin dalam "Tiga Serangkai" habaib Jakarta, yakni Habib Ali Al-Habsyi (1870–1968) Kwitang, Habib Ali bin Husein al-'Aththas (1891–1976) Bungur, serta Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906–1969). Di masa ini, ketiganya menjadi rujukan masyarakat Betawi serta menjadi guru dari banyak ulama besar Betawi. Pada masa-masa berikutnya hingga abad ke-21 ini, Tarekat 'Alawiyah masih mendominasi pola pengajaran Islam di Betawi.[6]

Menurut Rahmat Zailani Kiki dari Pusat Pengkajian Islam Jakarta (JIC), di Betawi Tarekat 'Alawiyah tidak hanya didominasi oleh kalangan habaib saja. Tercatat Guru Marzuki Cipinang Muara adalah satu di antara ulama Betawi yang menjalankan tarekat ini. Ia mengambil Tarekat 'Alawiyah dari Syekh Umar Syatha dari Syekh Zaini Dahlan sewaktu belajar di Mekkah. Guru Marzuki disebut sebagai "gurunya ulama-ulama Betawi" karena banyak ulama besar Betawi yang menjadi murid-muridnya. Dalam satu keterangan, ada sekitar 40 ulama Betawi terkemuka yang menjadi muridnya.[7]

Pembentuk Kultur Keislaman Betawi

Kultur orang Betawi sangat menghormati orang-orang Arab, terutama kaum Arab-Hadrami. Penghormatan luar biasa orang-orang Betawi kepada para habaib, menurut Abdul Aziz, bukan saja karena mereka adalah keturunan Nabi saw., melainkan mereka memandang bahwa orang-orang Arab adalah bangsa yang mulia dan kuat beribadah.[8] Mabda Dzikara memperkuat pernyataan ini; menurutnya, para Sayyid bisa dengan mudah mendapat ruang penting dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi tidak lain karena dianggap berasal dari bangsa yang mulia dan dari keturunan mulia pula, serta dianggap memiliki otoritas keagamaan. Inilah yang membuat para Sayyid mudah berasimilasi dengan penduduk dan budaya lokal Betawi.[9]

Proses asimilasi dan akulturasi kaum Arab-Hadrami dengan masyarakat muslim Betawi kala itu melahirkan kebudayaan Betawi yang bernafaskan Islam, seperti kesenian musik gambus dan marawis yang ditampilkan saat pernikahan, pakaian gamis berupa jubah panjang yang digunakan saat ritual-ritual keagamaan, pembacaan ratib dan maulid, atau penggunaan bahasa Arab yang disisipi lahjah Betawi seperti "ente" (kamu), "ane" (saya), "harim" (istri), dan lain-lain. Kehidupan Hadrami sebagian besar telah terbentuk dalam simbol penting keagamaan di Betawi, sehingga secara tidak langsung mereka berusaha untuk mempertahankan secara kolektif prestise tersebut.[10]

Kaum Alawiyin tetap memainkan peranan penting dalam pengajaran Islam dan pembentukan kultur keagamaan masyarakat Betawi. Bahkan peranan itu masih kuat hingga saat ini. Kharisma, kealiman, serta karakter dakwah yang lembut dan santun khas Tarekat Alawiyah Habib Umar bin Hafizh, pengasuh Pesantren Darul Musthofa, Tarim Hadramaut Yaman, melalui murid-muridnya seperti Habib Mundzir al-Musawa (wafat 13 September 2013) dan Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan (cucu Habib Salim Jindan) serta murid-muridnya yang lain, telah menyihir masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya selama satu setengah dekade belakangan ini. Habib Umar bin Hafidz sering berkunjung ke Indonesia untuk menemui murid-muridnya, dan dalam setiap kunjungannya selalu menghadirkan animo dan antusiasme yang besar bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Saat ini, Habib Umar bin Hafidz adalah magnet terkuat Tarekat Alawiyah, tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. 

Beberapa Tarekat yang Pernah Berkembang

Di samping Tarekat 'Alawiyah yang sejak awal telah mempengaruhi kultur keislaman di Betawi, Ridwan Saidi mengatakan bahwa Tarekat Qadiriyah juga sempat berkembang di Betawi. Para penyebar Islam di Betawi waktu itu banyak mengikuti Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang merupakan respons atas resi-resi Pajajaran yang memiliki ilmu batin yang seringkali melakukan perlawanan terhadap Islam. Tarekat mempunyai lahan yang bagus di masyarakat Betawi karena pijakan kebudayaannya ada pada peri kehidupan resi.[11]

Penulis juga berasumsi, keberadaan Syekh Yusuf Makassar (1626–1699) yang disinyalir sebagai pembawa Tarekat Khalwatiyah ke Nusantara, serta pemegang sanad Qadiriyah dari Nuruddin ar-Raniri, dan beberapa tarekat lainnya, juga turut serta membentuk kultur keislaman masyarakat Betawi. Ia sempat tinggal lama di Banten selama pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1640–1650) di penghujung abad ke-17. Sebelumnya, ia pernah tinggal di Banten semasa Sultan Abul Mafakhir Abdul Qadir (berkuasa 1626–1651). Namun dalam kunjungan yang pertama ini ia tidak lama, karena ia harus melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Aceh, lalu ke Timur Tengah. Usai pengembaraan di Timur Tengah, ia kembali lagi ke Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf adalah sahabat baik sekaligus penasihat serta menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan diasingkan oleh VOC, ia menggantikan posisi sang Sultan memimpin perlawanan terhadap VOC di Batavia, sampai akhirnya ia tertangkap juga dan dibuang ke Srilangka. Di Srilangka ia menyebarkan Islam dan terus melakukan korespondensi dengan murid-muridnya di Banten dan Makassar, akhirnya ia dibuang lagi ke Afrika Selatan.[12]

Pemerintahan Islam Jayakarta sebelum dikuasai oleh VOC adalah bagian dari Kesultanan Banten dan penguasa-penguasa Jayakarta masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Penguasa Banten, maka bukan tidak mungkin pengaruh Syekh Yusuf Makassar juga sampai ke wilayah Betawi. Kemungkinan ini sangat besar, mengingat kedudukan Syekh Yusuf sebagai guru agama Kesultanan Banten yang memiliki banyak murid dan pengikut di Banten. Sebagaimana diketahui, di kerajaan manapun, lazimnya rakyat mengikuti tradisi keagamaan pemimpinnya.

Meski tidak ada data yang menyebutkan perihal jejak dakwah Syekh Yusuf di Betawi, kesenian al-Madad yang berkembang di Betawi pada abad 18 dan 19 bisa memberi petunjuk akan hal ini. Al-Madad ialah semacam pertunjukan ilmu kekebalan menggunakan ayat-ayat Al-Quran yang menjadi ciri khas Banten atau Debus. Menurut Hudaeri dari Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Maulana Hasanuddin Banten, asal-usul kesenian ini berasal dari tradisi tarekat, yang paling menonjol adalah Tarekat Rifa'iyah dan Qadiriyah. Dalam tradisi tarekat, lanjut Hudaeri, permainan debus berfungsi untuk menguji tingkat kefanaan. Seseorang ketika melakukan wirid dan dzikir, jika telah sampai pada tingkatan fana, dia akan mampu melakukan sesuatu di luar hukum alam. Sementara menurut Martin van Bruinessen, yang dikutip Hudaeri, menyatakan Tarekat Rifa'iyah pada masa Sultan Abul Mafakhir sudah menyebar di Banten, mulai dari elit istana sampai ke rakyat Banten. Sang raja mengajarkan tentaranya berbagai doa dan teknik yang dengan berkah Syekh Ahmad ar-Rifa'i dan wali lainnya akan membuat mereka kebal terhadap besi, api, dan racun. Orang Banten juga menghubungkan debus dengan Tarekat Qadiriyah. Ia menemukan praktik semacam debus Banten di komunitas Qadiriyah Kurdistan.[13]

Pada masa kesultanan Banten, al-Madad dijadikan sebagai media dakwah. Sementara pada masa Sultan Ageng Tirtayasa dijadikan alat perjuangan untuk melawan VOC. Risa Herdahita Putri dalam artikelnya di historia.id, "Debus dan Tarekat di Banten" mengatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Yusuf mengajarkan kekebalan kepada para muridnya untuk mendongkrak semangat melawan Belanda. Kisah Syekh Yusuf berkembang di masyarakat bahwa dia dipercaya kebal senjata dan tak bisa dilihat musuh, kendati pada akhirnya dia ditangkap oleh Belanda karena tipu muslihat.[14]

Pada abad ke-18, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Betawi. Tarekat ini dibawa dan disebarkan oleh Syekh Abdurrahman al-Batawi. Ia bersama tiga orang sahabatnya, yakni Syekh Abdusshamad al-Falimbani (1704–1789) dari Sumatera Selatan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710–1812) dari Banjar Kalimantan Selatan, dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi dari Sulawesi Selatan, belajar ke Haramain. Mereka menjadi murid langsung Syekh Muhammad Samman al-Madani, pendiri Tarekat Sammaniyah, serta ditunjuk sebagai Khalifah Tarekat Sammaniyah di Nusantara.

Dikisahkan, Syekh Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi, atas permintaan Syekh Abdurrahman al-Batawi, sempat tinggal dua bulan di Betawi sebelum melanjutkan perjalanan ke Banjarmasin. Azra mencatat, meski Arsyad al-Banjari tinggal dalam waktu yang singkat, dia mampu melancarkan pembaruan penting bagi kaum muslim Batavia. Ia membetulkan kiblat beberapa masjid di Jembatan Lima yang menurutnya tidak diarahkan secara benar ke arah Kakbah. Bahkan menurut KH. Takhfif, salah satu keturunan Guru Mansur Jembatan Lima, kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ke Batavia tidak hanya membetulkan mihrab, melainkan melakukan salat, memberi pengetahuan agama melalui ceramah juga, dan, menurut dugaan penulis, bukan tidak mungkin mengajarkan Tarekat Sammaniyah juga.

Di penghujung abad 19 hingga awal abad 20, seiring dengan dibukanya Terusan Suez, banyak ulama Betawi yang belajar ke Haramain dan sekembalinya ke Betawi menjadi ulama-ulama besar. Pada masa ini dikenal kumpulan ulama Betawi yang disebut oleh Abdul Aziz sebagai "Enam Pendekar". Mereka adalah Guru Manshur Jembatan Lima (1878–1967), Guru Marzuqi Cipinang Muara (1877–1934 M), Guru Mughni Kuningan (1860–1935), Guru Madjid Pekojan (1887–1913), Guru Khalid Gondangdia (1874–1946), dan Guru Mahmud Romli Menteng (1866–1959). Mereka adalah ulama-ulama terkemuka di Betawi pada jamannya. Dari sinilah dimulainya jaringan intelektual ulama Betawi abad ke-19 dan 20. Mereka adalah mata rantai ulama Betawi pada masa itu; bahkan ulama-ulama Betawi masa kini secara sanad keilmuan tersambung kepada mereka.[15]

Menurut Ahmad Fadli HS, sebagian dari mereka tidak diketahui mengamalkan tarekat tertentu, kecuali Guru Marzuki dan Guru Khalid Gondangdia. Tarekat, menurut Ahmad Fadli, kurang berkembang di Betawi. Hal ini disebabkan pada masa kolonial, meskipun berdzikir tidak dilarang, namun berkumpul terlalu lama tidak diperbolehkan. Namun, meski tarekat tidak berkembang di Betawi, sanad keilmuan ulama-ulama Betawi dalam penelusuran Fadli HS berpangkal kepada Syekh Ahmad al-Qusyasyi (1583–1661) dan Abdul Aziz az-Zamzami (w. 1662). Az-Zamzami ini menurut Azra masih dalam satu jaringan dengan al-Qusyasyi. Al-Qusyasyi adalah seorang ahli hadis dan tokoh sufi terbesar di Madinah pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai Syekh Tarekat Syathariyah, meski sebenarnya dia memiliki sanad hampir selusin tarekat. Peranannya sangat besar dalam transmisi Tarekat Syathariyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya. Murid-muridnya yang terkenal antara lain: Ibrahim al-Kurani (1614–1690), Abdullah bin Syekh al-Aydarus (1618–1662), Hasan bin 'Ali al-'Ajami (1639–1701), dan lain-lain.[16]

Pendapat Fadli HS ada benarnya, jika yang dimaksud adalah tasawuf falsafi dan tarekat yang disimbolkan dengan lembaga-lembaga kesufian yang membutuhkan tempat-tempat suluk dan zawiyah-zawiyah. Kenyataannya, di Betawi memang tidak berkembang ajaran wahdatul wujud dan sejenisnya yang menjadi locus tarekat falsafi, sebagaimana ajaran ini pernah berkembang di Aceh dalam figur Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dan di Jawa dalam figur Syekh Siti Jenar dan Syekh Mutamakkin. Justru yang berkembang di Betawi adalah model tasawuf sunni yang lebih dipengaruhi al-Ghazali. Tasawuf sunni adalah sebuah pemahaman tasawuf yang menggabungkan antara syariat dan hakikat, serta menitikberatkan pada menghiasi diri dengan akhlak mulia dan konsisten dalam menjalankan syariat. Di Betawi, model tasawuf ini menjelma ke dalam Tarekat Alawiyah dan Sammaniyah yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan masyarakat Betawi.

Kritik Sayyid Usman bin Yahya

Mengapa tasawuf falsafi dan tarekat-tarekat yang terlembagakan tidak berkembang di Betawi? Banyak yang menduga kritikan-kritikan keras Sayyid Usman bin Yahya terhadap tarekat pada waktu itu sedikit banyak memberi andil yang besar, meski banyak yang menilai kritikannya itu hanya tertuju kepada seorang mursyid dan praktik tarekat yang menurutnya menyimpang dari syariat, bukan kepada tarekat sebagai institusi. Siti Suniah mengatakan bahwa tidak berkembangnya kajian dan institusi tarekat di Betawi adalah karena pengaruh dari menyebarnya kitab, pamflet, dan risalah Sayyid Usman yang menyebar di kalangan masyarakat Betawi mengenai kritik kerasnya terhadap tarekat.[17]

Meski kritik Sayyid Usman mempengaruhi lambatnya perkembangan tarekat di Betawi, akan tetapi, menurut Dzikara, praktik tarekat sebagai sebuah suluk 'ammah tetap terus berkembang. Sebagai sebuah lembaga kesufian formal, tarekat memang tidak berkembang, tapi praktik kesufian ini bermetamorfosis menjadi tarekat yang bertumpu pada proses belajar mengajar (ta'lim wal muta'allim), terutama pada ilmu-ilmu fiqh, tauhid, tafsir, hadis, dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab. Adapun pengajaran tasawuf isinya lebih pada perbaikan akhlak, hubungan manusia dengan Tuhan, serta memperbaiki sifat-sifat hati, tanpa disibukkan dengan praktik tarekat yang rigid dan formalistik.[18]

Faktor lain tidak berkembangnya tarekat di Betawi adalah kekhawatiran Belanda terhadap perlawanan-perlawanan rakyat yang dimotori kelompok-kelompok tarekat. Martin van Bruinessen mencatat perlawanan-perlawanan para pengikut tarekat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Tarekat Sammaniyah menjadi pelopor perlawanan terhadap Belanda di Palembang dalam Perang Menteng pada 1918. Syekh Yusuf Makassar di Banten memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap VOC di Batavia.[19]

Banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah Belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859–1862), kasus Haji Rifa'i (Ripangi) dari Kalisasak (1859), peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890–1917) dan Peristiwa Garut (1919). Dan paling dahsyat perlawanan tarekat terjadi pada Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.[20] Pangeran Diponegoro adalah seorang pengikut Tarekat Naqsyabandiyah dan Syathariyah yang menjadi basis semangat perjuangannya melawan kolonialisme.[21]

Kesimpulan

Tarekat telah menjadi bagian terpenting dari penyebaran awal Islam di Betawi. Tarekat yang pertama masuk di Betawi adalah Tarekat Alawiyah, bahkan keberadaannya masih tetap eksis hingga kini yang dipelopori oleh kalangan habaib. Selanjutnya adalah Tarekat Sammaniyah yang dibawa oleh Syekh Abdurrahman al-Batawi. Pada tahap selanjutnya, Tarekat Sammaniyah telah menjadi semacam identitas masyarakat Betawi.

Penyebaran tarekat di Betawi memang tidak massif seperti daerah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kritikan-kritikan Sayid Usman, dengan kedudukannya sebagai mufti Betawi saat itu, terhadap praktik-praktik tarekat yang menurutnya banyak yang menyimpang dari syariat. Di samping juga kekhawatiran Belanda terhadap perlawanan-perlawanan rakyat yang dipelopori oleh kelompok tarekat di seluruh Nusantara.


DAFTAR PUSTAKA 

Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta, Logos: 2002)
Alwi Shihab,  Antara Tasawuf  Sunni  dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka IIman, 2009).
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013).
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 dan 20,  (Jakarta: Manhallun Nasyiin Pres:  2011).
Hudaeri,  “Debus di Banten: Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal”, dalam Al Qalam,  Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Maulana Hasanuddin Banten, Vol. 27 No. 1, Januari-April, 2010.
Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan Guru Tharīqah 'Alawiyyah Di Betawi Abad Ke-19 Dan 20 M, Tesis S 2 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2020, diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/51506.
Martin van Brunessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Gading Publishing, cet. 1, Yogyakarta: 2012.
Rahmat Zaelani Kiki dkk., Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21,  (Jakarta: PPIJ, 2011).
Ridwan Saidi, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi, Perkumpulan Renaissance Indonesia & Timpani Pubhlising, (Jakarta: 2010).
Risa Herdahita Putri, “Debus dan Tarekat di Banten”, artikel diakses pada 29 April 2021 dari https://historia.id/kultur/articles/debus-dan-tarekat-di-banten-DwrXK .
Siti Suniah, Kritik Terhadap Tarekat: Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya, (Tesis S2 UIN Jakarta Tahun  2015)
Tarekat Pemantik Perlawanan Kolonial” artikel diakses pada 28 Februari 2009 dikases dari www.republika.com.  
“Tarekat Sufi Bekal Pangeran Diponegoro Lawan Penjajah” artikel diakses pada 06 Januari 2022 diakses dari https://khazanah.republika.co.id/berita/r5agrm320/tarekat-sufi-bekal-pangeran-diponegoro-lawan-penjajah.


[1] Tanggal ini ditetapkan sebagai hari ulang tahun Jakarta (lihat: Ridwan Saidi, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi, Perkumpulan Renaissance Indonesia & Timpani Pubhlising: Jakarta, 2010)

[2] Alwi Shihab,  Antara Tasawuf  Sunni  dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka IIman, 2009), hal. 29-35

[3] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan Guru Tharīqah 'Alawiyyah di Betawi Abad Ke-19 Dan 20 M, Tesis S 2 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2020, diakses dari https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/51506

hal. 4.

[4] Alwi Shihab, Antara Tasawuf  Sunni  dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka IIman, 2009), hal. 30-31

[5] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan…, hal. 191

[6] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan..., hal.193

[7] Rahmat Zaelani Kiki dkk., Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21,  (Jakarta: PPIJ, 2011), hal. 89

[8] Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta, Logos: 2002),  hal. 145

[9] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan ..., hal.74

[10] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan..., hal. 75

[11] A. Fadli HS, Ulama Betawi, Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 dan 20,  (Jakarta: Manhallun Nasyiin Pres, 2011),  hal. 54

[12] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 273-283

[13] Hudaeri,  “Debus di Banten: Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal”, dalam Al Qalam,  Jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Maulana Hasanuddin Banten, Vol. 27 No. 1, Januari-April, 2010

[14] Risa Herdahita Putri, “Debus dan Tarekat di Banten”, artikel diakses pada 29 April 2021 dari https://historia.id/kultur/articles/debus-dan-tarekat-di-banten-DwrXK

[15] Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi…  hal. 48-49

[16] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama… hal. 96

[17] Siti Suniah, Kritik Terhadap Tarekat: Kajian Terhadap Pemikiran Sayyid Usman bin Yahya, Tesis S2 UIN Jakarta Tahun 2015, hal. 126

[18] Mabda Dzikara, Jaringan Keilmuan…  hal. 78-79

[19] Martin van Brunessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Gading Publishing, cet. 1, Yogyakarta: 2012, hal. 559-560

[20] “Tarekat Pemantik Perlawanan Kolonial” artikel diakses pada 28 Februari 2009 dari www.republika.com

[21] “Tarekat Sufi Bekal Pangeran Diponegoro Lawan Penjajah” artikel diakses pada 06 Januari 2022 dari https://khazanah.republika.co.id/berita/r5agrm320/tarekat-sufi-bekal-pangeran-diponegoro-lawan-penjajah.

M. Imaduddin Anggota Lajnah Pelatihan dan Kaderisasi Idarah Aliyyah JATMAN