Refleksi Tasawuf: Meneladani Sifat Ar-Rahman

Agustus 30, 2023 - 04:06
Refleksi Tasawuf: Meneladani Sifat Ar-Rahman

Meneladani Sifat Allah

Manusia tercipta bukan untuk tak bermakna dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Manusia diciptakan dengan sebuah peran untuk memakmurkan bumi, untuk itu ia disebut sebagai khalifah atau pemakmur bumi (Qs.[2]:30-32) Sebagai manusia ia membawa dan mengusung sebuah nilai kebaikan, kebajikan dan bukan nilai keburukan ataupun kejahatan. Walau demikian manusia memiliki sebuah nilai keseimbangan di dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh iblis, malaikat juga hewan. Manusia bukanlah iblis yang selalu berbuat salah, tetapi ia juga bukan malaikat yang selalu benar. Ia menjadi titik keseimbangan diantara dua kutub, yaitu keburukan dan kebaikan. Pada suatu titik tertentu manusia akan berbuat keburukan, tetapi pada titik lainnya manusia akan berbuat kebaikan.

Allah menciptakan manusia sebagai sebuah sosok intermediasi yang menghubungkan dua kutub yang bergitu berbeda (kutub malaikat dengan totalitas kebaikan, dan kutub iblis dengan totalitas keburukannya). Manusia memiliki kedua kontradiksi itu di dalam dirinya. Hanya manusia yang mampu merasakan kasih-sayang tetapi juga kebencian, kebahagiaan tetapi juga kesedihan. Setiap makhluk khususnya malaikat dan iblis terikat oleh dunianya, dunia kebaikan atau dunia keburukan dan tidak mampu merasakan keduanya sekaligus. Disinilah manusia menjadi sempurna karena Allah memadukan keduanya menjadi sebuah keseimbangan dalam diri manusia (Bentouness, 2003: 34-35).

Untuk menyeimbangkan dirinya sehingga ia mampu mengembangkan terus potensi kebaikan yang dimilikinya, juga menekan potensi keburukan yang ada di dalam dirinya maka ia harus selalu berupaya mendekat kepada Allah (Qs.[5]:35). Ia harus meneladani adanya sifat-sifat Allah berupa cahaya kebaikan dalam dirinya. Ia harus terus mencoba membangun jiwa kebaikan berupa rasa kasih-sayang (ar-Rahman & ar-Rahim) sebagai mesin utama yang terdapat dalam dirinya. Ketika ia berbuat salah, ia segera menyadarinya dan kembali ke dalam ranah kebaikan.

Sifat Allah ar-Rahman dan ar-Rahim merupakan sebuah sifat Allah yang Maha Mulia yang tertanam dalam akal budi manusia terdalam. Ia adalah cahaya kebaikan, cahaya kasih-sayang yang bersumber dan berasal dari Cahaya Tertinggi yaitu Allah Ta’ala sendiri sebagai Cahaya di Atas Cahaya (Qs.[24]:35). Meneladani sifat Allah bukan sebuah perkara yang mudah untuk dilakukan di sebuah zaman yang akan berakhir ini. Begitu banyak hambatan dan godaan duniawi, mulai dari dorongan dan godaan untuk berkuasa dan menundukkan, dorongan untuk memiliki dan memperebutkan harta kekayaan, dorongan untuk memiliki beragam kehendak apapun guna menunjukkan eksistensi kemanusiaannya.

Tasawuf sebuah Sebuah Metode Memahami Tuhan

Tasawuf sebagai sebuah ilmu juga bermakna ilmu untuk mengetahui beragam kondisi jiwa yang terpuji dan tercela, serta memahami untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang tercela dan mecoba untuk menghiasi dengan sifat yang terpuji (Amin al-Kurdi, 2013: 181-182). Tasawuf adalah sebuah metode untuk memahami kehadiran Allah dalam segenap penjuru alam semesta. Bahwa Dia ada dan eksisten untuk mengendalikan segalanya, dan segala yang ada berasal dari kehendakNya.

Manusia tidak menjadi ada karena dirinya sendiri, ia ada karena ada yang menjadikannya ada. Manusia hakikatnya adalah wujud ketiadaan (adam), sedangkan Allah Swt adalah wujud yang sesungguhnya atau wujud azali dan abadi. Adanya manusia semata karena adaNya, maka kelak di hari kebangkitan Allah Swt berseru: Bagi siapakah kerajaan hari ini? Bagi Allah Yang Maha Tunggal lagi Maha perkasa” (Qs.[40]: 16). Allah adalah Mahaagung dari segala apapun, tidak ada zatpun yang memahami hakikatNya kecuali diriNya sendiri. Disinilah ketika ada yang mencoba memahami dan mendaki ke dalam hakikatNya, maka manusia kehilangan makna dirinya sendiri, yang dia rasakan hanyalah Dia semata. MeraihNya melalui sebuah rasa cinta (ar-Rahman) yang begitu luar biasa dan iapun tenggelam bersama cintaNya (al-Ghazali, 2017: 48-49).

Membangun sebuah kesadaran untuk selalu melekat bersamaNya dapat diraih dengan melepaskan akal yang acapkali membingungkan. Akal memiliki keterbatasan untuk dapat menampung pemahaman tentangNya. Maka untuk memahamiNya hanya dapat dilakukan dengan sebuah pendekatan jiwa spiritual (Hujwiri, 2015: 258-260). Disinilah peran penting tasawuf sebagai sebuah jalan utama untuk memahamiNya, untuk dapat merasakan cintaNya, sekaligus untuk memahami sifat kemanusiaan manusia: untuk apa ia ada dan untuk apa ia dihadirkan olehNya sebagai seorang khalifah di muka bumi.

Tasawuf menyadarkan hakikat ketiadaan manusia, bahwa ia sesungguhnya adalah ketiadaan. Manusia ada semata karena adaNya dan bukan ada karena kehendak manusia itu sendiri. Walau sosok manusia adalah non eksisten, tetapi ia hadir dengan diberikan sebuah kualitas ke-illahiah-an dalam dirinya. Manusia adalah citra Tuhan di bumi, ia adalah imago dei dari keberadaan Allah. Dengan itu manusia memiliki potensi untuk selalu kembali padaNya. Manusia selalu berupaya untuk mendekat akibat adanya citra Tuhan yang dibenamkan dalam hati dan jiwanya.

Manusia sebagai citra Tuhan (imago Dei) menurut al-Ghazali adalah Citra Kasih-Sayang (ar-Rahman) Allah dalam diri manusia. Tanpa citra ar-Rahman dalam dirinya maka ia tidak akan mampu mengenal Tuhannya (al-Ghazali, 2017: 81-82). Imago Dei atau citra Tuhan sendiri tidaklah berarti pengetahuan atas esensi Tuhan, melainkan sifat-sifatNya (Takeshita, 2005: 46). Citra atau image berarti gambaran dan bukan yang sesungguhnya, maka manusia tetaplah menjadi manusia dengan segenap nilai kemanusiaannya, dan bukan menjadi Tuhan.

Dalam hal ini maka jelas dalam jiwa manusia terdapat rasa kasih-sayang yang Allah benamkan. Manusia mendapatkan limpahan ar-rahman Allah dalam dirinya, yang dengan itu ia mencoba mengenal Tuhannya. Citra Tuhan juga bukan dimaknai sebagai kesamaan kepada Zat Tuhan, bahwa manusia tidak dinyatakan menyerupaiNya karena Tuhan berbeda dengan makhlukNya (Qs.[42]:11). Manusia sebagai citra Tuhan bermakna manusia menerima limpahan cahaya kasih-sayangNya (ar-rahman dan ar-rahimNya) dalam diri yang berasal dariNya. Untuk itulah ia meneladani sifat kasih-sayangNya sebagai pedoman tingkah laku.

Jika manusia memahami hakikat dirinya sendiri, maka ia akan menyadari adanya sifat kasih-sayang yang ada dalam dirinya sebagai rahmat dan anugerah Allah Ta’ala. Disinilah kita memahami ucapan seorang ulama besar tasawuf Yahya bin Muadz ar-Razi: “siapa yang memahami dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Bahwa dalam diri manusia terdapat rasa kasih-sayang sebagai anugerah Allah yang merupakan nama dan sifat Allah ar-Rahman dan ar-Rahim untuk kita sebarluaskan kepada sesama manusia.

Manusia juga memiliki fitrah sebagai makhluk yang penuh kasih-sayang. Manusia bahkan tercipta dalam kandungan ibu yang disebut rahim, maka hakikatnya Allah menciptakan manusia dari air mani (Qs.[36]:77), kemudian menjadi segumpal darah hingga akhirnya ia dibekali dengan pengetahuan (Qs.[96]:2-5) kesemuanya itu dibentuk dalam sebuah konsep dan tatanan kasih-sayang. Manusia diciptakan olehNya dalam ruang penuh kasih-sayang (rahim), dan bukan dibentuk dalam sebuah ruang kebencian, iri hati, tamak dan juga dengki. Untuk itulah Allah Ta’ala mengajak manusia menjadi hamba yang penuh kasih-sayang.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim No.2132). Hal ini bermakna bahwa kedua nama itu menunjukkan sebuah kualitas illahiah berupa rasakasih-sayang dalam diri seorang hamba Allah. Bahwa manusia yang paling dicintaiNya adalah manusia yang secara total mengakui ketertundukan padaNya (Abdullah) dalam diri. Sekaligus manusia yang di dalam jiwanya penuh rasa kasih dan sayang (Abdurrahman), sebagai bentuk dari limpahan rahmatNya. Bahwa makna kedua nama itu tidak saja menunjuk kepada subjek manusia sebagai sebutan dan panggilan, tetapi jauh lebih dalam lagi adalah sifat-sifat tertanamnya sifat kasih sayang manusia yang harus ditebarkan dan disemaikan kepada sesamanya.

Bahwa totalitas ar-rahman dan ar-rahim juga mengajarkan kepada setiap jiwa bahwa segenap hal dalam hidup adalah berasal dariNya. Sifat itu berasal dan bersumber dari cahaya Allah. Bahwa kebaikan dan segala rasa cinta yang ada dalam jiwa batiniyah adalah karunia rahmat dari Allah Ta’ala. Bahwa segalanya adalah karenaNya. Bahwa segala pemberian dari makhluq adalah semata candu, maka berpalinglah menuju kepadaNya. Untuk itu berlarilah kepadaNya, hinakan diri di hadapanNya akan membuat jiwa berlimpah karuniaNya (Ibn Athaillah, 2009: 88). Bahkan ketaatan kepada Allah hakikatnya adalah karuniaNya, dan bukan kehendak manusia. Janganlah berbangga dengan ketaatan, karena ketaatan hakikatnya adalah karuniaNya (Ibn Athaillah, 2009: 77). Matikan ke-aku-an dalam menujuNya, matikan segenap ego dalam hati dalam melangkah menujuNya.

Rasa kasih-sayang (ar-rahman dan ar-rahim) sebagai bentuk imago Dei yang tertanam dalam jiwa manusia terdalam inilah sebagai bahan baku pembentukan akhlaq manusia dalam ilmu tasawuf. Bahwa manusia tercipta dalam sifat kemuliaanNya, dalam citraNya, dalam kasih-sayangNya, yang dengan itu patut disebarluaskan kepada sesamanya untuk membangun sebuah ruang hidup manusia yang beradab juga penuh keadaban.   

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang dalam hati mereka” (Qs.Maryam [19]:96).

Tulisan ini saya tulis khusus untuk menghormati jasa dan perjuangan guru saya, Allahyarham As-Syaikh K.H. Asyari Tafsir, salah seorang ulama tasawuf yang telah berpulang ke rahmatullah di Kota Malang pada tanggal 2 Juni 2022/3 Dzulqa’dah 1443 H. Kiranya Allah Ta’ala menerima segala amal kebaikannya semasa hidup dan semoga ilmu yang telah Beliau turunkan menjadi manfaat dan barokah bagi sesama.  

Oleh:

Fokky Fuad Wasitaatmadja

Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia