Algoritma Tasawuf

Algoritma adalah langkah-langkah logis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

Agustus 30, 2023 - 04:10
Algoritma Tasawuf

Rancang Bangun Manusia

Algoritma adalah langkah-langkah logis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Algoritma dalam kaitan dengan tasawuf memiliki makna bahwa tasawuf dengan segenap metodenya melalui tariqah secara logis diterima sebagai sebuah kebenaran dalam diri dan sistem hidup manusia. Mengapa hal ini perlu didiskusikan? Konsep tasawuf acapkali dimaknai sebagai menghilangnya diri manusia dalam ruang sosio kulturalnya. Bahwa manusia diminta untuk menjauhkan diri dari manusia lainnya dan kehidupan dunia. Kesalahpahaman ini tampaknya perlu dibahas untuk menjelaskan makna tasawuf bagi sebuah sistem hidup manusia.

Manusia diciptakan, dibentuk, digerakkan dengan maksud dan tujuan-tujuan tertentu. Ia bukanlah makhluk yang tersia-siakan, karena Allah secara hakikat hendak menjadikannya sebagai makhluk yang secara totalitas semata menujuNya (Qs.[51]:56). Dengan tujuan yang jelas, maka Allah membekali manusia dengan tiga komponen utama untuk menujuNya: kemampuan akal (ilmul aql), kemampuan intuisi (ilmul ahwal), dan kemampuan ruhaniyah (ilmul asrar).

Kemampuan akal mendorong manusia untuk menggunakan segenap kemampuan sadarnya secara logis bernalar untuk membongkar menguak segenap rahasia yang Allah letakkan dalam segenap bentang alam. Ilmul aql menuntut relasi sebab-akibat, bahwa sebuah peristiwa tertentu itu hadir atau ada karena secara logika akal disebabkan oleh sebuah peristiwa lainnya. Sebuah peristiwa tidak hadir dengan sendirinya tanpa relasi sebab-akibat. Akal menuntut manusia untuk membuktikan secara rasional dan logis bahwa sebuah benda berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain karena disebabkan oleh adanya dorongan yang menyebabkannya ia bergerak.

Kemampuan intuisi merupakan sebuah kemampuan tertentu untuk memahami apa yang Allah kehendaki dengan menggerakkan rasa dan jiwa batinnya yang terdalam. MemahamiNya dengan merasakanNya dalam hati setiap manusia, bahwa segenap ruang ide dan setiap sudut sisi kosmos tidak dapat dilihat secara nalar logika akal semata. MenujuNya bukan melihat fisik wujudNya, melainkan merasakan cintaNya, arrahman dan arrahim Allah yang ada setiap diri manusia. Manusia yang mengutamakan aras logika acapkali tertutupi oleh hadirnya sisi batiniyahnya. Maka aras logika harus berdampingan dengan aras intuisinya. Kemampuan ilmu kedua ini disebut ilmul ahwal, memahami hadirnya sebuah sistem kerja intuisi dalam diri manusia melalui rasa.

Kemampuan ruhaniyah adalah kemampuan rahasia yang tidak diketahui oleh diri manusia sendiri, tetapi sesungguhnya ia ada dan hadir. Ia adalah ruh, sebuah entitas yang hadir nyata dan tanpanya ia tidak dapat disebut oleh manusia. Manusia ada dan hadir eksistensinya bukan karena akal dan rasa semata bahkan, melainkan adanya komponen yang paling utama dan mendasar yaitu ruh. Tanpa ruh, manusia akan disebut jasad tak bernyawa, sebujur jenazah yang tak lagi berkehendak. Struktur ruh adalah rahasia terdalam, rahasia yang hanya diketahui olehNya. Manusia hanya memahami bahwa ruh itu ada dan hadir, tetapi ia tidak memahami struktur ruh. Ilmu mengetahuinya berada dalam tingkat ilmul asrar, sebuah ilmu yang hanya diketahui oleh Allah sendiri, para Nabi dan mungkin para auliya.

Tasawuf dalam Struktur Tubuh

Akal adalah wujud nalar sebab-akibat yang tampak, berwujud dan dapat ditangkap oleh pancaindera dan rasionalitas akal. Mendayagunakan akal manusia adalah hal penting yang dengannya, ia berbeda dengan makhluk lainnya baik hewan, malaikat, dan iblis. Hewan, dan malaikat yang tak menggunakan akalnya, yang dengan itu hukum-hukum Tuhan tak bermakna baginya. Sebaliknya iblis yang semata menggunakan akalnya, justru menjadikannya ia terjerumus dalam kesombongannya dan memasukkannya ke dalam jurang neraka. Hukum-hukum Tuhan menjadi tak bermakna sama sekali dihadapannya karena ia tak peduli dengan hukum-hukum Tuhan.

Akal yang diletakkan dalam struktur tubuh manusia adalah untuk memahami posisinya, mengetahui hakikat dirinya sendiri dihadapan Tuhan dan alam semesta. Akal adalah alat penting bagi Adam a.s. untuk memahami ciptaanNya (Qs.[2]:31). Allah menjelaskan kepada Adam a.s. atas benda-benda, inilah makna penting akal bagi manusia. Bahwa dengan akal itu manusia memahami dan mengetahui segala hal melalui akal. Inilah metode awal untuk mengetahui objek dan metode ini diteruskan hingga kini dalam bentuk pengajaran dari seorang guru kepada sang murid (Rahman: 2020).

Akal tidak dapat disebutkan sebagai entitas tunggal, karena wujud manusia juga tidak tunggal. Wujud manusia terdiri atas beberapa unsur selain wujud fisik, ia juga memiliki rasa untuk dapat mengetahui sesuatu. Disinilah hadir wujud intuisi manusia yang merasa, memahami bahwa Allah tidak sekedar diketahui melalui akal semata, melainkan melalui hadirnya rasa. Disinilai kecerdasan intuisi menuntut manusia untuk memahami hadirnya arrahman dan arrahim Allah. Manusia menerima hadirnya intuisi, dan dengan itu terbentuk dan tercipta pemahaman metafisika.

Memahami hadirnya rasa intuisi manusia terdalam membutuhkan sebuah ilmu tersendiri, dan disinilah pentingnya tasawuf bagi manusia. Tasawuf melatih sisi intuisi manusia, ia hadir untuk menggerakkan rasa guna memahami kehendak-kehendakNya dalam diri manusia. Allah yang hadir tidak dengan wujudNya, melainkan melalui rasa arrahman dan arrahim dalam rasa jiwa manusia. Rasa manusia untuk memahami Tuhan hadir melalui kalbu, dan kalbu ini adalah sarana manusia untuk menerima ilmu pengetahuan dari Tuhan. Tasawuf adalah sebuah supra intelektual untuk memahami kehendak Allah. Supra intelektual mengajarkan manusia dalam memahami segala hal yang paling vital dalam hidup manusia (Hasan: 2012).

Pemahaman pada diri manusia melalui akal tidak dapat bekerja sendiri, ia kini didampingi oleh intuisi melalui tasawuf. Bahwa manusia perlu memahami hakikat ontologis dirinya, sekaligus memahami hadirnya Tuhan di dalam diri. Manusia dengan semata akalnya tidak dapat berjalan sendiri untuk memahami hakikat terdalam dari adanya objek alam dan manusia. Bahwa memahami Allah dengan segenap kehendaknya harus didukung oleh hidupnya rasa dan hati, bukan akalnya semata. Metodologi irfani dalam sistem pengetahuan kini menduduki arti penting dalam memahami relasi manusia dan Tuhan selain metode burhani dan metode bayani. Bahwa untuk memahami kitab suci al-Qur’an (bayani) juga memerlukan kecerdasan akal (burhani), sekaligus kecerdasan jiwa (irfani).

Tasawuf bukanlah ekslusivisme perilaku, tasawuf adalah sikap untuk memahami kehendak Tuhan. Tasawuf adalah sikap inklusif untuk mengolah sisi batiniyah manusia terdalam dengan mengendalikan ego. Ia tetap bersama dengan manusia lainnya, ia tetap membangun kehidupan dengan menggunakan basis spiritualitasnya tanpa kehilangan sedikitpun nilai rasionalitasnya. Manusia yang selalu menumbuhsuburkan nilai-nilai keadaban atas dasar kecintaan terhadapNya. Ketika dengan bertasawuf ia menjauh dari manusia lainnya, maka sesungguhnya ia telah terjerat oleh egonya sendiri. Tasawuf bukan eksklusivisme sikap, tetapi justru membangun sebuah struktur sosio-kultur yang memanusiakan manusia lainnya.

Manusia yang terancam oleh sebuah ego untuk menguasai, menundukkan, membangun keakuan sekaligus pengakuan eksistensi atas hadirnya ia. Ego yang telah menjadikan manusia untuk unjuk posisi, unjuk keinginan tanpa menyadari bahwa ia hanyalah serpihan ketiadaan. Dalam algoritma tasawuf, akal yang menunjukkan eksistensi dalam bentuknya didampingi oleh sifat ketuhanan untuk mengendalikan keinginan hewaniyah. Manusia yang mampu melihat ke dalam dan menyadari adanya relasi dirinya dengan Tuhan. Bahwa adanya karena adaNya, hadirnya karena hadirNya, sebuah sistem kerja kosmik yang menyadari bahwa tanpaNya ia tak bermakna.

Menjadi logis dan sekaligus rasional bahwa kebutuhan manusia atas tasawuf adalah sangat penting, mengingat bahaya eksklusivisme ego dalam setiap diri manusia. Inilah makna algoritma tasawuf yang mengembalikan manusia pada kesadaran awalnya sebelum ia tercipta, bahwa ia telah berjanji untuk selalu menjadi hambaNya. Manusia yang kembali diingatkan oleh tasawuf untuk faham siapa hakikat dirinya, dan menyadarkan pula bahwa kelak ia akan kembali juga padaNya. Sehebat apapun ego menyeruak mengantarkan manusia untuk memiliki dan menundukkan, tetap ia hanyalah wujud daging dan tulang yang rapuh. Ia menjadi kuat ketika nilai spiritualisme membasahi jiwanya yang kering.

Tidak hanya tasawuf tetapi juga tariqah sebagai metode dalam menjalankan tasawuf juga memiliki posisi penting. Pembelajar tasawuf memerlukan sekolah dan guru untuk membimbing agar ia tidak tersesat, layaknya seorang mahasiswa yang membutuhkan sebuah perguruan tinggi dan dosen untuk membimbingnya memahami sebuah konsep-konsep ilmu pengetahuan. Tariqah adalah “perguruan tinggi” bagi pembelajar ilmu tasawuf, karena di dalam tariqah terdapat sekumpulan metode belajar dan pengetahuan tertentu untuk mengetahui, memahami dan menjalankan sebuah ilmu tasawuf. Begitu banyak tariqah layaknya begitu banyak pilihan perguruan tinggi dalam ilmu tasawuf. Setiap murid memiliki sebuah kebebasan untuk menentukan mana yang menurutnya baik. Kesemua tariqah walau memiliki metode dan kurikulum pengajaran yang beragam, tetapi kesemuanya memiliki satu tujuan yang sama, yaitu memahami siapa hakikat dirinya dihadapan Allah. 

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Qs. As-Syams: 9-10)

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja

(Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)