Mengenal Tasawuf, Melawan Hawa Nafsu ala Kiai Asrori

“Ilmu tasawuf itu tidak didapat dari pembahasan lisan, akan tetapi dari sesuatu yang dirasakan dan ditemukan dalam hati. Tidak digali dari buku, akan tetapi dari ahli rasa. Tidak diraih dari diskusi dan seminar, akan tetapi dari berkhidmah dan berguru kepada orang-orang yang sempurna,” (KH. Ahmad Asrori).
Munculnya agama Islam menjadi jawaban atas rusaknya peradaban pada masa Jahiliyyah, bahkan sampai saat ini konsep ajaran Islam relevan untuk dibumikan dan dijadikan pedoman hidup, hal itu dibuktikan dengan adanya trilogi ajaran Tuhan yang termaktub dalam ajaran Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan, dimana tiga pondasi tersebut mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam memahami trilogi ajaran Islam, posisi iman sebagai pondasi teologi, islam sebagai pondasi dalam menjalankan syari’at, maka ihsan sebagai jalan tasawuf. Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan yang ditempuh seseorang dalam dalam mengetahui dan melawan nafsu. Pembahasan tasawuf berkaitan dengan ruhaniyah manusia, aspek-aspek moral serta tingkah laku untuk menuju dan sampai (wushul) ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagai orang awam dengan segala keterbatasan ilmu dan pemahaman mengenai jalan untuk menuju dan wushul ke hadirat Allah, maka perlu adanya ilmu dan metode untuk meraihnya, dalam hal ini para sufi (ahli tasawuf) memiliki suatu konsepsi untuk wushul, konsep ini merupakan latihan-latihan ruhani yang dilakukan secara bertahap. Latihan-latihan ini sering dikenal dengan istilah maqamat serta ahwal. adapun bentuk-bentuk maaqamat di antaranya adalah taubat, zuhud, wara’, tawakal, sabar, rida, ikhlas, dan khauf.
Dalam buku ini, Kiai Asrori memiliki konsepsi maqamat yang berbeda dengan para tokoh sufi lainnya, jika para ulama sufi menjelaskan bahwa maqamat pertama adalah taubat kemudian maqamat berikutnya harus ditempuh secara berurutan. Sedangkan menurut Kiai Asrori menuturkan bahwa maqamat itu pilihan, tidak harus dilakukan secara berurutan. Hal ini disebabkan karena perjalanan ruhani setiap orang itu berbeda, tergantung dengan hal yang diberikan Allah kepada orang tersebut. Maka setelah menempuh maqam taubat sebagai maqam pertama, salik bisa melanjutkan menempuh jalan sufistiknya melalui maqam mana yang ia mampu.
Selain itu, dalam konsepsi maqamatnya, Kiai Asrori memperkenalkan istilah Al maut al ikhtiyari (kematian yang dapat diusahakan) atau dapat diartikan dengan mematikan hawa nafsu. Menurut beliau, siapapun tidak bisa wushul kepada Allah kecuali mengalami salah satu dari dua kematian, yaitu matinya jasad atau matinya hawa nafsu.
Lebih lanjut Kiai Asrori menjelaskan bahwa ada dua usaha untuk meraih maqamat, yaitu dengan usaha yang didasari dengan kelapangan hati dan menyiapkan hati untuk menerima anugerah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Penjabaran konsep maqamat Kiai asrori dalam buku ini tidak selesai pada teori saja, akan tetapi sampai pada implementasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam upaya mematikan hawa nafsu, Kiai Asrori menganjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan atau minuman yang bernyawa, atau campuran unsur hayawani dalam proses pembuatannya. Dalam ritual jawa perbuatan semacam ini disebut mutih atau tarak.
Kedua, jika berbuka puasa tidak langsung makan makanan yang berat, melainkan cukup dengan air putih dengan beberapa kurma. Ketiga, membaca surah Al Insyirah setiap pagi dan sore setelah salat subuh dan ashar sebanyak tujuh kali sambil meletakkan telapak tangan kanan di bawah susu kiri. Hal ini bermaksud untuk membuat hati menjadi lapang, tidak mudah marah dan tersinggung, dan mudah menerima semua takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Buku yang bisa dijadikan media untuk belajar tasawuf, menjadi obat di kala gundah, dan kabar gembira bagi yang mengalami kesedihan. Selain itu, buku ini mudah dipahami bagi kalangan manapun karena menggunakan bahasa yang ringan.
Judul Buku : Konsep Sufistik KH. Ahmad Asrori Al Ishaqy
Penulis : Rosidi a.k.a Abdur Rosyid
Penerbit : Bildung
Tahun Terbit : Cetakan Pertama 2019
Tebal : xviii+132 Halaman; 14 x 20.5 cm
Oleh: Khoirul Muthohhirin (UIN Walisongo)
Editor: Arip Suprasetio