162 Masalah Sufistik

September 19, 2023 - 09:23
162 Masalah Sufistik

1

Habib Abubakar bin Syeikh Asseggaf ra. bertanya: “Bagaimanakah perasaan yang timbul dalam hati seseorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala. Apakah ia harus membuangnya jauh-jauh dan hanya bersandar kepada perasaan Rabbani saja atau apa yang seharusnya ia kerjakan?

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seseorang yang telah sampai kepada Allah atau seseorang yang mengenal Allah dengan ilmu yang ia miliki, sebagaimana yang dimiliki pula oleh para ulama, memiliki berbagai tingkatan yang tidak terhitung banyaknya.

Seseorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala mempunyai dua keadaan: Pertama, yang dikenal dengan nama al-Jam’u, dan yang kedua adalah yang dikenal dengan nama al-Farqu.

al-Jam’u adalah tingkatan atau keadaan yang dicapai oleh seorang yang telah mengenal Allah secara terus menerus tanpa terputus sesaat pun di dalam keadaan yang sedemikian ini. la adalah seseorang yang akan terus-menerus fana’ dan tenggelam di alam ketuhanan secara keseluruhan secara terus-menerul tanpa terputus sesaat pun.

Sehingga ia tidak lagi mengenali dirinya maupun yang lain selain Allah Ta’ala. Tentang keadaan atau tingkatan seperti ini pernah diucapkan oleh seorang penyair: “Andaikata hatiku pernah mengingat selain-Mu karena kelalaianku, maka aku rela jika dihukum dengan kemurtadan.”

Penyair lain mengatakan: “Dahulu hatiku mencintai-Mu, akan tetapi tidak terus-menerus. Namun setelah aku mengenal-Mu lebih jauh, maka aku tidak dapat melupakan diri-Mu sedetikpun.”

Adanya perasaan kepada selain Allah Ta’ala bagi seseorang yang telah mengenal Allah Ta’ala dengan baik tidak mungkin akan terjadi. Karena perasaannya telah benar-benar menyatu dengan Dzat Allah Ta’ala, sehingga ia tidak dapat memalingkan perasaan tersebut sesaatpun daripada-Nya. Keadaan yang seperti ini pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Aku mempunyai waktu yang tidak cukup bagiku, kecuali hanya untuk Tuhanku.”

Perasaan semacam ini sulit didapat oleh seseorang. Akan tetapi jikalau perasaan ini telah hadir pada diri seseorang secara terus-menerus, maka ia akan melihat berbagai keajaiban dan kemisterian alam ghaib yang menakjubkan.

Perasaan semacam ini pernah dialami seorang tokoh sufi di Irak. Ia pernah tenggelam dalam perasaan seperti ini selama tujuh tahun dan selama itu ia tidak sadar. Kemudian ia sadar dalam waktu pendek, tetapi ia tenggelam kembali dalam perasaan ketuhanannya itu selama tujuh tahun lagi. Dan selama itu ia tidak pernah makan, minum, tidur maupun shalat, ia hanya berdiri di sebuah tempat dan matanya selalu memandang ke langit.

Disebutkan juga bahwa salah seorang tokoh sufi di Mesir pernah juga mengalami keadaan atau perasaan seperti itu. Ia berwudhu, kemudian ia berbaring dan ia berkata kepada pembantunya: “Jangan engkau membangunkan aku, sampai aku bangun sendiri.”

Maka, ia tidak sadarkan diri selama tujuh belas tahun. Dan selama itu pula ia tidak makan dan tidak minum. Kemudian ia bangun dan ia melakukan shalat dengan wudhu’nya yang dahulu. Perlu diketahui, para ‘arifin billah selalu merindukan untuk mendapatkan keadaan seperti itu.

Tetapi Allah Ta’ala jarang sekali memberikan perasaan semacam itu kepada hamba-hambaNya, karena Allah Ta’ala kasihan kepada mereka dan agar hambanya yang terdekat dapat mengerjakan segala kewajibannya kepada Allah Ta’ala, agar pahala mereka senantiasa bertambah serta agar tubuh mereka tidak rusak karenanya.

Sebab, jika perasaan ketuhanan telah mempengaruhi hati seseorang dan ia tenggelam dalam perasaan seperti itu, maka kekuatannya sebagai manusia tidak akan dapat menanggulanginya. Sebab, Gunung Tursina menjadi terbakar dan meletus ketika cahaya Allah Ta’ala tumbuh di puncaknya, maka bagaimana jika cahaya Allah Ta’ala itu telah bersemayam di hati seseorang.

Karena itu, tidak pantas jika kita percaya kepada sebagian orang yang telah disesatkan oleh setan yang mengaku bahwa mereka telah mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, sehingga mereka meninggalkan semua kewajiban agama, seperti puasa, shalat, serta mereka melakukan segala bujuk rayu hawa nafsunya dan larangan-larangan Allah Ta’ala.

Andaikata mereka termasuk wali-wali Allah, tentunya mereka akan dipelihara oleh Allah dari segala perbuatan yang tidak baik. Dan secara logika, andaikata mereka benar-benar mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, tentunya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal-hal selain Allah Ta’ala.

Kiranya kami cukupkan sampai disini keterangan kami tentang keadaan atau masa ketenggelaman seseorang di alam ketuhanan yang memfana’kan dirinya dari selain Allah Ta’ala. Kini, mari kita bicarakan tentang keadaan al-Farqu, yaitu keadaan atau perasaan yang di alami oleh seseorang yang telah tenggelam di alam ketuhanan, tetapi tidak terus-menerus.

Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini, maka Allah Ta’ala akan senantiasa memeliharanya dan memperhatikannya. Untuk selamanya, ia akan merasa selalu diawasi dan diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, sehingga ia tidak berani berbuat sesuatu, kecuali yang telah diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang menurut istilah kaum sufi, perasaan semacam itu disebut perasaan malaki atau ilham Rabbani.

Adapun perasaan setan, tidak akan timbul dan tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada seseorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala. Sebab, setan yang terkutuk tidak akan dapat mendekati hati seorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala.

Karena Allah Ta’ala akan senantisa meneranginya dengan cahaya petunjuk-Nya. Mungkin setan dapat mempengaruhi seseorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala, tetapi orang itu akan diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari gangguan setan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.:

“Aku mempunyai setan, tetapi Allah memenangkan aku daripadanya, sehingga aku selamat dari godaannya, sehingga ia tidak menyuruhku kecuali yang baik.”

Adapun perasaan nafsu tidak mungkin dapat mempengaruhi hati seseorang yang telah sampai kepada Allah Ta’ala, karena hatinya telah tunduk dan telah dekat kepada Allah Ta’ala. Bahkan nafsunya pun dapat ia kendalikan, sehingga ia taat kepada Tuhannya dan telah dimasukkan dalam golongan hamba-hambaNya yang pantas menghuni surga-Nya yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan hanya bagi orang-orang yang bertakwa.[Majelis Dzikir Baitul Fatih]