Tarekat di Tengah Gelombang Zaman: Refleksi HARLAH Ke-68 JATMAN

Oleh: Abdur Rahman El Syarif.  (Santri Pondok Pesantren Al Masykuriyah Jakarta asuhan Mursyid Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa; Tarekat Naqshabandiyah  Khalidiyah)

Okt 10, 2025 - 14:17
Tarekat di Tengah Gelombang Zaman: Refleksi HARLAH Ke-68 JATMAN

Pada tanggal 10 Oktober 1957, di tengah geliat awal Republik Indonesia yang masih mencari bentuk dan arah moral bangsa, lahirlah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN). 

Ia bukan sekadar organisasi tarekat; melainkan wadah penyatuan para pewaris jalan ruhani Nabi Muhammad SAW. yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Saat itu, di tengah pusaran ideologi yang saling berebut pengaruh, antara sosialisme, kapitalisme, dan nasionalisme, JATMAN muncul sebagai poros spiritual yang menegaskan: bahwa pembangunan bangsa tanpa dasar batin adalah bangunan tanpa fondasi.

Seiring waktu, JATMAN menjadi benteng keseimbangan antara agama dan negara, antara dunia tasawuf dan realitas sosial. Ia meneguhkan bahwa tarekat bukanlah pelarian dari dunia, melainkan cara menghadirkan Tuhan dalam setiap denyut kehidupan. 

Dari zaman KH Ahmad Asrori al-Ishaqy hingga kepemimpinan para mursyid masa kini, JATMAN menjaga kesinambungan tradisi dzikir, suluk, dan akhlak, sekaligus mengajarkan murid-muridnya untuk berperan aktif dalam masyarakat, politik, dan kebudayaan.

Kini, memasuki usia ke-68, JATMAN menghadapi tantangan baru yang tak kalah besar: era politik pragmatis dan revolusi digital.

Dunia spiritual hari ini dihadapkan pada dua kutub ekstrem: satu sisi, spiritualitas yang tereduksi menjadi konten hiburan; di sisi lain, politik yang kehilangan nilai-nilai ruhani. Dalam situasi semacam ini, JATMAN memikul peran penting untuk meneguhkan kembali makna tarekat sebagai jalan peradaban, bukan sekadar jalan pribadi.

Melalui pendekatan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan tahdzibul akhlaq (pembinaan moral), JATMAN dapat menjadi inspirasi moral bagi bangsa yang tengah mencari arah di tengah turbulensi politik dan sosial. 

Digitalisasi dakwah, misalnya, kini membuka peluang baru bagi para mursyid dan ikhwan tarekat untuk menyiarkan nilai-nilai ihsan, sabar, dan tawadhu ke ruang-ruang publik yang selama ini dikuasai oleh kebisingan dan polarisasi. Di tengah narasi kebencian di media sosial, zikir dan keheningan justru menjadi bentuk perlawanan kultural yang lembut namun mendalam.

Refleksi di usia ke-68 ini mengingatkan kita bahwa tarekat bukan sekadar jalan sunyi, melainkan jalan sosial, spiritual untuk menata kehidupan umat.

“Pengamalan Tarekat sebagai Jalan Spiritual Warisan Nabi Muhammad SAW untuk Keharmonisan Sosial” bukanlah slogan, melainkan mandat sejarah. Sebab dalam setiap langkah Nabi, selalu ada keseimbangan antara kontemplasi dan aksi, antara cinta Tuhan dan kasih kepada sesama.

Maka, JATMAN hari ini perlu terus bertransformasi, bukan dengan meninggalkan akar, tetapi dengan menumbuhkan cabang baru di ladang digital, pendidikan, dan kebudayaan. 

Para mursyid masa kini tidak hanya memegang tasbih, tetapi juga ponsel; tidak hanya memimpin majelis zikir di zawiyah, tetapi juga mengajarkan adab dan kebijaksanaan di dunia maya.

Tarekat, pada akhirnya, bukan nostalgia. Ia adalah energi moral yang hidup, yang dapat menuntun bangsa ini melewati badai materialisme, hoaks, dan krisis spiritual.

JATMAN telah membuktikan, selama lebih dari enam dekade, bahwa spiritualitas dan sosialitas bisa berjalan beriringan. Dan kini, di tengah arus dunia yang kian cepat, JATMAN kembali memanggil kita untuk melambat, merenung, dan berdzikir.

Sebab di sanalah keharmonisan sejati bermula: dari hati yang tenang, dari zikir yang tulus, dan dari kesadaran bahwa jalan tarekat bukan jalan ke masa lalu, melainkan jalan menuju masa depan manusia yang beradab.

"JATMAN, Nafas Tauhid di Setiap Jengkal Tanah Air"