Tiga Gelombang NU (1926 - Sekarang): Sebuah Kerangka Sejarah dan Harapan

(Telaah Kontemplatif atas Perjalanan NU dari Masa ke Masa) 

Desember 2, 2025 - 10:50
Desember 2, 2025 - 10:50
Tiga Gelombang NU (1926 - Sekarang): Sebuah Kerangka Sejarah dan Harapan

Untuk memahami konteks kemunculan figur alternatif dalam tubuh Nahdlatul Ulama, kita perlu menengok perjalanan organisasi ini dalam tiga fase besar, tiga “gelombang” yang secara tak langsung membentuk identitas dan dinamika kepemimpinannya dari masa ke masa.

Gelombang Pertama: NU sebagai Gerakan Ulama Tradisional (1926–1984)

Gelombang ini lahir dari rahim keresahan para ulama terhadap penetrasi modernisme Islam yang dianggap mengikis otoritas keilmuan pesantren. KH. Hasyim Asy’ari dan para kiai pendiri NU merancang organisasi ini sebagai jam’iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) berbasis fiqih, tarekat, dan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah. 

NU pada fase ini menjelma sebagai penjaga tradisi keislaman Nusantara yang kuat akar dan relasinya dengan pesantren serta masyarakat bawah. Kepemimpinan didominasi oleh figur-figur karismatik seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, hingga KH. Idham Chalid.

Gelombang Kedua: NU sebagai Gerakan Sosial-Politik dan Reformasi Struktural (1984–2021)

Pada era ini, terutama setelah Khittah 1926 dideklarasikan kembali dalam Muktamar Situbondo 1984, NU masuk dalam masa transisi menuju kemandirian sosial dan intelektual. Di bawah Rais ‘Am KH. Ahmad Shiddiq dan Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU tampil bukan hanya sebagai organisasi keagamaan, tapi juga sebagai kekuatan budaya, demokrasi dan HAM. 

Gelombang ini berpuncak pada kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden RI dan lahirnya tokoh-tokoh muda NU dalam gerakan masyarakat sipil. Namun, pasca Gus Dur, terjadi tarik-menarik antara idealisme civil society dan masuknya kembali hasrat kekuasaan dalam struktur NU.

Gelombang Ketiga: Menjemput NU Sebagai Rumah Spiritualitas, Kultural, dan Politik Etis (2021–ke depan)

Seiring dinamika internal NU pasca wafatnya KH. Sahal Mahfudh dan KH. Hasyim Muzadi, warga NU dihadapkan pada dikotomi elite yang seolah berulang bahkan lebih kentara. Fakta terbaru terkait perseteruan antara Rais Am KH. Miftahul Akhyar dan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf adalah bukti adanya dikotomi itu. 

Namun berbeda dari sebelumnya, kini mulai tumbuh kesadaran kolektif bahwa NU harus menempuh jalan ketiga, jalan yang tidak terjebak dalam personalisasi kekuasaan, melainkan berangkat dari akar kultural-spiritual yang selama ini nyaris terlupakan.

Inilah benih dari Gelombang Ketiga NU: semacam sintesis antara tradisi dan inovasi, antara tarekat dan intelektualisme, antara kearifan lokal dan diplomasi global. Sebuah fase yang menuntut kepemimpinan spiritual-politik yang tenang namun tajam; berkharisma namun komunikatif; berpijak pada pesantren namun melek tata kelola modern.

(Bersambung..)

Abdurrahman El-Syarif Santri Pondok Pesantren Pasulukan Al Masykuriyah Condet Jakarta; Tarekat Naqshabandiyah Khalidiyah.