Sebelum Bertarekat, Haruskah Menguatkan Akidah dan Syariat?

Di tengah-tengah masyarakat muslim yang berafiliasi ke Ahlussunnah wal Jamaah, seringkali terdengar sebuah statmen yang sebetulnya perlu didiskusikan. Yaitu bahwasanya ilmu tarekat tidak boleh dipelajari oleh mereka yang berusia remaja dan masih duduk di bangku sekolah. Termasuk mereka yang masih muda dan belum lanjut usia, tidak diperkenankan mempelajari tarekat apalagi mendalaminya. Alasannya cukup beragam.

Agustus 30, 2023 - 05:21
 0
Sebelum Bertarekat, Haruskah Menguatkan Akidah dan Syariat?

Di tengah-tengah masyarakat muslim yang berafiliasi ke Ahlussunnah wal Jamaah, seringkali terdengar sebuah statmen yang sebetulnya perlu didiskusikan. Yaitu bahwasanya ilmu tarekat tidak boleh dipelajari oleh mereka yang berusia remaja dan masih duduk di bangku sekolah. Termasuk mereka yang masih muda dan belum lanjut usia, tidak diperkenankan mempelajari tarekat apalagi mendalaminya. Alasannya cukup beragam. Antara lain, akidah dan syariat harus diperkuat terlebih dahulu agar tidak mudah terjerumus dalam kebimbangan spiritual dan ketersesatan. Dikatakan pula bahwa aktivitas sebagai pelajar dan penuntut ilmu akan kerap terbengkalai dengan sebab bertarekat. Aktivitas bekerja dan mencari nafkah pun menjadi terganggu akibat mengamalkan tarekat. Bahkan ada juga yang mengklaim bahwa sakit jiwa alias gila dapat disebabkan oleh virus halus bernama tarekat!. Benarkah demikian?.

Pertama-tama, penulis mengingatkan bahwa upaya menguatkan akidah dan syariat sesungguhnya merupakan suatu kelaziman mutlak bagi setiap muslim dan muslimah, terlepas hendak memasuki tarekat atau tidak. Hanya saja, harus disadari bahwa pilar-pilar agama yang mesti dikokohkan tidak hanya islam (syariat) serta iman (akidah), tapi juga ihsan, yaitu akhlak dan tasawuf atau tarekat. Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur bahkan menambahkan satu pilar lagi, yaitu fiqh at-tahawwulat (fikih tanda-tanda kiamat).

Sayyid Abdullah bin ash-Shiddiq al-Ghumari dalam kitab beliau, Husn at-Talatthuf, menegaskan:

فَمَنْ أَخَلَّ بِمَقَامِ الْإِحْسَانِ الَّذِي هُوَ الطَّرِيقَةُ فَدِينُهُ نَاقِصٌ بِلَا شَكٍّ لِتَرْكِهِ رُكْنًا مِنْ أَرْكَانِهِ. وَلِهَذَا نَصَّ الْمُحَقِّقُونَ عَلَى وُجُوبِ الدُّخُولِ فِي الطَّرِيقَةِ وَسُلُوكِ طَرِيقِ التَّصَوُّفِ وُجُوبًا عَيْنِيًّا، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى الْوُجُوبِ بِمَا هُوَ ظَاهِرٌ عَقْلًا وَنَقْلًا.

“Maka barangsiapa mengabaikan tingkatan ihsan, yakni thariqah, tentu saja kurang agamanya, sebab ia telah meninggalkan salah satu pilarnya. Karena itulah para ulama terkemuka memfatwakan bahwa hukum memasuki sebuah thariqah dan menempuh perjalanan tasawuf adalah fardhu ‘ain (wajib atas setiap muslim dan muslimah). Argumen mereka pun sangat jelas, baik secara ‘aqli (berdasarkan logika) maupun naqli (berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah serta tuntunan para sahabat).”

Dalam kitab al-Fuyudhat ar-Rabbaniyyah (sebuah kitab yang mengkodifikasikan keputusan-keputusan kongres, muktamar serta musyawarah besar JATMAN sejak tahun 1957) himpunan KH. Abdul Aziz Masyhuri juga difatwakan sebagai berikut:

فَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِالدُّخُولِ فِي الطَّرِيقَةِ هُوَ التَّعَلُّمُ بِتَزْكِيَةِ النَّفْسِ عَن الرَّذَائِلِ وَتَحْلِيَتِهَا بِالْمَحَامِدِ فَفَرْضُ عَيْنٍ.

“Apabila (atau oleh karena) tujuan daripada memasuki tarekat adalah menekuni penyucian jiwa dari segala yang tercela dan menghiasinya dengan segala yang terpuji, maka hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib atas setiap muslim dan muslimah).”

Kewajiban bertarekat yang difatwakan para ulama, sebagaimana pernyataan-pernyataan di atas, tidak hanya teruntukkan bagi kalangan lanjut usia ataupun yang telah menamatkan kajian akidah dan fikihnya semata, melainkan wajib atas setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali. Namun dengan catatan, tidak mengabaikan atau menepikan amalan syariat dan tidak pula menyimpang dari prinsip-prinsip akidah. Artinya, mengokohkan ketiga pilar agama dimaksud tidaklah dengan cara dipergilirkan satu demi satu, melainkan dapat ditekuni dan diamalkan secara bersamaan, karena ketiganya sama-sama kewajiban.

Meskipun, saran untuk menguatkan akidah dan syariat terlebih dahulu sebelum mulai bertarekat sebetulnya wajar dan dapat dimaklumi. Faktor yang melatarbelakangi saran tersebut adalah maraknya aliran-aliran kebatinan berkedok tarekat yang menyebar di banyak tempat dengan berbagai penyimpangannya. Sehingga, dengan kuatnya pemahaman terhadap akidah dan syariat, seorang muslim dapat membentengi darinya dari kesalahan dalam memilih tarekat yang hendak diikuti. Dengan modal akidah dan syariat yang kuat, seseorang tentu dapat menyeleksi dengan tepat tarekat mana yang hendak ditempuh dan diamalkan.

Namun persoalannya, tarekat-tarekat mu’tabarah di masa kini, bahkan sedari dulu, sudah terseleksi dan terpurifikasi dengan cukup baik di tangan pihak-pihak berwenang serta lembaga-lembaga terpercaya yang berkapasitas di bidangnya. Di Indonesia, sebut saja Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN), Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI), Dewan Ulama Thariqah Indonesia (DUTI) bahkan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alhasil, umat Islam di Indonesia, meskipun akidah dan syariat mereka belum terlihat matang, sebetulnya tidak perlu bingung dalam menelusuri tarekat mu’tabarah yang layak untuk diikuti dan diamalkan.

Di kalangan warga Nahdlatul Wathan (NW) saja, Tarekat Hizib NW gagasan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid pun diijazahkan kepada siswa-siswi yang berkenan mengamalkannya. Penulis sendiri dahulu pernah menerimanya sewaktu masih SMP. Ketika itu, tidak ada ketentuan yang menekankan kepada penulis untuk menguatkan akidah dan syariat terlebih dahulu. Pasalnya, Tarekat Hizib NW sudah diyakini baik dan benar serta aman untuk diikuti. Dengan mengamalkan Tarekat Hizib NW, akidah dan syariat sudah dijamin tidak akan terkontaminasi.

Demikian pula tarekat-tarekat lain yang sudah dipastikan ke-mu’tabarah-annya, terutama oleh JATMAN, maka sudah tentu aman untuk diikuti, dan akidah maupun syariat pengamalnya dijamin tidak ternodai. Sehingga, menghindari ataupun meninggalkan sebuah tarekat yang jelas-jelas mu’tabarah dengan alasan akidah dan syariat belum kuat, menjadi tidak relevan lagi.

Selain itu, tarekat yang benar-benar lurus dan mu’tabarah justru memperhatikan betul akidah dan syariat para pengikutnya, bahkan turut memfasilitasi mereka untuk menggeluti dan mematangkannya. Demikian pula seorang mursyid sejati tidak akan mungkin mengabaikan atau menelantarkan murid-muridnya dalam urusan pendalaman akidah dan pengamalan syariat. Bahkan, dalam banyak literatur tasawuf dikemukakan bahwasanya melalui tarekat lah seseorang justru dapat menyempurnakan akidah dan syariatnya.

Sebagai salah satu contoh, Thariqah Dusuqiyah Muhammadiah (TDM) yang diimami Maulana Sayyid Mukhtar bin Ali bin Muhammad ad-Dusuqi al-Maliki al-Husaini. Selain disahkan oleh Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir dan diakui mu’tabarah oleh JATMAN, TDM juga senantiasa membuka kajian-kajian intens dalam rangka penguatan akidah dan syariat sesuai manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Dar-dar TDM di Mesir dan di berbagai penjuru dunia pun selalu ramai oleh remaja, pemuda bahkan anak-anak, sebagaimana ramai pula oleh pebisnis, dosen, politisi, dokter, insinyur, seniman dan lain-lain.

Di Indonesia secara khusus, kehadiran Mahasiswa Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (MATAN) tentu patut disyukuri dan disambut hangat, karena dapat menjadi pilihan cemerlang bagi kawula muda sebagai wadah untuk menempuh suluk dalam tarekat, tanpa sedikitpun mengesampingkan akidah maupun syariat, dan tanpa mengorbankan tugas-tugas pokok sebagai penuntut ilmu yang sukses dunia-akhirat.

Yang paling utama untuk diluruskan sebetulnya adalah persepsi dan mindset tentang tarekat. Jika tarekat dipahami dengan benar sebagai sebuah wadah untuk membersihkan hati, menguatkan ruhani, memperbaiki akhlak, mencintai dan meneladani para kekasih Allah, memperbanyak zikir dan shalawat serta memperluas wawasan keislaman untuk semakin dekat kepada Allah, maka tidak ada alasan untuk menghalangi siapapun bertarekat, termasuk bahkan terlebih mereka yang masih sekolah ataupun kuliah. Lantas apakah mereka harus mengkhatamkan kajian fikih dan akidah mereka terlebih dahulu, baru mulai berpikir tentang perbaikan akhlak dan penyucian jiwa dari hawa nafsu?. Terkadang tidak disadari bahwa rusaknya perilaku anak-anak muda zaman sekarang, salah satu penyebabnya adalah karena dilarang bertarekat!.

Catatan singkat ini penting untuk dimengerti dengan cermat, karena selain menguatkan pemahaman akidah serta mengkhusyu’kan pengamalan syariat, tarekat juga sesungguhnya merupakan jalan pintas terbaik untuk menjernihkan hati serta memuliakan akhlak. Sementara, etika, perilaku maupun spiritualitas para remaja dan pemuda di negeri kita tentu menjadi perhatian wajib kita bersama. Banyak dari mereka yang terkekang oleh belenggu filsafat. Tidak sedikit pula yang terjerat oleh perangai dan budaya Barat. Pesan penulis, agar mereka selamat dan tidak semakin tersesat, maka jangan halangi mereka bertarekat!.

Penulis merupakan Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur