Membayangkan Guru Saat Berzikir, Syirikkah?

Membayangkan wajah sang guru mursyid ketika tengah melakukan zikir merupakan salah satu rutinitas umumnya pengamal tarekat sufi dengan beragam tata caranya. Apakah hal itu diperbolehkan menurut syariat Islam? Ataukah syirik akbar yang justru mengeluarkan seseorang dari agama Islam? Ya, tidak sedikit orang yang menghukuminya sebagai sebuah kesyirikan!.

Agustus 30, 2023 - 05:36
 1
Membayangkan Guru Saat Berzikir, Syirikkah?

Membayangkan wajah sang guru mursyid ketika tengah melakukan zikir merupakan salah satu rutinitas umumnya pengamal tarekat sufi dengan beragam tata caranya. Apakah hal itu diperbolehkan menurut syariat Islam? Ataukah syirik akbar yang justru mengeluarkan seseorang dari agama Islam? Ya, tidak sedikit orang yang menghukuminya sebagai sebuah kesyirikan!.

To the point, membayangkan apapun -selagi yang dibayangkan itu tidak diyakini sebagai wujud Tuhan dan tidak pula disembah-, ya boleh-boleh saja. Simple. Membayangkan seeokor sapi, sebuah mobil mewah, sepasang sepatu, bangunan rumah megah, sanak kerabat, sahabat lama dan lain sebagainya, semua itu tentu saja tidaklah terlarang. Sekali lagi, selama membayangkannya tidak bermaksud menyembahnya dan tidak pula diyakini sebagai wujud zat Tuhan Yang Maha Esa.

Tapi bagaimana jika membayangkannya di saat berzikir? Baik, di sini penulis mencoba menanyakan hal serupa namun bukan di saat berzikir, melainkan saat melaksanakan ibadah shalat. Kira-kira Apakah hukum dari membayangkan teman, orang tua, guru, suami/istri, anak, cucu ataupun benda-benda semisal mobil, sepeda motor, sandal, rumah, makanan dan lain sebagainya di saat melakukan shalat? Apakah shalat menjadi batal? Mutlak tidak!. Mungkin sekedar berkurang kualitas, tapi tidak sampai batal. Pertanyaannya kemudian, apakah pelakunya dihukumi syirik, sementara shalatnya saja tidak menjadi batal?.

Contoh lainnya, apabila seseorang di dalam shalatnya membayangkan wajah seorang penjahat, pencuri, penzina atau pembunuh yang kafir sekalipun, apakah shalatnya menjadi batal? Secara fikih, tentu tetap sah dan tidak batal, meski pahalanya (mungkin) berkurang banyak. Namun yang pasti, tidak dihukumi sebagai sebuah kesyirikan, bukan?. Nah, jika membayangkan wajah seorang pembunuh yang kafir di dalam shalat tidak menjadikan syirik, lantas apakah membayangkan wajah mulia seorang hamba Allah yang shalih -di luar shalat- (saat berzikir) menjadikan syirik ?!?.

Lagipula, membayangkan wajah orang shalih di dalam shalat pun sebetulnya telah dianjurkan para ulama sekaliber Imam Ibnu Hajar al-Asqalani melalui kitab beliau, Fath al-Bari. Beliau berkata:

يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي أَنْ يَسْتَحْضِرَ فِي هَذَا الْمَحَلِّ جَمِيعَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْمُؤْمِنِينَ. (فتح الباري بشرح صحيح البخاري للحافظ ابن حجر العسقلاني، بيت الأفكار الدولية بعمان، 2000، ص643)

“Seyogyanya bagi orang yang tengah melakukan shalat menghadirkan pada posisi ini (saat membaca tahiyat) seluruh nabi, malaikat dan orang-orang beriman.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Yordania: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 2000, hlm. 643)

Begitu pula Imam al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah mengatakan:

فَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ قَلْبُكَ وَلَمْ تَسْكُنْ جَوَارِحُكَ لِقُصُورِ مَعْرِفَتِكَ بِجَلَالِ اللهِ تَعَالَى فَقَدِّرْ أَنَّ رَجُلًا صَالِحًا مِنْ وُجُوهِ أَهْلِ بَيْتِكَ يَنْظُر إِلَيْكَ لِيَعْلَمَ كَيْفَ صَلَاتُكَ فَعِنْدَ ذَلِكَ يَحْضُرُ قَلْبُكَ وَتَسْكُنُ جَوَارِحُكَ. (بداية الهداية لحجة الإسلام أبي حامد الغزالي، دار صادر ببيروت، ط1، 1998، ص79)

“Apabila (di dalam shalat) hatimu tidak hadir dan anggota badanmu tidak tenang karena keterbatasan pengenalanmu terhadap keagungan Allah Swt. maka bayangkanlah orang shalih dari keluargamu sedang melihatmu dan mengawasi shalatmu, niscaya saat itu hadirlah hatimu dan tenanglah anggota badanmu.” (Imam al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, cet. ke-1, Beirut: Dar Shadir, 1998, hlm. 79)

Bahkan dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menceritakan:

يُرْوَى عَنْ حَاتِم الْأَصَم رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ صَلَاتِهِ فَقَالَ: إِذَا حَانَت الصَّلَاةُ أَسْبَغْتُ الْوُضُوءَ وَأَتَيْتُ الْمَوْضِعَ الَّذِي أُرِيدُ الصَّلَاةَ فِيهِ فَأَقْعُد فِيهِ حَتَّى تَجْتَمِعَ جَوَارِحِي ثُمَّ أَقُوم إِلَى صَلَاتِي وَأَجْعَل الْكَعْبَةَ بَيْنَ حَاجِبي وَالصِّرَاطَ تَحْتَ قَدَمِي وَالْجَنَّةَ عَنْ يَمِينِي وَالنَّارَ عَنْ شِمَالِي وَمَلَكَ الْمَوْتِ وَرَائِي. (إحياء علوم الدين لحجة الإسلام أبي حامد الغزالي، دار ابن حزم ببيروت، ط1، 2005، ص179)

“Diriwayatkan dari Hatim al-Asham Ra. bahwa beliau pernah ditanya tentang shalat beliau, maka beliau berkata: Apabila tiba waktu shalat, aku sempurnakan wudhu lalu datang ke tempat shalat dan duduk di sana hingga terkumpul (kesiapan) anggota badanku, kemudian aku berdiri melakukan shalat dan menjadikan/membayangkan Ka’bah di hadapan mataku, titian Shirath al-Mustaqim di bawah kakiku, surga di kananku, neraka di kiriku dan malaikat maut di belakangku.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, cet. ke-1, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005, hlm. 179)

Ternyata, Imam Hatim al-Asham (wafat th. 237 H.) ketika shalat membayangkan Ka’bah, titian Shirath al-Mustaqim, malaikat maut, surga bahkan neraka. Dan semua itu tidak lain adalah makhluk-makhluk Allah Swt. Tidak menutup kemungkinan juga tatkala membayangkan api neraka turut terbayang para penghuninya yang tentunya terdiri dari para pelaku maksiat maupun orang-orang kafir yang menyekutukan-Nya. Tanda tanya besarnya adalah, mengapa membayangkan orang shalih saat berzikir (di luar shalat) dihukumi haram bahkan syirik, sementara membayangkan orang shalih di dalam shalat dianjurkan ulama, bahkan membayangkan api neraka di dalam shalat juga dilakukan ulama ?!?.

Alhasil, “Segala perbuatan tergantung niat.” Apabila membayangkan orang shalih di dalam shalat dengan maksud menunjang kekhusyu’an ataupun merenungi bacaan shalat tidak dipersoalkan dalam syariat Islam, maka lebih-lebih membayangkan orang shalih saat berzikir (di luar shalat) dengan maksud bertawassul sekaligus mengeratkan hubungan batin dengan guru mursyid. Allah Swt. memerintahkan:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ” (المائدة: 35)

Wahai orang-orang, beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (bertawassullah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 35)

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ” (التوبة: 119)

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu (selalu) bersama orang-orang yang benar/shalih (secara lahir maupun batin).” (QS. at-Taubah: 119)

Satu hal yang tidak kalah penting untuk disadari baik-baik adalah bahwasanya zikir menyebut nama Allah sesungguhnya tidak dapat dijauhkan dari memandang wajah orang shalih. Hal ini sebagaimana diisyaratkan berkali-kali oleh Baginda Rasul Saw. dalam sejumlah riwayat bahwa para wali serta hamba-hamba pilihan Allah yang patut dijadikan guru adalah mereka yang apabila dipandang maka disebutlah nama Allah. Nah, berarti memandang orang shalih dapat menguatkan zikir kepada Allah, baik memandang secara langsung (dengan mata kepala) maupun memandang secara tidak langsung (dengan mata hati saat melakukan rabithah).

Karena itu, dalam Muktamar IX JATMAN Tahun 2000, telah diputuskan bahwa rabithah guru/mursyid sepanjang zikir hukumnya boleh, bahkan lebih utama. Salah satu referensi yang dipaparkan adalah keterangan dalam kitab Majmu’ah ar-Rasa’il yang menganjurkan rabithah di setiap saat dan dalam keadaan bagaimanapun, termasuk pada saat buang air sekalipun!. Rujukan lainnya adalah keterangan dalam kitab al-Bahjah as-Saniyyah yang mengimbau para salikin untuk senantiasa menekuni rabithah dan berkonsentrasi pada keruhanian dari shurah (gambar/rupa) guru hingga zat dan sifat mereka larut (fana’) di dalam shurah guru tersebut. (KH. A. Aziz Masyhur, Permasalahan Thariqah, cet. ke-3, Surabaya: Khalista, 2014, hlm. 210-211).

Penulis adalah Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur