Biarkan Tuhan Membentukmu di Malam-Malam Terakhir Ramadhan
Malam Terakhir Ramadhan

Patung adalah wujud diam dari harapan manusia akan keabadian. Ia tak bernyawa, namun menyimpan jejak penciptanya. Dari batu keras, ia dibentuk menjadi sesuatu yang bermakna. Dan justru dari diamnya itu, kita belajar: keindahan tak lahir dari kemudahan, tapi dari kesediaan dibentuk.
Patung tak menolak pahatan. Ia rela dilukai, digores, ditetak—hingga akhirnya menjadi sosok yang memesona. Begitu pula jiwa manusia. Agar menjadi mulia, ia harus rela dipahat oleh kesabaran, diuji oleh kesulitan, dan dibentuk oleh waktu.
Ramadan, khususnya malam-malam ganjil terakhirnya, adalah saat-saat pemahatan jiwa paling halus dan agung.
Ketika dunia tidur, dan langit turun membawa rahmat, seorang hamba berdiri dalam sunyi. Ia memohon dengan air mata, menyerahkan diri sepenuhnya: “Ya Allah, bentuklah aku kembali.
Luluhkan hatiku yang mengeras. Ampuni diriku yang retak. ”Malam-malam itu bukan sekadar kesempatan ibadah.
Ia adalah undangan Tuhan untuk kembali menjadi fitrah. Seperti batu yang bersedia dibentuk, hati yang berserah akan keluar dari Ramadan bukan sebagai patung, tapi sebagai insan baru—lebih jernih, lebih lembut, lebih bercahaya.
Patung tetap diam. Tapi manusia bisa berubah. Asalkan ia bersedia dipahat oleh tangan kasih sayang-Nya.
“Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan.”
Karena di dalamnya, kita tak sekadar berdoa—tapi dibentuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Kita tidak menjadi patung, tapi manusia yang jalan hidupnya diterangi cahayaNya. Insya Allah.. Amin! Tabik, (Nadirsyah Hosen, Fb,24 Maret 2025)