Kuliah Tasawuf ke-11: Urgensi Makrifah Yang Benar Agar Tidak Salah Paham

Oleh: KH. Moh. Zuhri Zaini (Pengasuh PP. Nurul Jadid)

Okt 24, 2024
Kuliah Tasawuf ke-11: Urgensi Makrifah Yang Benar Agar Tidak Salah Paham

Jika mengenal Allah dengan benar, pasti kita akan mencintainya. Untuk mencapai tingkatan mahabbah ini, kita harus mengenalnya dulu (makrifah). Sebab Allah itu Maha Baik dan banyak kebaikan-kebaikan yang diberikan kepda kita.

Sedangkan orang biasanya mencintai sesuatu yang baik dan yang membawa kebaikan pada dirinya. Maka apabila ada orang yang tidak mencintai Allah, apalagi membenci, ini perlu dipertanyakan imannya. Atau paling tidak, imannya tidak melalui upaya sendiri.

Kita bersyukur ditakdir menjadi orang beriman meskipun proses keimanan kita berasar dari ‘ikut-ikutan’. Karena kita lahir di keluarga muslim, dan kita sering tidak tahu alasannya mengapa kita memilih Islam. Yang penting ikut saja. Nah, yang seperti ini, biasanya tidak sampai pada tingkatan mahabbah.

Kita salah paham terhadap Tuhan, sebab orang ketika mengalami hal yang menyenangkan, itu selalu senang dan menyenangi orang yang menjadi sebab kesenangan kita. Ketika ada seseorang memberikan sesuatu pada kita, kita senang pada orang itu. Atau, melihat orang yang menyenangkan, baik secara fisik atau mental, kita menjadi sendang karena itu menyenangkan kita.

Dan sebaliknya, ketika ada orang yang tidak menyenangkan bagi kita, biasanya kita tidak senang bahkan benci. Padahal tidak selalu orang yang senang atau tidak senang pada orang lain, punya alasan yang benar. Misal kita senang pada orang lain karena akhlaknya bagus, nah kesenangan ini alasan yang benar karena akhlak baik merupakan sesuatu yang terpuji.

Tapi misalnya, kita menyenangi seseorang karena dia kaya, sebetulnya kesenangan kita pada orang itu bukan karena orangnya, tapi karena hartanya. Sehingga ketika hartanya hilang dan bangkrut, kita menjauh. Ini merupakan alasan yang tidak dibenarkan

Kepada Tuhan tentu melebihi dari kesenangan kita kepada sesama makhluk, kalau kita mengenalnya dengan baik. Tapi seringkali kita tidak mengenal, atau ketika mengenal tapi salah paham. Misalnya ketika kita dicoba dengan sakit, miskin, kita sering berkata, ‘kenapa Tuhan zalim pada saya?’ itu sama dengan ketika anak kecil sakit, kemudian oleh ayahnya dibawa ke dokter lalu hendak disuntik, tentu anak itu marah. Menganggap ayahnya itu zalim. Itu karena salah paham.

Jadi kalau kita bisa mengenalnya secara sempurna -meskipun kita tidak mungkin mengenalnya secara sempurna-, kita selalu menyempurnakan pengetahuan dan makrifah kita pada Tuhan, sehingga muncul kecintaan, takut (khasyah) dan lain-lain. Adapun kecintaan pada Allah tidak cukup merasa senang saja, tapi harus dibuktikan dengan bukti-bukti lain. Misalnya, kalau cinta pada Allah, maka apa saja yang ada kaitannya dengan Allah, kita menyenanginya juga.

Nabi saw. berdakwah itu karena dua hal, selain karena perintah Allah juga karena kasih sayang Nabi kepada umatnya. Sehingga Nabi tidak pernah lelah dalam berdakwah. Sebelum hijrah, Nabi dan para sahabat yang saat itu masih sedikit, dalam keadaan tertekan. Apalagi dua pendukung utamanya, yakni Siti Khadijiah dan Ali Bin Abi Thalib sudah wafat. Dengan wafatnya dua orang tersebut, tahun itu disebut dengan Amul Huzni (tahun kesedihan).

Dalam kondisi tertekan itu, Nabi mencari dukungan di luar Mekah. Nabi ke Thaif, tapi orang Mekah tau kalau Nabi ke Thaif untuk mencari dukungan. Akhirnya orang Mekah memberi tahu kepada orang Thaif, bahwa nanti kalau ada yang namanya Muhammad, jangan kau terima, atau dalam bahasa kita itu, “dia itu aliran sesat”.

Akhirnya ketika Nabi di Thaif, penduduk Thaif bukannya menyambut, tapi malah melempari batu. Sehingga wajah Nabi itu berdarah. Waktu itu ada malaikat penjaga gunung menawarkan kepada Nabi bagaimana kalau gunung itu diangkat dan ditimpakan pada orang Thaif. Tapi Nabi menolak dan mengatakan bahwa mereka melakukan seperti itu pada karena ketidaktahuan. Beliau berdoa, “Allahumahdi qaumi, fainnahu la ya’lamun (Ya Allah, berilah petunjuk kaumku, karena mereka dalam ketidak tahuan). Meski dizalimi oleh umatnya, Nabi tetap memiliki kasih sayang.

Jika kita melihat kasus pengeboman di Bali dengan alasan jihad bermaksud untuk memberantas kemaksiatan, sesungguhnya itu termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan. Karena untuk memberantas kemaksiatan dengan cara pengeboman itu tidak memiliki empati. Memang mereka berbuat kemaksiatan, tapi kalau orang yang berbuat maksiat dibunuh, kemudian mati, mereka tidak memiliki kesempatan untuk bertaubat. Jelas, memasukkan umat manusia ke dalam neraka bukanlah tujuan diutusnya Nabi.

Jika Memang Islam Mengajarkan Kasih Sayang, Mengapa Harus Ada Perang

Perang yang dilakukan Nabi pada dasarnya bersifat defensif, bukan agresif. Berperang dalam rangka membela diri, bukan untuk menyerang. Bila tidak diserang, tidak boleh berperang. Katika Nabi diserang oleh orang kafir, barulah beliau berperang. Sama halnya ketika ada ular yang menyerang kita, maka kita boleh membunuh ular tersebut.

Sebab itu, kita berupaya menyempurnakan Makrifah (pengetahuan) kita kepada Allah dan Nabi dengan cara mencintai Allah dan Nabi, mencintai perbuatan hal-hal yang disukai oleh Allah dan Nabi (perkara sunah), juga orang-orang yang disukai Nabi, sebagaimana doa seperti ini :

اللهم اني اسألك حبك وحب نبيك وحب اوليائك

Artinya: Ya Allah aku mohon kepadamu mencintaimu, mencintai nabimu mencintai walimu.

Lalu siapa wali Allah?

Wali Allah adalah orang yang selalu dikasihi oleh Allah dan akhirnya dilindungi oleh Allah. Sehingga ketika kita menzalimi wali itu, meskipun si wali diam saja, Allah lah yang tidak terima.

Mengapa Allah sampai mencintai si wali tersebut? Karena si wali mencintai Allah yang dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diridlai oleh Allah. Jadi cinta itu harus dibuktikan dengan perbuatan. Sehingga kalau kita cinta Allah dan Nabi, maka kita perlu lakukan perintah-perintahnya, menjauhi larangannya dan mengerjakan perbuatan yang meski tidak diperintahkan tapi disenangi oleh Nabi.

Sama halnya kita, kalau ingin disenangi seseorang, maka kita melakukan perbuatan yang disenangi orang tersebut. Meskipun awalnya orang itu tidak senang dengan kita, tapi lama-lama bisa senang. Memang senang itu ada macam-macam. Ada yang berdasarkan nafsu, seperti mencintai seseorang karena fisik. Padahal, mencintai fisik itu tidak abadi, karena orang bisa bosan dan fisik itu bisa berubah. Apalagi orang itu memiliki akhlak yang tidak baik, meskipun cantik, tidak akan disenangi.

Mencintai sesuatu itu harus berdasarkan sesuatu yang benar. Kalau berdasarkan perilaku, kesalihan, kedekatan kepada Allah, maka itu mencintai yang benar. Jika kita mencintai orang yang dicintai Allah, akhirnya kita akan dekat juga dengan Allah. Jika kita belum bisa dekat dengan Allah, maka kita dekat dengan walinya Allah. Lalu apabila orang yang dekat dengan Allah sudah wafat, seperti Nabi, kita bisa ekspresikan cinta itu dengan banyak cara, contohnya Maulidan.

Ada juga cara menunjukkan cinta kepada Nabi yaitu dengan memperbanyak membaca shalawat. Selain perintah, shalawat juga merupakan ungkapan cinta kepada Nabi. Sementara cinta yang lebih utama itu mengikuti ajaran dan sunah-sunah Nabi sesuai dengan kemampuan kita. Sebab banyak orang yang melakukan sunah Nabi, tapi tidak didasari oleh cinta.

Ketika cinta seseorang sangat kuat, jangankan melihat orangnya, melihat fotonya saja sudah senang. Melihat bajunya saja sudah senang. Dan apapun yang berkaitan dengannya, pasti membuatnya senang. Begitupula dengan mencintai Allah, hal-hal yang terkait dengan Allah, kita akan menyenanginya.

Cinta dan Benci Karena Allah

Ada yang disebut cinta karena Allah dan benci karena Allah. Itu semua termasuk tanda-tanda iman. Jika kita sudah mengetahui indikator mencintai karena Allah, lalu bagaimana dengan membenci karena Allah?

Membenci karena Allah artinya benci dengan sesuatu yang tidak disukai oleh Allah. Misalnya orang yang mabuk, orang bermaksiat, kita juga harus membencinya karena Allah membencinya. Meskipun kalau kita ikut nafsu, bisa jadi kita menyukainya.

Kalau kita benci kepada perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat, kita harus bisa memilih dan memilah antara dosa dan pelakunya. Pelakunya tetap harus disayang, sedangkan yang dibenci adalah perbuatannya. Hanya saja cara menyayanginya harus tepat.

Cara menyayangi orang yang berbuat maksiat adalah menghentikan kemaksiatannya dan memberi nasihat. Ketika orang berbuat maksiat, ia tidak sadar sedang mencelakakan dirinya. Dan kita harus mengingatkannya, tapi tetap harus dengan cara yang bijak. Jangan ketika ada orang yang mabuk, kita hentikan perbuatan orang itu dengan dimarahi lalu kita keluarkan dalil-dalil keharaman mabuk. Ketika orang mabuk diperlakukan demikian, ia akan marah. Orang yang berdakwah harus tahu, kapan waktunya berbicara dan kapan waktunya harus diam.

Mahabbah, Mawaddah dan Rahmah

Dalam pernikahan ada istilah yang disebut mawaddah wa rahmah. Mawaddah itu cinta karena kelebihannya, misalnya ada orang yang tampan atau cantik. Mawaddah sifatnya fluktuatif, bisa naik turun. Seperti halnya iman, bisa berkurang dan naik.

Sementara termasuk tanda-tanda iman yakni adanya mahabbah dan rahmah. Tidak cukup berbekal mahabbah saja tapi harus dilengkapi dengan rahmah, yaitu kasih sayang. Mahabbah identik dengan kelebihan. Misalnya pasangan suami istri yang parasnya tampan atau cantik, atau pintar, itu Namanya mahabbah atau mawaddah.  Tapi itu saja tidak cukup, sebab kesenangan kita terhadap sesuatu pasti memiliki rasa bosan. Misalnya kita suka gulai. Kalau kita terus-menerus makan gulai, kita pasti ingin beralih ke yang lain. Dalam kehidupan seperti itu.

Dalam rumah tangga rasa bosan itu ada. Makanya mawaddah itu perlu dijaga. Kemudian dilengkapi dengan rahmah. Rahmah itu menyayangi karena kekurangan, bukan karena kelebihannya. Misal ada orang sakit parah, tinggal tulang dan kulitnya, kita kasihan. Itu namanya rahmah. Rahmah bukan cinta, tapi kadang mawaddah dan rahmah itu berkumpul. Apalagi ketika di awal-awal pernikahan.

Jadi mahabbah itu dimulai dari pengenalan. Semua itu dimulai dari pengenalan. Ada kata-kata bijak, "tak kenal maka tak sayang". Dan kenal itu harus benar, jangan salah paham. Sebab kadang-kadang kita salah paham. Misal ada orang berpakaian berantakan, kadang kita salah paham lalu menganggapnya sebagai preman. Ada yang pakai surban dan tasbih, ternyata penipu. Jadi kita jangan sampai tertipu dengan penampilan. Tapi atas dasar ini, jangan pula kita berpenampilan seenaknya di depan orang. Hal ini juga dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap orang. Oleh karena itu, penceramah yang memakai pakaian yang bagus itu bukan karena ingin dipuji, tapi memang karena ingin menyenangkan orang.

Penampilan itu harus menyenangkan. Nabi itu sosok yang sangat rapi, rambutnya disisir. Tuhan sangat senang pada orang yang rapi. Suatu ketika sahabat bertanya pada Nabi, “Ya Rasul, bagaimana dengan orang yang ingin pakaiannya bagus. Kemana-mana pakai jas?”

Kita jangan salah paham dan buruk sangka dengan menganggap mereka orang yang ingin dipuji dan gila hormat.

Lalu, Nabi menjawab, "sesungguhnya Allah itu indah. Suka pada keindahan".

Kalau kita memperindah penampilan kita agar dicintai Tuhan dan manusia, tentu ini baik. Dicintai orang itu lebih baik daripada dibenci orang. Tentunya begitu. Asal tidak ada niat untuk menipu. Yang tidak boleh adalah kalau disenangi lalu dimanfaatkan untuk menipu.

Di antara indikasi menyenangi Nabi adalah menyenangi dan mencintai keturunannya. Jadi kalau mengaku senang pada Nabi, seharusnya kita juga menyenangi keturunan Nabi, sebagaimana dalil dalam Al-Qur'an.

قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ ۗ

Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".

Kerabat itu bisa keluarga dan keturunan Nabi, termasuk juga sahabat. Sebab anak dalam keturunan Nabi itu ada dua macam. Ada putra biologis dan putra ideologis. Putra biologis adalah keturunan Nabi secara biologis, seperti Sayyidina Husein, dan lain-lain. Adapun putra ideologis, yakni para santrinya Nabi, termasuk para sahabat. Kalau kita mencintai Nabi, kita juga cinta ahlul bait dan para sahabat. Sebab saat ini ada orang yang membenci ahlul bait, karena mempermasalahkan nasab. Alangkah baiknya kita tidak perlu mengikuti mereka, karena kita tidak tahu.

Komentar Pengasuh PP Nurul Jadid Terhadap Keabsahan Nasab Baalawi

Ketika ditanya dalil tentang apakah Ba’alawi itu termasuk keturunan Nabi, Kiai Zuhri menjawab bahwa beliau tidak tahu dan tidak memiliki kapasitas tentang itu. Tapi menurut perkiraan beliau, Ba’alawi memang keturunan Nabi. Mengapa?

Para sesepuh kita, kiai-kiai kita sejak dahulu mencintai para habaib. Hanya sekarang ini ada yang membenci. Ini aneh, meskipun memang tidak semua habib itu menyenangkan. Sama halnya tidak semua muballigh itu menyenangkan. Tapi ini bukan alasan untuk membenci, masih ada pilihan dengan tidak menonton dan tidak mendekat.

Para sesepuh dan guru-guru itu mencintai habaib, sekalipun tentu tidak semuanya baik. Tapi kalau menurut Kiai Zuhri Zaini pribadi, habaib setidaknya istiqamah shalat lima waktu. Kita tidak pernah menjumpai habib yang tidak shalat. Kalau selain habib yang tidak shalat itu banyak. Yang mengaku santri, ustaz, orang yang belajar filsafat sampai tidak shalat, itu banyak.

Kalau ada habib yang nyeleneh, ingatkan saja. Kalau kita berani, kita ingatkan. Sama dengan kiai, kalau ada yang nyeleneh dan kita berani untuk mengingatkan, ingatkan saja. Masalah diterima atau tidak, itu bukan urusan kita. Itu urusan dirinya dengan Tuhan.

Selain itu para habaib itu putra biologis, sementara yang menerima ajaran Nabi adalah putra ideologis. Jika ada habib yang alim, gemar berdakwah, artinya dia putra biologis sekaligus ideologis.

Tidak hanya pada habaib, ada pula orang yang membenci sahabat yang notabene merupakan putra ideoligis Nabi. Mereka membeda-bedakan sahabat. Mereka hanya mengakui 3 sahabat saja, sedangkan yang lain tidak dianggap. Bahkan ada yang menganggap para sahabat itu murtad. Padahal kita mengenal Islam sebab jasa para sahabat yang diteruskan oleh para ulama.

Jadi mencintai Allah, harus mencintai Nabi. Mencintai Nabi harus mencintai pewaris Nabi, mencintai ajaran dan sunah-sunahnya. Tentu cinta bukan hanya menyatakan, tapi juga harus dibuktikan dengan perbuatan, meskipun pernyataan cinta itu dianjurkan juga oleh Nabi, asalkan Ikhlas dan bukan pura-pura.

Penutup

Itulah kelanjutan tentang mahabbah. Kita harus berupaya untuk mencapai itu dengan berusaha mengenal lebih banyak kepada Allah. Kemudian dengan banyak menyebut nama-Nya. Sebab, biasanya orang yang senang terhadap sesuatu, akan lebih sering menyebut yang disenangi.

من أحب شيأ أكثر من ذكره

Barangsiapa mencintai sesuatu, pasti akan banyak menyebutnya.

Disarikan oleh: Alfin Haidar
Editor: Khoirum Millatin

Jatman Online Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN) merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran at-thoriqoh al-mu'tabaroh.