Tasawuf dalam Pilar Sunnah (2)

Agustus 30, 2023 - 04:01
 0
Tasawuf dalam Pilar Sunnah (2)

Tasawuf sebagai Ilmu Akhlaq

Dalam keadaan dunia yang telah menyeret manusia ke dalam kesombongan dan keangkuhannya, maka tasawuf memiliki sebuah peran penting untuk mengajak kembali manusia ke jalan Allah (Qs.[1]:6). Totalitas manusia bukan pada dirinya sendiri, karena adaNya. Diri manusia bahkan bukanlah apapun dan siapapun.

Untuk menghadapi kerasnya hati, menundukkan ke-aku-an, maka tasawuf menjadi ilmu yang wajib dipelajari menurut Syaikh Abdul Qadir Isa mengutip pendapat Ibn Abidin dan juga pendapat Syaikh Abu Hamid al-Ghazali (Isa, 2011).

Imam as-Syaikh Qusyairi an-Naisabury menjelaskan pula bahwa mempelajari hakikat tasawuf haruslah dikukuhkan dengan syariat, tanpa itu tidak akan menjadi baik (an-Naisabury, 2016). Tasawuf sendiri secara historis tidaklah berasal dari luar ajaran Islam, ia berasal dari masa Kenabian dan Sahabat. Ia memiliki dasar Sunnah dan hadits serta praktik para sahabat (Sholikhin, 2009).

Dengan demikian tasawuf berasal dari tradisi keilmuan Islam, ia bukanlah sebuah jalan kesesatan sebagaimana tuduhan yang acapkali muncul. Tasawuf berupaya mengajarkan akhlaq manusia yang berbudi luhur, bahkan ia menjadi ilmu yang wajib dipelajari menurut pendapat Syaikh Abdul Qadir Isa tersebut di atas.

Tasawuf menjadi sebuah ilmu yang dengannya manusia dituntun menuju pada sebuah kondisi paripurna dalam hubungannya dengan Allah selaku Zat Yang Maha Tunggal dalam hablum minallah dan dengan sesama manusia dalam hubungan hablum minannas. Manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah Tuhan yang tidak membutuhkan siapapun. Ia tetaplah makhluk walau dengan segenap kemuliaan yang disandangnya, tetaplah ia manusia.

Maka tasawuf mengajarkan sebuah sistem etik bagaimana manusia membangun sebuah relasi kemanusiaan yang bersandar pada kemuliaan akhlaq. Manusia diharapkan mengobati akhlaqnya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, marah, sombong, angkuh, dorongan nafsu, dan lainnya, dan demikian ia telah fana dari keburukan akhlaq (Naisabury, 2016).

Makna Islam sendiri adalah ketertundukan dan penyerahan diri kepada Allah, sedangkan makna iman adalah penerimaan hati (al-Ghazali, 2014). Keduanya mengajarkan kepada manusia untuk tunduk penuh pada keagungan Allah. Bahwa manusia bukan penuh dengan kemuliaan, melainkan juga memiliki kesalahan.

Setiap keagungan yang dimiliki manusia tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan berasal dariNya. Hati manusia layaknya menerima segala keagunganNya, bahwa hanya ada Dia sekaligus tunduk padaNya. Ilmu, kekayaan, kekuasaan, keagungan manusia adalah bagai cahaya yang berasal dari-Nya. Manusia itu hanya mendapat limpahanNya, ia sendiri tidak bercahaya. Apa yang hendak kita banggakan dihadapanNya?

Manusia yang merasakan takut kepadaNya, menangis karena takut padaNya dan mencurahkan segala pada Allah (al-Ghazali, 2013). Totalitas realitas hidup manusia hanyalah pada Allah, ia sendiri hanyalah bayangan lemah dihadapanNya. Bahwa manusia yang diciptakan dari segumpal saripati tanah lalu mengapa ia menjadi sombong, ingkar, dan menjadi musuh yang nyata (Qs.[36]:77)? Maka perlu kembali memahami hakikat manusia hanyalah ketiadaan, non eksistensi, dihadapanNya.

Manusia hanyalah wujud-wujud ketiadaan, yang kelak akan menghilang layaknya bayangan yang akan tenggelam ketika matahari terbenam. Ia yang dulu bangga dengan kekayaan serta kekuasaan juga kebesaran kelak akan kembali menghadap padaNya dalam bentuk ketiadaan dan kematian.

Tasawuf berfokus pada perilaku akhlaq, berupaya untuk membentuk ulang karakter manusia untuk kembali mendekatkan hatinya kepada Allah. Manusia perlu membentuk ulang, mengingat bahwa ia adalah makhluk yang dengan mudah menjauh dari cahayaNya. Manusia adalah makhluk yang acapkali menganggap dirinya adalah wujud mulia, ialah yang memiliki keagungan dengan rentetan kedudukan, gelar, serta jabatan yang dimilikinya. 

Ia terlupa bahwa manusia adalah wujud-wujud yang lemah, ia yang sengaja atau tanpa sengaja telah melambungkan dirinya dengan segala kebesarannya. Ia lupa bahwa segala keagungan adalah milik Allah, segala kebesaran dan segala kemuliaan adalah milikNya. Seorang pelaku tasawuf adalah orang-orang yang membebaskan diri dari hawa nafsunya dengan menemukan ketenangan bersama Allah (Hujwiri, 2015).

Manusia antara Tubuh dan Ruh

Manusia adalah bentuk kreasi Allah, ia diciptakan sebagai bentuk kehendakNya. Wujud fisik yang ada dalam dirinya hanyalah ketiadaan, bahwa fisik tubuhnya tidak ditentukan oleh adanya fisik. Tubuh jasmani fisik ditentukan oleh yang ada dibalik fisik, yaitu non-fisik.

Bahwa ruh yang ada dalam dirinya yang menentukan eksistensinya, ketika ruh yang ada dan melekat dalam dirinya hilang, maka tubuhnya menjadi tak berarti sama sekali. Ia hanya akan menjadi jenazah yang tak lagi memiliki arti dan hanya layak untuk dikubur dalam tanah. Lalu kemanakah keagungan yang selama ini selalu ia banggakan?

Fisik adalah hal yang penting, layaknya hukum-hukum syariah yang wajib dipatuhi oleh manusia. Fisik tidak ditinggalkan karena ia begitu penting sama halnya non-fisik dalam tubuh manusia. Hukum syariah menjadi dasar pijakan menuju pada tasawuf, sehingga tasawuf selalu berpijak pada hukum syariah baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak menyimpang darinya.

Fisik tetap dibutuhkan dan memiliki arti penting sebagai tempat bernaungnya segala yang non fisik. Hukum-hukum syariah adalah simbol fisik, dan ia wajib tetap dihadirkan dan dijalankan. Hukum fisik ini akan memiliki makna yang jauh lebih mendalam dengan hadirnya tasawuf sebagai bentuk non-fisik untuk menyadarkan manusia akan adanya Allah. Bahwa dia ada tanpa ada yang menandinginya dan menyerupainya, Dia yang tak terjangkau oleh akal manusia sekalipun (Jailani, 2011).

Ruh dan tubuh fisik beserta akal membentuk struktur manusia yang utuh, maka syariah dan tasawuf juga sebuah kesatuan yang tidak dapat ditinggalkan. Tidak mungkin manusia dapat melangkah dan berperan dalam kehidupannya jika tidak ada tubuh? Demikian pula jika manusia hanya memiliki tubuh tanpa ruh, ia tidak juga tidak akan berperan sebagai manusia. Maka syariah dan hakikat (tasawuf) adalah sebuah kesatuan yang dibutuhkan guna membimbing perilaku manusia.

Ketika syariah hanya dijalan tanpa tasawuf, ia akan memunculkan perilaku berilmu dan berhukum tanpa akhlaq. Berakhlaq dan memahami hakikat tanpa bersyariat ia akan menjadi zindiq atau menyimpang dari ketentuanNya. Keduanya penting bagai tubuh fisik (syariat) dan ruh (tasawuf hakikat). Tasawuf merupakan intisari pekerti seorang hamba dalam menjalankan hukum-hukum syariat (al-Taftazani, 2003: 16).     

Bahwa adanya Allah adalah wujud yang sesungguhnya, dan manusia hanyalah ketiadaan. Yang ada dan yang utama hakikatnya hanyalah Allah, maka keagungan macam apa yang hendak kita tunjukkan? Ketidaksempurnaan meliputi segala yang ada dalam diri manusia, sedangkan bagi Allah ketidaksempurnaan adalah hal yang mustahil melekat padaNya (al-Kurdi, 2013).

Allah begitu Maha Sempurna, dan segalanya ada karena adaNya (Qs.[52]:35), dan kesadaran non fisik dengan meruntuhkan dinding dan pilar-pilar kesombongan, dan tasawuf bertujuan mengembalikan manusia di dalam jalanNya.

Bertasawuf tidak berarti menjauhkan diri dari kehidupan manusia, bertasawuf tidak bermakna apatis, melainkan justru memuncukan kepedulian terhadap sesama manusia. Bertasawuf adalah bentuk dari upaya untuk membersihkan hati dari kecintaan yang teramat dalam atas tarikan nafsu bendawi dunia.

Bertasawuf justru memunculkan kepedulian kepada manusia yang menderita dan membutuhkan. Dengan bertasawuf seorang manusia berupaya untuk membentuk sebuah tingkat moralitas yang tinggi. Tasawuf membentengi diri dari hasrat dan ego memiliki, menundukkan dan menguasai dunia yang bersifat fana. Tasawuf menjadi menarik untuk dilaksanan, mengingat bahwa manusia postmodern yang kini perlahan semakin asing dengan nilai-nilai akhlaq mulia.

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (Qs. Al-Kahfi [18]: 28).

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum, Universitas al-Azhar Indonesia)