Menilik Jalan Sufi dari Kejauhan

Dikemukakan dalam sebuah media cetak Mesir, yakni harian Aqidati (edisi 25 Februari 2014), bahwa kaum sufi terdiri dari tujuh tingkatan, yaitu: Thalibun, Muridun, Salikun, Sa’irun, Tha’irun, Washilun dan Quthb. Bila diringkas menjadi dua tingkatan saja, maka Washilun Kamilun (sudah mencapai kesempurnaan) dan Salikun Thariq al-Kamal (masih menempuh perjalanan menuju kesempurnaan). Dari golongan Washilun sendiri ada yang kemudian terjun ke khalayak umat untuk menuntun perjalanan menuju Allah, yaitu para Masyaikh. Ada pula yang tidak mengurusi hal itu dikarenakan asik tenggelam dalam lautan fana’. Sementara dari golongan Salikun ada yang semata-mata mengharap ridho Allah Swt.

Agustus 30, 2023 - 05:32
 0
Menilik Jalan Sufi dari Kejauhan

Dikemukakan dalam sebuah media cetak Mesir, yakni harian Aqidati (edisi 25 Februari 2014), bahwa kaum sufi terdiri dari tujuh tingkatan, yaitu: Thalibun, Muridun, Salikun, Sa’irun, Tha’irun, Washilun dan Quthb. Bila diringkas menjadi dua tingkatan saja, maka Washilun Kamilun (sudah mencapai kesempurnaan) dan Salikun Thariq al-Kamal (masih menempuh perjalanan menuju kesempurnaan). Dari golongan Washilun sendiri ada yang kemudian terjun ke khalayak umat untuk menuntun perjalanan menuju Allah, yaitu para Masyaikh. Ada pula yang tidak mengurusi hal itu dikarenakan asik tenggelam dalam lautan fana’. Sementara dari golongan Salikun ada yang semata-mata mengharap ridho Allah Swt. dan ada pula yang mengharap kebahagiaan di akhirat dengan kenikmatan-kenikmatan surga. Meski beraneka ragam dan penuh dinamika, tingkatan-tingkatan sufi tersebut sebetulnya berdiri di atas tiga landasan pokok, yaitu zikir, shalawat dan cinta Ahlul Bait.

Disebutkan pula bahwa pondasi utama tasawuf adalah mahabbah (cinta), karena dengan mahabbah itulah seorang peniti jalan sufi tertuntun dalam menjalankan ketaatan berupa ‘ibadah (menyembah) kepada Allah, serta ketaatan berupa ittiba’ (mengikuti petunjuk) kepada para mursyid selaku penuntun jalan menuju Allah. Itulah sebabnya mengapa tasawuf bediri tegak di atas zikir, shalawat dan cinta Ahlul Bait, sebab zikir menjadi wujud mahabbah kepada Allah yang melahirkan ‘ibadah, shalawat menjadi wujud mahabbah kepada Rasulullah yang melahirkan ittiba’, sedangkan cinta Ahlul Bait menjadi wujud mahabbah kepada para pewaris Rasul yang juga melahirkan ittiba’ maupun iqtida’ dan ta’assi. Maka, mahabbah itulah yang menjadi batu pertama sebuah bangunan keimanan, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

“مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ” (المائدة: 54)

Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 54)

Memang benar, dari kalangan pegiat tasawuf terdapat sejumlah oknum tak bertanggung jawab yang menyimpang dari ajaran murni tasawuf, sehingga mencemarkan nama tasawuf itu sendiri. Akibatnya, sulit dipercaya bahwa seorang akademisi, politisi, dokter, seniman ataupun pengusaha dapat disebut sufi. Padahal, jika kita melirik para aktivis tasawuf dan pengasuh thariqah di Mesir, misalnya, maka mayoritas mereka sukses meraih pendidikan tinggi serta berperan penting dalam menghadirkan kemajuan besar di berbagai bidang. Ya, tidak sedikit juga yang teridentifikasi miring dan menyesatkan, namun fenomena itu tidak sedikitpun menodai kemuliaan tasawuf. Sama halnya dengan adanya sejumlah koruptor dari kalangan umat Islam, tentu sedikitpun tidak merepresentasikan ajaran mulia agama Islam.

Senada dikatakan oleh jurnalis kenamaan Mesir, Adel Hammouda, dalam banyak artikelnya bahwa sufi seringkali diidentikkan dengan kondisi-kondisi yang memprihatinkan, semisal miskin, bodoh, pasif, semrawut, kumuh, berwajah kecut, tidak mau bekerja, enggan bermasyarakat, suka meminta-minta, sibuk dengan hal-hal mistis dan semacamnya. Adel Hammouda pun mengutarakan kekaguman luar biasanya ketika dipertemukan dengan seorang businessman yang sangat produktif, bahkan memimpin sebuah perusahaan besar yang sukses mengelola proyek-proyek pengembangan sumber daya, sehari-harinya murah senyum, berpenampilan modern, tidak bersorban di kepala, tidak berjenggot panjang dan tidak jarang pula memakai celana, jas dan dasi. Tapi di waktu yang bersamaan, menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan sempurna, menjadi tokoh sufi terkemuka, bahkan mengimami sebuah thariqah ternama dan diikuti ribuan jamaah dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari kalangan tokoh agama/ulama, dan berhasil mencetak mursyid-mursyid handal yang mendakwahkan tasawuf dengan dasar ilmu yang kokoh serta akhlak/budi pekerti yang mulia.

Berbicara tentang tasawuf dan sufi serta aliran-aliran tarekatnya, berikut ajaran-ajaran esensialnya dan juga fakta-fakta fenomenalnya dari masa ke masa, nyaris tidak ada habis-habisnya. Tak heran, Grand Syekh Thariqah Dusuqiyah Muhammadiah, Maulana Sayyid Mukhtar bin Ali bin Muhammad ad-Dusuqi al-Maliki al-Husaini (1950-2020), pernah menuturkan:

إِنَّ الصُّوفِيَّةَ كِتَابٌ ضَخْمٌ لَمْ نَقْرَأْ مِنْهُ سِوَى السَّطْر الْأَوَّل، وَطَرِيقٌ طَوِيلٌ لَمْ نَقْطَعْ مِنْهُ سِوَى الْخطْوَة الْأُولَى، وَخيمَة هَواء عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ لَمْ نَسْتَنْشِقْ مِنْهَا سِوَى قَطَرَات النَّدَى اسْتَنْشَقْنَاهَا فِي فَجْرِ الْحُبِّ وَالْإِيمَانِ. (جريدة عقيدتي المصرية، عدد 25 فبراير 2014)

“Sungguh, tasawuf adalah kitab yang sangat tebal, dan kita baru mengeja baris pertamanya saja. Tasawuf adalah perjalanan yang sangat panjang, dan kita baru menempuh langkah awalnya saja. Tasawuf adalah tenda udara yang lebarnya seluas langit dan bumi, dan kita baru menikmati tetesan embun yang melekat di permukaannya saja. Namun sungguh indah nan menyegarkan, bila kita menghirupnya di fajar cinta dan keimanan.” (Harian Aqidati Mesir, edisi 25 Februari 2014).

Penulis adalah Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur.