Pertemuan Sufi II di Mesir Tentang Hukum Maulid dan Pengertian Bid’ah

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi Oktober 2005, Pertemuan Sufi II (al-Multaqa ash-Shufi ats-Tsani) telah berlangsung sukses di Markas Pusat Thariqah Azmiyah Kairo untuk mengupas tuntas hukum perayaan maulid serta pengertian bid’ah.

 0
Pertemuan Sufi II di Mesir Tentang Hukum Maulid dan Pengertian Bid’ah

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi Oktober 2005, Pertemuan Sufi II (al-Multaqa ash-Shufi ats-Tsani) telah berlangsung sukses di Markas Pusat Thariqah Azmiyah Kairo untuk mengupas tuntas hukum perayaan maulid serta pengertian bid’ah. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi, itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:

1. Niat Hati Siapa Tahu.

Rasulullah Saw. bersabda:

“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيا يُصِيْبُهَا أَو امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ” (متفق عليه)

Amalan-amalan itu bergantung pada niat. Dan setiap orang itu akan menerima berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau menikahi seorang wanita, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menerangkan bahwa suatu perbuatan baru dikategorikan sebagai sebuah amal shalih adalah apabila diniatkan. Jika tidak diniatkan, maka ia tidak lagi disebut ‘amal yang mendatangkan pahala, melainkan sebatas fi’il yang tidak bernilai ibadah di mata Allah Swt. Itulah perbedaan antara ‘amal dan fi’iI, dan niat lah yang membedakannya.

Selanjutnya, niat seseorang hanya Allah yang mengetahuinya, sehingga tiada siapapun yang boleh menghukumi niat seseorang kecuali Allah. Tidak pula niat seorang hamba dapat mengganggu niat hamba lainnya, sebagaimana niat seorang sahabat yang berhijrah dari Makkah untuk mengejar Umu Qais yang dicintainya tidak dapat menodai niat sahabat lain yang berhijrah semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya.

Begitu pula orang-orang yang mengadakan sebuah perkumpulan (ihtifal) dengan mengusung tema peringatan maulid. Apa gerangan niat mereka? Dan apa pula niat orang-orang yang datang menghadirinya? Hanya Allah Swt. Yang Maha Mengetahuinya. Jika mereka datang dengan niat berzikir, berziarah, bersedekah, bersilaturrahim dan mengenal lebih jauh sejarah, ilmu, akhlak serta ajaran Baginda Rasul Saw. maka tentu saja menjadi mulia di sisi Allah, dan kemuliaannya itu tidak terganggu sedikitpun oleh niat orang lain yang datang untuk berbisnis belaka ataupun melakukan pelanggaran dan kemaksiatan.

Orang yang melempari para peserta maulid dengan tuduhan bid’ah dan syirik tanpa mengetahui terlebih dahulu niat mereka menghadirinya, sama halnya dengan seorang dokter yang memvonis pasiennya mengidap suatu penyakit kronis tanpa memeriksanya terlebih dahulu, misalnya dengan mengambil darah, urine dan sebagainya. Akan tetapi, yang terjadi sebetulnya lebih memprihatinkan daripada itu. Mereka tidak hanya menuduh syirik dan bid’ah, tapi juga berupaya menyusupkan niat-niat buruk ke dalam hati umat, bak seorang penjahat menyusupkan narkoba ke dalam tas kawannya lalu melaporkan kawannya itu ke pihak kepolisian. Syukurnya, Allah Swt. Maha Mengetahui niat hamba-hamba-Nya, “Tidakkah Yang Maha Menciptakan itu Maha Mengetahui?” (QS. al-Mulk: 14), sehingga rekayasa apapun yang dilakukan para pembenci maulid terhadap niat umat tidak akan berhasil memperdaya keadilan dan kebijaksanaan-Nya Swt.

Pada masa dahulu, Zunnun al-Mishri (179-245 H.) pernah diklaim kafir oleh ulama-ulama setempat secara ijma’. Ketika hal itu disampaikan kepada beliau oleh sang hakim dan dimintai tanggapannya, beliau berkata: “Pendapat satu orang tidak akan sebanding dengan pendapat banyak ulama.” “Berarti engkau membenarkan keputusan mereka bahwa engkau kafir?” tanya hakim. “Bagaimana aku dapat membenarkan ataupun menyalahkan sesuatu yang terkait dengan isi hatiku, sementara isi hatiku hanya Allah yang Maha Mengetahuinya?” sahut Zunnun dengan tenang. Akhirnya sang hakim berkata terheran-heran: “Aneh, engkau yang memiliki hati saja tidak mengetahui isinya, lantas bagaimana para pengaku ulama itu dapat mengetahuinya? Sungguh, jika orang seperti engkau ini kafir, maka siapakah di muka bumi ini yang beriman?”.

2. Ada Gula Ada Semut.

Sebelum digelarnya hijrah dahulu, Ka’bah dikelilingi patung-patung berhala yang disembah kaum musyrikin. Rasulullah Saw. beserta para sahabat tetap melakukan tawaf dan shalat di sana tanpa memperdulikan adanya berhala-berhala tersebut. Selain sulit dihindari karena umat Islam belum sejaya pasca hijrah, kemuliaan Ka’bah pun tidak ternodai sedikitpun oleh keberadaan berhala-berhala tersebut.

Demikian pula dalam acara perayaan maulid, terkadang terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan, semisal pencurian, perkelahian, ketidaktertiban dan lain sebagainya. Hal itu bagai sekumpulan lalat yang mengerumuni daging kambing yang baru saja disembelih. Lalat-lalat itu tidak pernah diundang oleh si penyembelih, tapi tidak mudah juga untuk dihindarkan. Namun yang pasti, kehadiran lalat-lalat itu tidak berdampak apapun pada hukum memakan daging tersebut alias tidak menjadikannya haram untuk dimakan. Sama halnya dengan Ka’bah di masa lampau, keberadaan patung-patung di sekitarnya tidak berdampak apapun terhadap kemuliaan Ka’bah serta keabsahan ibadah umat yang menghadap kepadanya.

3. Definisi Bid’ah Yang Tepat.

Selanjutnya, daging kambing tersebut dalam perumpamaan di atas tentu saja halal dimakan, bagaimanapun proses pengolahannya dan bagaimanapun cara menyantapnya. Apakah direbus, digoreng, dipanggang, dibakar, lalu dimakan di waktu siang ataupun malam, di atas piring, mangkok ataupun nampan, dengan tangan ataupun sendok, sendiri ataupun beramai-ramai, dan seterusnya. Semua itu hukumnya halal, sebab Islam telah menghalalkan daging kambing tanpa menyebutkan ketentuan khusus terkait proses pengolahan maupun cara memakannya.

Di sinilah kita wajib memahami dengan cermat bahwa di antara ibadah-ibadah yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya itu ada yang bersifat muqayyadah dan ada pula yang bersifat muthlaqah. Ibadah muqayyadah adalah ibadah yang tata caranya telah diikat dan dibatasi dengan ketentuan khusus, seperti ibadah shalat yang telah ditentukan waktu, arah dan jumlah rakaatnya, maka tidak boleh dilonggarkan dengan sebebasnya, semisal shalat Subuh empat rakat, tidak menghadap kiblat ataupun mendahulukan ruku’ daripada sujud.

Sebaliknya, ibadah muthlaqah adalah ibadah yang tidak diikat atau dibatasi dengan cara-cara tertentu, semisal ibadah zikir yang boleh dilakukan kapanpun, di manapun dan dalam keadaan apapun. Maka tidak boleh seseorang membatas-batasinya seraya mensyaratkan halalnya zikir hanya dengan cara duduk saja, kemudian sendiri (tidak berjamaah) dan tanpa mengeraskan suara!.

Dengan demikian, maka bid’ah yang dhalalah (sesat) adalah:

إِطْلَاقُ مَا قَيَّدَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَوْ تَقْيِيدُ مَا أَطْلَقَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ.

“Melonggarkan apa-apa yang telah dibatasi oleh Allah dan Rasul-Nya, ataupun membatasi apa-apa yang telah dilonggarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Definisi bid’ah lainnya adalah:

الْإِجْتِهَادُ فِيمَا وَرَدَ فِيهِ نَصٌّ إِلَّا لِفَهْمِ النَّصِّ.

“Berijtihad dalam hal-hal yang telah ditetapkan hukumnya secara nash (dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah), kecuali untuk tujuan mendalami pemahaman terhadap nash tersebut.”

Bid’ah dapat juga diartikan sebagai berikut:

الْخِيَرَةُ بَعْدَ حُكْمِ اللهِ وَرَسُولِهِ.

“Mengambil pilihan lain setelah adanya ketetapan hukum dari Allah dan Rasul-Nya.”

Karena itu, ibadah zikir yang disemarakkan dalam kegiatan maulid secara berjamaah, berdiri dan menggoyangkan tubuh seraya manyebut nama Allah dengan jahr (sebagaimana umum disyiarkan di Mesir dan negara-negara Timur Tengah) adalah tidak terlarang bahkan sangat mulia. Barangsiapa melarangnya, maka ia telah berbuat bid’ah yang sesat, karena ia telah berani membatasi sesuatu yang tidak pernah dibatasi oleh Allah dan Rasul-Nya!.

4. Mencium Makam.

Salah satu persoalan sensitif yang juga hangat didiskusikan adalah seputar oknum-oknum peziarah makam yang tampak mengecup/mencium makam-makam yang diziarahi. Apakah hal itu diperbolehkan ataukah dapat menjerumuskan kepada kesyirikan? Hal ini memang seringkali menjadi perdebatan, akan tetapi melalui Pertemuan Sufi II yang digelar di Mesir, September 2005 lalu, difatwakan bahwasanya mencium makam tidak dapat dihukumi apapun, baik positif ataupun negatif. Pasalnya, tidak ada perintah untuk melakukan hal itu dan tidak ada pula larangannya. Maka tidak ada pahala bagi yang melakukannya dan tidak ada pula dosa atasnya. Apa yang mereka lakukan hanyalah ekspresi sebuah perasaan yang dialami secara refleks tanpa mempengaruhi akidah/keyakinan mereka sebagai orang-orang muslim. Tidak jauh berbeda dengan seorang ibu yang mencium anaknya, ia tidak dapat dikatakan telah menyembah anaknya, dan apa yang ia lakukan itu tidak pula membuat ayahnya cemburu. Orang berakal manapun yang melihatnya bahkan tidak akan berpikir untuk menilainya, baik positif ataupun negatif.  

Salah seorang dari para mursyidin yang hadir mengumpamakan, andaikan seorang pria beserta istrinya kehilangan putra mereka di usia kanak-kanaknya. Bertahun-tahun lamanya putra mereka tidak dapat ditemukan hingga diperkirakan telah meninggal dunia. Puluhan tahun kemudian sang anak kembali ke rumah dan menghampiri ibunya. Sang ibu pun memeluk serta menciumnya dengan hujan air mata. Ketika suaminya pulang dan melihatnya berpelukan dengan seorang pria dewasa sambil menciumnya, iapun menjadi geram dan hendak menghabisi keduanya. Akan tetapi, setelah mengetahui siapa pria itu sebenarnya, suasana pun berubah total seketika. Bercampur tangis dan juga tawa, sang ayah turut mencium putranya dan juga istri tercintanya. Ketika niat ayah dan ibu berbeda maka hampir terjadi bunuh-bunuhan, tapi ketika niat mereka bertemu satu sama lain maka sungguh syahdu nan indah terasa!.

So, janganlah menyandarkan perbuatan orang lain kepada niatmu semata, sebab amal laksana bangunan dan niat adalah pondasinya. Ingat, setiap bangunan berdiri di atas pondasinya sendiri, dan bukan di atas pondasi bangunan lainnya!.

Allah Swt. berfirman:

“لِلَّهِ الْأَمْرُ مِن قَبْلُ وَمِن بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ” (الروم: 4)

Segala urusan di tangan Allah, sebelum maupun sesudahnya. Dan pada hari itu bergembiralah orang-orang beriman.” (QS. ar-Rum: 4)

Sumber: Majalah at-Tashawwuf al-Islami, terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, edisi Oktober 2005.

Penulis Merupakan Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow