Bagaimana Hukum Shalat di Masjid Yang di Dalamnya Terdapat Makam Wali?

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi Desember 2005, Pertemuan Sufi IV (al-Multaqa ash-Shufi ar-Rabi’) telah berlangsung sukses nan berkah di kota Dusuq bertepatan dengan momen Maulid Syekh Ibrahim ad-Dusuqi, Sang Wali Qutub Pendiri Thariqah Dusuqiyah.

Agustus 30, 2023 - 05:30
 0
Bagaimana Hukum Shalat di Masjid Yang di Dalamnya Terdapat Makam Wali?

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi Desember 2005, Pertemuan Sufi IV (al-Multaqa ash-Shufi ar-Rabi’) telah berlangsung sukses nan berkah di kota Dusuq bertepatan dengan momen Maulid Syekh Ibrahim ad-Dusuqi, Sang Wali Qutub Pendiri Thariqah Dusuqiyah.

Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi itu mengupas tuntas hukum shalat di masjid yang terdapat di dalamnya sebuah makam wali. Hal itu menjadi hangat didiskusikan dikarenakan rata-rata makam wali di Mesir disemayamkan di dalam masjid, semisal makam Imam al-Husain, makam Siti Zainab, makam Siti Aisyah, makam Imam Syafi’i, makam Syekh Ahmad al-Badawi, makam Syekh Ibrahim ad-Dusuqi dan lain-lain, semuanya terletak di dalam masjid. Sehingga, selain melaksanakan shalat, zikir dan ibadah-ibadah lainnya, jamaah masjid juga dapat berziarah makam seraya bertabarruk. Sementara, tidak sedikit dari umat Islam di luar sana yang lantang mengharamkan bahkan mensyirikkannya. Bagaimana sikap ulama-ulama kita? Maka dilangsungkanlah Pertemuan Sufi IV di Mesir yang diikuti ulama-ulama tasawuf serta mursyid-mursyid thariqah. Seluruh peserta pun mufakat bahwa hal itu boleh alias tidak dilarang dalam syariat Islam, dengan sejumlah argumen sebagai berikut:

  1. Jika disebut makam wali, maka artinya di dalam masjid tersebut bersemayam seorang kekasih Allah dan bukan musuh Allah yang dimurkai-Nya. Dan makam seorang kekasih Allah tentu menjadi salah satu taman surgawi, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits. Karena itu, barangsiapa mengharamkan shalat di masjid yang terdapat di dalamnya sebuah taman surga -karena bersemayam padanya seorang kekasih Allah-, maka dialah yang dituntut mendatangkan dalil atas pengharamannya itu. Dan tidak ada dalil yang dengan jelas mengharamkan penempatan makam wali di dalam masjid ataupun mengharamkan shalat pada masjid tersebut.
  2. Sesungguhnya terdapat banyak wali yang dikebumikan di sekeliling Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, sedangkan pahala shalat di dalamnya bertambah seratus ribu kali lipat. Jika dikatakan bahwa kubur para wali itu tidak tampak, maka di Masjid Nabawi Madinah tampak jelas makam Nabi beserta dua sahabat tercinta beliau, sedang pahala shalat di Masjid Nabawi senilai dengan seribu shalat di luarnya. Percaya tidak percaya, berlipat gandanya pahala shalat di Masjid Nabawi sebetulnya sulit dilepaskan dari keberadaan makam-makam mulia tersebut di dalamnya.
  3. Kesucian tempat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Nah, apakah masjid menjadi najis hanya lantaran keberadaan makam wali di dalamnya? Jika ya, maka masjid yang menempel dengan toilet tentu menjadi lebih najis lagi. Akan tetapi, para ulama tidak mengharamkan shalat di masjid yang bangunannya bersambung dengan toilet, lantas apakah makam wali lebih najis daripada toilet?. Sebuah riwayat menceritakan tentang seseorang yang membuang air kecil di dalam Masjid Nabawi dan di hadapan para sahabat. Ketika itu, Nabi bersabda: “Janganlah menyakitinya dengan memotong air kecilnya! Dan ambillah setimba air untuk membasuhkannya!.” (HR. al-Bukhari) Lantas apakah makam seorang wali dihukumi lebih najis dari kotoran manusia biasa?.
  4. Keberadaan benda najis di tempat shalat yang membatalkan shalat adalah apabila najis tersebut berada persis di bawah perut orang yang shalat saat ia melakukan sujud. Jika najis tersebut jauh dari posisi shalat maka tidaklah mempengaruhi sahnya shalat. Makam seorang wali bukan hanya tidak najis, tapi juga jauh dari posisi shalat siapapun di dalam masjid. Tidak ada satupun yang melakukan shalat persis di atas makam, sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan shalat di masjid yang terdapat di dalamnya sebuah makam wali, apalagi mengharamkannya.
  5. Jika melarang makam wali di dalam masjid karena khawatir umat akan menyembahnya, maka Ka’bah lebih wajar lagi untuk dikhawatirkan, karena seluruh umat mengagungkannya, mengelilinginya dan bahkan menciuminya. Yang harus dilakukan bukanlah menghancurkan Ka’bah -dengan alasan khawatir disembah-, tapi mengajari umat bahwa Ka’bah bukanlah benda yang disembah dan bukan pula tempat kediaman zat Allah Swt.
  6. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa permukaan bumi seluruhnya adalah masjid, sehingga boleh melakukan shalat di permukaan bumi manapun. Sementara, tidakkah di bumi ini bertebaran banyak kuburan, termasuk kuburan orang-orang kafir? Apakah kemudian dengan logika yang sama kita mengharamkan shalat di planet bumi dengan alasan banyak kuburan di permukaannya?.
  7. Misalnya, apabila seseorang hendak melakukan shalat lalu meletakkan sepatunya di hadapannya sebagai pembatas, apakah shalatnya sah ataukah batal dan dihukumi haram? Jika sah, lantas makam wali apakah lebih hina dari sepasang sepatu?.
  8. Apakah seorang hamba selalu menyembah apapun yang ada di hadapannya saat melaksanakan shalat? Tentu saja tidak. Ataukah satu-satunya benda yang berpotensi untuk disembah manusia hanyalah makam wali?.
  9. Bagaimana hukum shalat seseorang di kebun binatang? Jika sah-sah saja, padahal dikelilingi banyak binatang, lantas makam wali apakah lebih hina dari binatang?
  10. Secara fikih, shalat di dalam sebuah gereja dihukumi sah oleh banyak ulama terkemuka. Berdasarkan fatwa tersebut, apakah rumah Allah (masjid) yang di dalamnya terdapat makam kekasih-Nya lebih hina daripada gereja?.

Pertanyaan terbesarnya adalah: sejauh itukah menaruh kecurigaan kepada para wali Allah? Dan separah itukah kebencian terhadap kekasih-kekasih sejati-Nya? Syukur-syukur para wali tidak terpengaruh ataupun terganggu oleh itu semua, karena “sesungguhnya para wali Allah tiada takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih.” (QS. Yunus: 62) Uniknya, salah seorang peserta pertemuan mencoba menanggapi bahwa di situlah perbedaan paling mendasar antara agama Sayidina Muhammad bin Abdullah dan agama Muhammad bin Abdul Wahhab !! Meskipun, Muhammad bin Abdul Wahhab sebetulnya bukanlah pendiri sebuah agama, sebab “agama seluruhnya milik Allah” (QS. al-Anfal: 39). Muhammad bin Abdul Wahhab bahkan bukan pencetus sebuah mazhab, sebab pihaknya sendiri menolak adanya mazhab-mazhab. Ia lebih pantas disebut sebagai seorang pemikir dan bukan pendiri mazhab, karena mazhab sejatinya dihasilkan sebagai buah dari pemahaman yang mendalam terhadap pesan-pesan Ilahi melalui nashnash suci, sehingga mazhab mampu menguak hukum yang benar dari nash yang benar melalui pemahaman yang juga benar. Beda halnya dengan pemikiran belaka yang hanya diluncurkan dari otak manusia dengan segala keterbatasannya, sehingga begitu mudah dibenturkan dengan pemikiran-pemikiran lainnya maupun diruntuhkan oleh kokohnya mazhab-mazhab yang ada.

Pertemuan Sufi IV di Mesir pun harus diakhiri, karena segenap peserta akan segera mengikuti agenda besar berikutnya di Masjid Syekh Ibrahim ad-Dusuqi, yaitu Konferensi Sufi Tahunan (al-Mu’tamar ash-Shufi as-Sanawi) yang dihadiri Gubernur Provinsi Kafr Syekh mewakili Presiden Republik Arab Mesir.

Sumber: Majalah at-Tashawwuf al-Islami, terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, edisi Desember 2005.

Penulis merupakan Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur