Cerdas Memaknai Thariqah dan Peran Mursyid
Sejak tahun 1976, Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir telah hadir sebagai lembaga resmi pemerintah yang mana ketuanya setara Menteri dan masa jabatannya sama dengan Grand Syekh al-Azhar, yakni seumur hidup. Selain mengayomi 60-an thariqah mu’tabarah yang berkembang di negeri para nabi serta diikuti sekitar 6 jutaan muslim, Majelis Sufi Tertinggi Mesir juga rutin menerbitkan majalah bulanan dengan nama at-Tashawwuf al-Islami.

Sejak tahun 1976, Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir telah hadir sebagai lembaga resmi pemerintah yang mana ketuanya setara Menteri dan masa jabatannya sama dengan Grand Syekh al-Azhar, yakni seumur hidup. Selain mengayomi 60-an thariqah mu’tabarah yang berkembang di negeri para nabi serta diikuti sekitar 6 jutaan muslim, Majelis Sufi Tertinggi Mesir juga rutin menerbitkan majalah bulanan dengan nama at-Tashawwuf al-Islami. Pada edisi Desember 2002-nya, ada tema yang sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji, ialah seputar definisi thariqah yang dikemukakan pada rubrik/kolom Hiwar ma’a Shahib as-Samahah. Definisi thariqah dimaksud berbunyi sebagai berikut:
الطَّرِيقَةُ هِيَ دَعْوَةٌ إِلَى اللهِ تَعَالَى لإِحْيَاءِ السُّنَّةِ وَنَبْذِ الْبِدْعَةِ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ، وَلَهَا شَيْخٌ دِرْعُهُ وَسَيْفُهُ كِتَابُ اللهِ تَعَالَى وَسُنَّةُ رَسُولِهِ الْكَرِيمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَوَاجِبٌ عَلَى الْمُرِيدِ طَاعَةُ شَيْخِهِ كَطَاعَةِ الْمَأْمُومِ لِلإِمَامِ فِي الصَّلاَةِ لاَ تَتَعَارَضُ مَعَ كَوْنِهَا طَاعَةً للهِ بَلْ يُضَاعَفُ بِهَا أَجْرُ الْمَأْمُومِ وَيُرْفَعُ بِهَا سَهْوُهُ وَخَطَأُهُ.
“Thariqah adalah seruan kepada Allah Swt. untuk meghidupkan sunnah dan mengikis bid’ah, dengan cara yang bijaksana (hikmah) serta nasihat yang baik (mau’izhah hasanah). Thariqah mempunyai seorang guru (mursyid) yang perisai maupun pedangnya adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Dan wajib atas seorang murid mentaati mursyidnya seperti halnya seorang makmum mentaati imam shalatnya. Hal itu tidak berseberangan dengan ketaatan kepada Allah, bahkan justru dapat melipat-gandakan pahala makmum (murid) serta menghapus lupa dan salahnya.”
Selanjutnya, diterangkan bahwa seorang pengamal thariqah, dalam disiplin ilmu tasawuf, disebut dengan murid, yang artinya: orang yang berkehendak/berkemauan. Pasalnya, seorang pengamal thariqah betul-betul bebas dalam menentukan sikapnya, sehingga ketika ia mentaati mursyidnya, ia benar-benar mentaati berdasarkan iradah (kemauan) dan cintanya, bukan karena paksaan dari gurunya atau siapapun lainnya, sebagaimana makmum tidak terpaksa mengikuti imamnya, melainkan atas dasar kehendak dan kemauannya. Sebagaimana pula Nabi Musa tatkala mengikuti Sayidina Khidhir, beliau berkata:
“هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً” (الكهف: 66)
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu?.” (QS. al-Kahfi : 66)
Lantas mengapa seorang mursyid harus didatangi lalu diikuti dan ditaati? Dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami edisi Januari 2006, dimuat hasil Pertemuan Sufi V (al-Multaqa ash-Shufi al-Khamis) yang diselanggarakan oleh Majelis Sufi Tertinggi Mesir di bawah pimpinan Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi, Ketua Majelis Sufi Tertinggi Mesir periode 1997-2008. Dalam pertemuan mulia tersebut, dijelaskan bahwa datangnya seorang murid kepada mursyid tidak ubahnya dengan datangnya seorang pasien kepada dokter. Sama-sama fardhu ‘ain untuk tujuan memperoleh kesembuhan dari penyakit-penyakit yang mematikan, baik mematikan jasad, lebih-lebih yang mematikan hati. Dan karena seorang pasien akan menerima obat dari dokter, maka begitu pula seorang murid akan menerima obat hati dari mursyidnya berupa wirid, hizib, shalawat dan sebagainya.
Melalui Pertemuan Sufi V tersebut di atas, diterangkan pula bahwa hidayah berada di tangan Allah, dan seorang mursyid sesungguhnya tidak membawa ajaran baru di dalam Islam. Ia juga tidak menambahkan apapun, karena Islam adalah agama yang telah sempurna. Namun peran mursyid di sini adalah menyampaikan hidayah Allah kepada umat dengan petunjuk Rasulullah Saw.
Perumpamaannya kira-kira sebagai berikut: Ada seorang pengusaha yang mendirikan sebuah rumah sakit. Orang itu kemudian duduk di pintu gerbangnya dan menyediakan tiket-tiket khusus bagi setiap pasien yang hendak berobat. Tiket itupun dibawa masuk ke dalam rumah sakit oleh tiap-tiap pasien hingga menemui seorang petugas registrasi yang akan mengarahkan mereka ke berbagai ruangan dokter untuk menjalani pemeriksaan sekaligus pengobatan. Nah, tidaklah dokter-dokter itu yang menarik para pasien memasuki rumah sakit, dan tidak pula petugas registrasi yang berdaya melakukannya, melainkan pemilik rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan itulah yang mempersilahkan ataupun mengizinkan mereka memasukinya. Tanpa si pemilik tersebut dan tanpa rumah sakit yang dibangunnya itu, maka tidak akan ada pasien yang tertangani penyembuhannya.
Pemilik rumah sakit di atas adalah perumpamaan kehendak Ilahi yang mutlak nan agung. Sedangkan petugas registrasi yang mengantarkan setiap pasien ke masing-masing dokter adalah perumpamaan Baginda Rasulullah Saw. Adapun dokter-dokter spesialis yang menunggu di setiap ruangan dan siap menangani pasien hingga tuntas adalah perumpamaan para mursyid thariqah yang siap menyembuhkan hati dari berbagai penyakitnya. Tidaklah mursyid itu yang berdaya memasukkan pasien ke ruangannya, dan tidak pula Baginda Nabi yang berwenang atas itu sepenuhnya, melainkan kehendak Allah lah penentu segalanya, dan kehadiran para murid itu tiada lain atas iradah-nya namun dengan izin serta hidayah-Nya Swt.
Pada pintu gerbang rumah sakit tersebut bertuliskan: “Katakanlah sesungguhnya hidayah adalah hidayah Allah” (QS. Ali Imran: 73). Sedangkan di meja registrasi bertuliskan: “Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memberi hidayah ke jalan yang lurus” (QS. asy-Syura: 52). Adapun di tiap-tiap pintu ruangan dokter bertuliskan: “Dan bagi setiap kaum ada pemberi hidayah” (QS. ar-Ra’ad: 7). Artinya, ketika Allah menghendaki hidayah bagi seorang hamba-Nya, maka Rasulullah Saw. lah yang bertugas mempertemukannya dengan seorang wali mursyid, sementara hamba yang tersesatkan adalah:
“وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا” (الكهف: 17)
“Dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau (hai Muhammad) tidak akan menemukan baginya seorang wali mursyid (untuk menghidayahinya).” (QS. al-Kahf: 17)
Penulis: Dr. TGH. Abdul Aziz Sukarnawadi, M.A. adalah Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur.