Jejak Syatoriyah dari Tegalsari ke Cirebon: Mengurai Sanad dalam Lembar-Lembar Tua
Oleh: Khoirul Fata
Ponorogo kembali meneguhkan diri sebagai salah satu pusat penting studi naskah Nusantara. Pada Rabu, 19 November 2025, sebuah kolaborasi unik terbangun antara Tim Thoriqoh Syathoriyah Mataraman dan Asparagus Ponorogo Divisi Manuskrip dan Sejarah. Kedua team, turun langsung ke dua pesantren di Ponorogo, melakukan digitalisasi manuskrip warisan Tegalsari—sebuah proses pelestarian yang menjadi lanjutan dari Pameran Manuskrip Tegalsari yang telah digelar pada 8 November 2025.
Lokasi pertama adalah PP Ali Muttaqin Patihan Wetan, Babadan, yang kini diasuh oleh Kyai Romdhoni. Di sebuah ruangan yang tenang, manuskrip tua warisan keluarga kembali disentuh cahaya. Naskah yang diserahkan Kyai Romdhoni merupakan peninggalan ayahnya, Kyai Fachruddin, yang masih berada dalam garis keturunan Kyai Iskak Coper bin Kyai Ageng Muhammad Besari, tokoh sentral tradisi keilmuan Tegalsari.
Perjalanan digitalisasi berlanjut ke Ma’had Al-Muqoddasah Nglumpang, Mlarak. Di tempat ini, dua manuskrip langka disimpan oleh team Asparagus Ponorogo. Pertama, Manuskrip Tarekat Kholwatiyah Samaniyah, warisan Kyai Moch. Mulyo, mantan naib Dolopo. Kedua Manuskrip Tarekat Syatoriyah, yang diperoleh team Asparagus dari Bapak Damanhuri, Lurah Coper.

Manuskrip Syathoriyah | Sumber: FB Khoirul Fata Jilid I
Jika naskah Kholwatiyah menghadirkan rona tasawuf Samaniyah yang kuat, manuskrip Syatoriyah Coper justru membuka ruang baru: simbol-simbol Syatoriyah yang kaya dan sebuah sanad Syatoriyah jalur Cirebon yang jarang disebut dalam kajian sebelumnya. Di nama perawi silsilah Syatoriyah Coper, muncul satu nama yang memancing perhatian, yaitu “Kyai Bagus Shofiyuddin ing Cirebon.”
Nama ini tidak asing bagi para peneliti tarekat Syatoriyah. Dalam berbagai artikel tentang sejarah tasawuf Cirebon, ia dikenal pula sebagai Pangeran Jatmaningrat, tokoh yang diyakini sebagai penyebar Tarekat Syatariyah di lingkungan keraton—baik di Penguron Keprabonan, Kanoman, maupun Kasepuhan. Temuan ini bukan hanya menambah data, tetapi menghubungkan dua pusat keilmuan: Tegalsari di Ponorogo dan Cirebon sebagai poros tarekat Syatariyah.
Sanad yang muncul dalam manuskrip tersebut memperkuat dugaan adanya mobilitas keilmuan para santri Cirebon yang pernah belajar di Tegalsari. Mereka membawa pulang bukan hanya ilmu fikih atau sastra, tetapi juga tradisi zikir Syatoriyah—yang kemudian berkembang di pesantren-pesantren tua wilayah Ponorogo, khususnya Tegalsari dan pesantren alumninya, baik Coper, Mambil maupun Gontor.
Bagi para peneliti naskah dan sejarah lokal, temuan ini menjadi batu pijakan baru. Bahwa perjalanan tarekat di Jawa bukanlah garis lurus, melainkan jejaring yang ditenun oleh para guru, santri, dan manuskrip yang mereka tinggalkan. Dan di Ponorogo, pada lembar-lembar manuskrip tua itulah jejak tersebut kini kembali bersuara.
Khoirul Fata
( Asparagus Divisi Manuskrip dan Sejarah )
Gus Hasib Rosyadi dan Gus Hanif Fathoni