Thariqah dan Kebangsaan
Tanggal 17 Agustus merupakan hari yang sangat bersejarah, karena di tanggal itulah pada tahun 1945 Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan mudah, ia diraih dengan pengorbanan harta juga nyawa. Untuk membangun sebuah semangat juang meraih kemerdekaan, sebagai sebuah anti tesis dari penjajahan yang tengah terjadi dibutuhkan sebuah tekad dan semangat membaja, juga keimanan. Disinilah thariqah atau ordo persaudaraan kaum sufi ikut berperan besar dalam mendorong terjadinya sebuah kemerdekaan melalui semangat bela negara, cinta kebangsaan, dan tanah air yang dibalut oleh nilai-nilai ketuhanan.

Thariqah sebagai Gerakan Perubahan Sosial
Tanggal 17 Agustus merupakan hari yang sangat bersejarah, karena di tanggal itulah pada tahun 1945 Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan mudah, ia diraih dengan pengorbanan harta juga nyawa. Untuk membangun sebuah semangat juang meraih kemerdekaan, sebagai sebuah anti tesis dari penjajahan yang tengah terjadi dibutuhkan sebuah tekad dan semangat membaja, juga keimanan. Disinilah thariqah atau ordo persaudaraan kaum sufi ikut berperan besar dalam mendorong terjadinya sebuah kemerdekaan melalui semangat bela negara, cinta kebangsaan, dan tanah air yang dibalut oleh nilai-nilai ketuhanan.
Thariqah secara bahasa berarti jalan, jalan yang dimaksud adalah jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh pengamal dan penganut tasawuf. Dalam proses berjalannya waktu maka thariqah bermakna organisasi kelembagaan (Nasution, 2018). Tasawuf dan thariqah sering dirtikan sebangun, tetapi dapat diketahui bahwa thariqah adalah sebuah metode atau ajaran kelembagaan yang mengajarkan teknik penyucian diri yang dilakukan oleh pengamal tasawuf. Thariqah adalah bagian dari ilmu tasawuf, sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia menjalankan ibadah kepada Allah sesuai tuntunan Islam. Thariqah adalah organisasi tasawuf yang berupaya melestarikan ajaran-ajaran spiritual Islam yang telah dilakukan oleh para guru tasawuf (Tedy, 2017).
Gerakan tasawuf dalam sebuah wadah organisasi thariqah berperan jauh dalam proses pembangunan manusia untuk membentuk akhlaq dan etika manusia (Hakim, 2019). Thariqah tasawuf bukanlah perilaku eksklusif keagamaan, melainkan sebuah gerakan keagamaan yang secara massif dan inklusif menumbuhkan rasa kemanusiaan dan keadilan bagi sesama. Gerakan thariqah tasawuf merupakan sebuah gerakan keagaamaan yang telah ada sejak berabad lampau di Nusantara. Beberapa thariqah merupakan cabang dari thariqah internasional, seperti thariqah Naqsbandiyah, dan thariqah Syadziliyah (Yulianto, 2017).
Kelompok thariqah diperkirakan telah ada di Indonesia sejak awal abad XVII, dengan munculnya tokoh tasawuf yaitu Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh muridnya Syamsudin as-Sumatrani. Syaikh Abdur Rauf Singkil di abad tersebut juga kemudian menyebarkan ajaran tasawuf melalui gerakan thariqah Syatariyah di Aceh. Pada abad tersebut di Sulawesi juga berkembang tarekat Qadiriyah dan Syatariyah yang dikembangkan oleh as-Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari (Republika, 2016). Berdasarkan hasil Muktamar tasawuf di Pekalongan pada tahun 1960 dijelaskan bahwa gerakan thariqah yang mengajarkan ilmu tasawuf telah ada di Nusantara sejak Abad ke-7, dan berkembang pesat di Abad XIV (Fathoni, 2016).
Gerakan thariqah tasawuf menunjukkan sebuah pemahaman bahwa thariqah sangat berkaitan dengan kehidupan sosio kultural manusia. Thariqah sebagai sebuah metode penyemaian nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dibutuhkan dalam sebuah proses perubahan sosial. Gerakan thariqah tasawuf menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk mendobrak adanya kekeringan persaudaraan kemanusiaan, kasih-sayang, tolong-menolong, pragmatisme hidup dan sejenisnya. Thariqah memiliki peran aktif di dalam permasalahan umat manusia. Tasawuf dengan thariqah menjadi sebuah oase yang bagi manusia yang cenderung hidup dengan keringnya nilai ruhani dalam hidupnya (Ni’am, 2016).
Thariqah dibutuhkan ketika manusia begitu terlena dengan kehidupan duniawi. Manusia yang kering akan nilai-nilai akhlaq juga moralitas, muncul dan bangkitnya paham hedonisme yang mengusung nilai-nilai materialisme secara massif sangat memerlukan siraman spiritualisme. Manusia ingin kembali menyelami dan mengisi lubuk hati dengan nilai-nilai Illahiyah. Tasawuf melalui gerakan thariqahnya juga terus berupaya membangun semangat persaudaraan dan kemanusiaan, bahwa manusia hakikatnya sederajat di mata Allah.
Gerakan thariqah tasawuf ini telah menumbuhkan pula semangat nasionalisme dari berbagai bangsa di Asia-Afrika dalam menghadapi kolonialisme Eropa guna pencapaian kemerdekaan sebuah bangsa. Pertemuan antara gagasan nasionalisme dan Islam juga turut digagas dan ditumbuhkan oleh kaum thariqah. Kaum pengamal thariqah membentuk gagasan kebangsaan Indonesia dan usaha pencapaian kemerdekaan. Ketika beberapa negara di Timur-Tengah dilanda inharmoni antara relasi politik dan agama, di Indonesia justru tercipta sebuah nilai harmoni antara gagasan nilai agama dan nasionalisme (Salahudin, 2016).
Kaum Thariqah dan Semangat Kebangsaan
Kolonialisme di belahan Asia-Afrika telah melahirkan penderitaan yang luar biasa. Penindasan, perbudakan manusia, perkosaan, penghancuran hak asasi manusia terjadi atas nama penguasaan sumber daya alam. Pendirian pemerintahan kolonial tidak saja mengeksploitasi kekayaan alam sebuah bangsa, melainkan juga eksploitasi manusia. Kebijakan tanam paksa yang dipaksakan kepada warga pribumi di Nusantara telah melahirkan penderitaan. Tanam paksa kopi yang dipaksakan oleh VOC kepada penduduk di kawasan Priangan abad abad XVIII, hingga tanam paksa yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada Tahun 1830 telah memunculkan proses dehumanisasi. Rakyat dipaksa menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomi besar di Eropa, sebagai bentuk upaya pembayaran utang Belanda akibat menumpuknya utang VOC.
Penderitaan semacam itu tidak hanya terjadi di Nusantara, melainkan juga terjadi di semua kawasan kolonial yang tersebar di kawasan Asia-Afrika. Penduduk Afrika diperbudak dan dijual sebagai budak ke Benua Amerika sebagai pekerja budak di perkebunan milik warga kulit putih. Manusia kulit putih saat itu menganggap bahwa semua manusia kulit berwarna adalah manusia yang tak berdab, dan hanya layak diperlakukan seperti binatang. Penindasan manusia terhadap manusia (le’exploitation de l’homme par homme) merupakan bentuk dari pemahaman white supremacy yang hingga kini masih bersemayam dalam alam berfikir masyarakat Eropa, walau perbudakan sudah tidak terjadi.
Munculnya penderitaan ini memantik pemikiran para penganut thariqah untuk melalukan perlawanan kepada kaum kolonialis. Mereka menjadikan ajaran thariqah tasawuf sebagai titik pijak perlawanan terhadap terjadinya eksploitasi manusia yang tak beradab. Hal ini membuktikan bahwa kaum thariqah bukanlah kaum yang meninggalkan dunia dan tidak peduli terhadap kehidupan sosial berupa penderitaan manusia. Para mursyid thariqah selaku guru Sufi yang memimpin kelompok-kelompok thariqah mengajak setiap manusia untuk memperhatikan saudaranya yang malang. Ketika melihat hal yang tidak adil, maka kelompok thariqah akan menjadi sebuah sarana perjuangan kemerdekaan guna terciptanya keadilan bagi sesama manusia.
Kaum thariqah dengan semangat kemanusiaan yang dimilikinya terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Kelompok persaudaraan Sufi ini menjadi sebuah kekuatan perlawanan atas munculnya ketidakadilan akibat penjajahan. Di Indonesia muncul tokoh besar as-Syaikh Yusuf al-Makassary al Bantani (w.1699) seorang penganut thariqah Syatariyah, Naqsbandiyah, dan Khalwatiyah bangkit memimpin perlawanan bersenjata melawan VOC (Ngalah, 2018; Indrajaya, 2020). Pangeran Diponegoro salah seorang penganut thariqah Syatariyyah dan Naqshbandiyah juga berperan dalam mengobarkan perlawanan terhadap Kolonial Hindia Belanda di Tanah Jawa (Nashrullah, 2022).
Perlawanan kaum petani Banten terhadap Pemerintah Hindia Belanda merebak akibat penindasan tanam paksa yang diterapkan oleh Kolonial. Perlawanan ini dipimpin oleh Syaikh Abdul Karim al Bantani (1888) salah seorang penganut thariqah Qadariyah wa Naqshbandiyah. (Arif, 2016). Tidak hanya di Indonesia, perlawanan terhadap pemerintah kolonial Italia di Libya juga dilancarkan oleh As-Syaikh Omar Mukhtar (w.1931) salah seorang penganut Thariqah Sanusiyah yang berjuang untuk meraih kemerdekaan Libya (Republika, 2016), walau akhirnya beliau mengalami kekalahan dan dijatuhi hukuman gantung oleh Pemerintah kolonial Italia di Libya (Muhammad, 2022).
Gerakan thariqah sebagai pencetus semangat kebangsaan hingga membangun semangat untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih merupakan bentuk perhatian yang mendalam kelompok thariqah terhadap kolonialisme yang telah memunculkan proses dehumanisasi. Ide kelompok thariqah yang membangkitkan semangat kebangsaan pada dasarnya juga berasal dari nilai-nilai yang dianut oleh pengamal thariqah secara umum, yaitu penanaman nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan juga kesejahteraan umat manusia dengan berpegang teguh pada syariat Islam (Yaqin dan Badrun, 2022).
Kelompok thariqah yang menyebarkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme, menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada mereka. Christian Snouck Hurgronje sebagai seorang ahli Islamologi dikirim ke Hindia Belanda untuk menganalisis perlawanan umat Islam. Hasil telaah Hurgronje menyatakan bahwa kelompok thariqah merupakan kelompok yang menyebarkan fanatisme Islam untuk melawan Pemerintah Kolonial. Hurgronje meminta pemerintah kolonial untuk mengawasi dan melarang rakyat terlibat di dalam gerakan thariqah (Sholeh, 2013).
Kaum thariqah melihat ide kebangsaan dan bela negara dalam sebuah konsep hubbul wathon minal iman, bahwa mencintai sebuah bangsa adalah bagian dari keimanan seseorang kepada Tuhannya. Tanah air adalah karunia Allah yang harus dijaga dari tindakan perampasan oleh bangsa lain. Ia adalah harta yang harus dirawat dan dijaga, dan mempertahankannya adalah sebuah kewajiban sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa yang gugur karena mempertahankan hartanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan darahnya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena mempertahankan agamanya, ia syahid. Barang siapa yang gugur karena membela keluarganya, ia syahid.” (HR. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi).
Fokky Fuad Wasitaatmadja merupakan Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia