Mursyid Itu Apa Sih?

Bagi pelaku jalan ruhani, istilah Mursyid pasti sudah tidak asing lagi. Namun, bagi para pemula, dan juga khalayak umum, istilah Mursyid merupakan sesuatu yang asing, bahkan tidak pernah mendengar sebelumnya. Sebenarnya, Mursyid itu apa sih? Tulisan ini tentunya jauh dari sempurna, tetapi sedikit dapat membantu memberikan pemahaman tentang apa itu Mursyid.

Agustus 29, 2023 - 11:02
 0
Mursyid Itu Apa Sih?

Bagi pelaku jalan ruhani, istilah Mursyid pasti sudah tidak asing lagi. Namun, bagi para pemula, dan juga khalayak umum, istilah Mursyid merupakan sesuatu yang asing, bahkan tidak pernah mendengar sebelumnya. Sebenarnya, Mursyid itu apa sih? Tulisan ini tentunya jauh dari sempurna, tetapi sedikit dapat membantu memberikan pemahaman tentang apa itu Mursyid.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Socrates (w. 399 SM), pada dasarnya setiap orang mampu untuk menghadapi segala macam  persoalan yang dihadapi, akan tetapi tidak semua dari mereka mampu menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri mereka terpendam kemampuan atas jawaban-jawaban bagi segala macam permasalahan yang dihadapinya. Ia juga menambahkan, dalam  mengeluarkan kemampuan tersebut seseorang  memerlukan bantuan orang lain,[1]hal ini senada dengan pendapat Ibnu Bajjah (w. 1138 M), salah satu dari ahli psikologi Muslim, yang mengatakan bahwa suatu spesies (manusia) potensial akan berubah menjadi spesies yang aktual jika dirubah oleh sesuatu yang lain, sesuatu yang dapat menggerakkan organ rasa yang dimilikinya.[2] Dalam  konteks ini, pengubah dan penggerak tersebut adalah guru mursyid, karena dalam tataran dunia tasawuf dan tarekat, mursyid adalah tokoh sentra (bertindak sebagai guru, orang tua, pembimbing, konselor, hipnotis, bahkan dokter) dalam segala hal yang berhubungan dengan keilmuan tersebut secara teoritis dan praktikal.

Sebuah tarekat tidak dapat dinamakan tarekat jika tidak memiliki guru Mursyid, dan Mursyid tentunya merupakan seseorang yang memiiki sanad keirsyadan yang terhubung hingga Rasulullah saw. dan kemudian melalui Jibril as. dapat terhubung kepada-Nya. Manusia membutuhkan ahli yang dapat membersihkan hati yang kotor, nah, Mursyid-lah sang ahli itu. Dalam karyanya yang berjudul al-Ghunyah, Syekh Abdul qadir Al-Jaylani menjelaskan, bahwasannya  penyebab hati menjadi buta adalah kelalaian yang membuat orang melupakan Allah dan pekerjaan, tujuan, janji seseorang kepada-Nya ketika di dunia ini,[3] yang tentunya dapat teratasi jika selalu mengingat-Nya. Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1914 M) juga mengungkapkan hal serupa dalam Tanwir al-Qulub.[4] Menurut beliau, menyembuhkan penyakit-penyakit batin merupakan suatu kewajiban, dan hanya bisa ditempuh dengan bimbingan seorang guru yang ahli dhikr Allah. Jika telah hilang penyakit-penyakit hati tersebut, maka seseorang akan berada dalam kebahagiaan yang diinginkan secara universal. Dalam pengertian ini, Mursyid dapat dikatakan sebagai jalan untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan.

Sangat mustahil sekali manusia terlepas dari penyakit-penyakit hati, namun semua itu ada obatnya seperti yang dibawa dan diajarkan oleh para Nabi dan rasul terdahulu. Seperti yang dikatakan oleh Abraham H. Maslow (w. 1970), bahwa tidak mungkin untuk saat ini ditemukan manusia yang sempurna, namun tidak jauh kemungkinan bahwa terdapat banyak manusia yang dapat disempurnakan, dalam hubungan apapun itu.[5] Inilah yang Abah Anom dan para guru tarekat sebelumnya coba wujudkan, yakni memperbaiki derajat manusia menjadi manusia yang baik, sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw.

Konsep tasawuf adalah konsep yang sesuai dengan yang termaktub dalam Alquran dan hadis yang menggambarkan bagaimana hubungan dan kebutuhan antara makhluk dan Khalik. Hubungan yang nyata dan merupakan salah satu hal kebutuhan fitrah yang sangat mendasar bagi setiap insan, yaitu kebutuhan akan kekuatan yang lebih dari mereka. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi sebagian orang, mereka bahkan tidak mempercayai adanya hubungan ini,[6] diantaranya ialah tokoh sekuler barat yakni Freidrich Schiller (w. 1805) yang dikutip oleh Max Weber (w. 1920),  menurut mereka manusia adalah makhluk yang bebas dan terpisah dengan Tuhannya, maka manusia boleh bertindak bebas dan mengikuti keperluan dan rancangannya untuk mendapatkan keinginan dan kebahagiaannya.[7] Bahkan Sigmund Freud (w. 1939 M), seorang psikolog Barat, menganggap hubungan ini sebagai hubungan yang diciptakan manusia yang tidak terdidik atas ketidak-berdayaannya dalam menghadapi kehidupan.[8] Bagaimana mungkin manusia tidak tergantung pada Tuhannya, mengingat manusia adalah ciptaan-Nya yang kekuatan-Nya tidak ada yang mampu menyamai.[9]

Pada ketergantungan manusia kepada Tuhannya ini, dalam dunia tasawuf diperlukan jasa guru mursyid untuk membantu mereka mencapai Tuhannya. Mursyid dalam hal ini merupakan sosok yang dapat membantu para murid menyembuhkan psikopatologi yang dialami. Meskipun mereka tidak memiliki latar belakang secara akademik dalam bidang psikologi, seperti halnya para ahli kejiwaan, namun mereka dapat membantu para muridnya menyelesaikan masalah yang dialami. Melihat fenomena ini, Abraham H. Maslow menilainya sebagai sesuatu yang lumrah terjadi dalam masyarakat, dengan catatan ia tetap menilai para psikoterapis yang tidak memiliki latar belakang masalah kejiwaan secara akademik ini tidak mengetahui mengapa dan bagaimana keajaiban itu dapat terjadi. Keajaiban yang dimaksud adalah kembalinya para pasien atau para murid yang bermasalah menjadi manusia yang sehat kembali secara fisik dan mental.[10] Dalam hal lain, Maslow mengkritik para psikolog dan ahli agama yang tidak mencoba untuk menjelaskan mengapa seorang manusia selalu menemui seseorang yang dihormati dan dicintainya, yang bisa dimintai nasihat dan pertolongan,[11] dan keraguannya ini tidaklah sepenuhnya terjadi, karena dalam tasawuf semua itu secara gamblang dijelaskan dalam pembahasan hubungan mursyid dan muridnya serta peran mursyid dalam kehidupan murid secara lahir dan batin.

KH. Nur Muhammad Suharto, Allahummayarham, sering mengatakan, “Ingin cepat bertemu seseorang yang memiliki kedudukan di dunia saja kita membutuhkan orang dalam. Apalagi ini untuk bertemu dengan-Nya, kita membutuhkan barokah guru Mursyid di sini. Siapalah kita yang hina ini, belum sampai di gerbang pun akan diminta untuk pulang karena ketidak-layakan diri untuk bertemu.”

Jadi, siapa nih yang ingin memiliki mursyid?

Wallahu ‘Alam bishshawwaab


[1]Abdul Rahman Shaleh, Psikologi (Suatu Pengantar dalam Perspek-tif Islam) (Jakarta: Kencana, 2004), 13.

[2]Abdul Rahman Shaleh, Psikologi (Suatu Pengantar dalam Perspek-tif Islam), 18.

[3]Abd al-Qa>dir al-Jaylani>, al-Ghunyah (Beirut: Dar al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1971), 228.

[4]Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh M. Nur Ali (Bandung:Pustaka Hidayah, 2013), 180-181.

[5]Selengkapnya baca Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepribadian 2, diterjemahkan oleh Nurul Imam dari buku berjudul Motivation and Personality (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1993), 135.

[6]Mayoritas masyarakat Indonesia memiliki anggapan bahwa mengikuti ajaran suatu tarekat ialah jika mereka telah berusia senja dan tidak memikirkan duniawi, sehingga berat bagi mereka jika harus mengikuti amaliah yang diberikan sang guru tarekat jika mereka mengambil talkin baiat diusia yang relatif muda (sudah baligh).

[7]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh Khalif Muammmar (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan pembangunan Islam, 2010), 20-22.

[8] Matthew H. Olson dan B. R. Hergenhahn, Pengantar Teori Kepribadian, diterjemahkan dari buku berjudul An Introduction to Theories of Personality oleh Yudi Santoro S. Fil (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2013), 85-86.

[9] Setinggi apa pun teknologi dan semaju apa pun suatu zaman, manusia akan selalu memerlukan Tuhan dan ajaran agama sebagai pedoman untuk mencapai tujuan hidup, karena teknologi yang canggih saja tidak akan dapat memberikan kebahagiaan pada manusia, melainkan akan membinasa-kannya. H. M. Rasjidi, Empat Kuliyah Agama Islam Pada Peguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 7-23.

[10]Maslow mengakui bahwasanya siapapun berpotensi menjadi terapis yang potensial, tetapi hal tersebut harus dapat dibenarkan, diperkuat dan diajarkan, sedangkan umumnya para terapis di luar akademis dan praktisis yang berlatar belakang pendidikan psikologi tidak mampu membuktikan dan mengajarkan kembali apa yang dapat ia lakukan dalam penyembuhan para pasien. Selengkapnya baca Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepribadian 2, diterjemahkan oleh Nurul Imam dari buku berjudul Motivation and Personality  (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1993), 119 dan 131.

[11]Selengkapnya: Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepribadian 2, 132.