SUFISME POLITIK DI NUSANTARA: SEJARAH, MANUSKRIP DAN DINAMIKA KEKUASAAN ISLAM
Peradaban Islam Nusantara

Ikhtiar Strategis Menuju Rekonstruksi Sejarah Peradaban Islam Nusantara.
Oleh: Abdur Rahman El Syarif
BAGIAN I. LANDASAN KONSEPTUAL DAN HISTORIS SUFISME POLITIK: SEBUAH TELAAH KONSEPTUAL
1.1 Definisi Sufisme Politik
Sufisme politik (al-taṣawwuf al-siyāsī) merujuk pada bentuk praksis tasawuf yang tidak hanya berkutat pada dimensi personal dan spiritual, melainkan juga menjangkau wilayah sosial dan kekuasaan. Ia merupakan ekspresi dari pengalaman batin yang bertransformasi menjadi gerakan sosial, pemikiran politik, dan institusi publik.1
Dalam konteks ini, sufisme tidak sekadar mengajarkan pengendalian nafsu atau pembersihan hati, tetapi juga membangun model kepemimpinan, keadilan sosial, dan legitimasi kekuasaan yang berakar pada nilai-nilai ruhani.2
Sufisme politik juga merupakan respon terhadap kekosongan etika dalam politik formal, sekaligus bentuk resistensi terhadap otoritas yang lalim. Model kepemimpinan dalam sufisme, sebagaimana konsep insan kāmil, memunculkan gagasan pemimpin sebagai cermin Tuhan (ẓillullāh fī al-arḍ), yang menyatukan otoritas spiritual dan tanggung jawab duniawi.3
1.2 Asal-Usul Pemikiran dan Praktik
Sejak abad ke-8 dan ke-9 M, sufisme berkembang dari praktik asketis menjadi tradisi intelektual dan sosial. Tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Rabi‘ah al-‘Adawiyah, dan al-Junayd membuka jalan bagi pendekatan tasawuf yang etis dan mendalam.4 Namun, dimensi politik mulai terartikulasikan secara sistemik saat para sufi mulai memainkan peran penting dalam kerajaan Islam: menjadi penasihat sultan, pendiri zawiyah, atau pemimpin tarekat yang memengaruhi masyarakat luas.5
Perkembangan tarekat sejak abad ke-11, khususnya Qadiriyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah, menjadi titik balik dalam artikulasi sufisme struktural. Kepemimpinan karismatik para mursyid sering kali menjadi alternatif atas otoritas formal negara.6 1
.3 Perbedaan Tasawuf Etis, Eksistensial, dan Politik
Tasawuf dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tasawuf Etis: Fokus pada akhlak dan tazkiyat al-nafs. Contohnya Risālat al-Qushayriyyah dan Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali.7
Tasawuf Eksistensial (Falsafī): Spekulatif dan metafisis, misalnya Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabi.8 Tasawuf Politik: Bertumpu pada perubahan sosial dan kekuasaan yang adil. Contoh, seperti perlawanan Syekh Shamil di Dagestan dan peran para sufi nusantara dalam melakukan perlawanan kepada penjajah seperti dalam Perang Diponegoro di Jawa, Teuku Umar dan Cut Nya' Dien di Aceh, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera, Syeikh Arsyad dan Pangeran Antasari di Banjar, Syeikh Yusuf Al Makassari di Makassar, Seikh Imam Muhammad Arsyad di Tidore, Ki Wasyid di banten, dan para pejuang lainnya.9
AKAR SUFISME POLITIK DI DUNIA ISLAM
2.1 Dari Baghdad ke Samarkand: Jaringan Tarekat dan Kekuasaan
Baghdad menjadi pusat awal sufi urban. Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1166 M) membangun madrasah dan zawiyah yang kemudian memiliki pengaruh luas, bahkan menjadi institusi pendidikan dan sosial yang diakui negara.10
Di Asia Tengah, Bukhara dan Samarkand menjadi pusat tarekat Naqsyabandiyah. Khwāja ‘Ubaydullah Aḥrār (w. 1490) dikenal sebagai sufi yang secara aktif terlibat dalam urusan negara dan memiliki hubungan dekat dengan penguasa Timuriyah.11
2.2 Peran Tokoh: al-Ghazali, Ibn Arabi, dan Suhrawardi
Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Iḥyā’ menyatukan tasawuf, fiqh, dan etika pemerintahan. Ia mengkritik ulama istana dan menyerukan reformasi moral dalam politik.12. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) menggagas doktrin wahdat al-wujūd yang mengandung dimensi egaliter—implikasi politiknya berkembang lewat murid-muridnya di Barat Islam dan Syam.13
Shihabuddin Suhrawardi (w. 1234 M), melalui ʿAwārif al-Maʿārif, menekankan peran sufi dalam membimbing masyarakat dan menyelaraskan hukum negara dengan spiritualitas Islam.14
2.3 Model Politik Sufistik di Dunia Islam
Dinasti Mamluk di Mesir menjalin relasi formal dengan tarekat Syadziliyah dan Khalwatiyah, terutama dalam pendidikan militer dan legitimasi sultan.15
Utsmaniyah menjadikan tarekat Bektashiyah bagian dari struktur jenissari, sedangkan Naqsyabandiyah lebih berperan sebagai penasihat spiritual dan moral masyarakat.16
Dinasti Mughal memfasilitasi Chishtiyyah dan Naqsyabandiyyah; Aurangzeb dikenal dekat dengan Naqsyabandiyyah-Mujaddidiyyah yang menyerukan syariat ketat dan moralitas dalam kekuasaan.17
Safawiyah di Iran berasal dari tarekat Sufi yang berkembang menjadi negara teokratis dengan ideologi Syiah Imamiyah. Sufi diubah menjadi aparat ideologis negara.18 (Bersambung ke Bagian II)
Referensi:
1. Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: UNC Press, 1975), hlm. 341.
2. Hamid Algar, “Sufism and the Legitimation of Power,” dalam Islam and Political Legitimacy, ed. Shahrough Akhavi (London: I.B. Tauris, 1989), hlm. 51–66.
3. William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), hlm. 8–10.
4. Carl Ernst, Sufism: An Introduction to the Mystical Tradition of Islam (Boston: Shambhala, 1997), hlm. 45–61.
5. Jamil Abun-Nasr, Muslim Communities of Grace (London: Hurst, 2007), hlm. 122.
6. Vincent Cornell, Realm of the Saint: Power and Authority in Moroccan Sufism (Austin: University of Texas Press, 1998), hlm. 104–117.
7. Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi T. (Beirut: Dar al-Kutub, 1990).
8. Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Omar Farouq (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah, 1972).
9. Hamid Dabashi, Authority in Islam (New Brunswick: Transaction, 1989), hlm. 205–210.
10. J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 58–60.
11. Devin DeWeese, Islamization and Native Religion in the Golden Horde (Pennsylvania: PSU Press, 1994), hlm. 289–292.
12. Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: OUP, 2009), hlm. 191–198.
13. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, hlm. 150–153.
14. Suhrawardi, ʿAwārif al-Maʿārif, ed. Hasan Khalil Ma’ruf (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 112–130.
15. Richard Eaton, “The Political and Religious Authority of the Sufi Shaykh,” in Indian Economic and Social History Review 31, no. 3 (1994): 292–298.
16. Ahmet T. Karamustafa, “Sufism and Its Institutions,” dalam The Cambridge History of Turkey Vol. 1 (Cambridge: CUP, 2009), hlm. 251–252.
17. Yohanan Friedmann, Shaykh Ahmad Sirhindi (Montreal: McGill-Queen’s, 1971), hlm. 97–104.
18. Kathryn Babayan, Mystics, Monarchs and Messiahs: Cultural Landscapes of Early Modern Iran (Cambridge: Harvard University Press, 2002), hlm. 115–134