SUFISME POLITIK DI NUSANTARA: SEJARAH, MANUSKRIP DAN DINAMIKA KEKUASAAN ISLAM

Sejarah Peradaban Islam Nusanta

Mei 14, 2025 - 08:30
SUFISME POLITIK DI NUSANTARA: SEJARAH, MANUSKRIP DAN DINAMIKA KEKUASAAN ISLAM
Para habib kolonial

Ikhtiar Strategis Menuju Rekonstruksi Sejarah Peradaban Islam Nusantara.

Oleh: Abdur Rahman El Syarif

BAGIAN 10 .HABIB HADRAMI DI PANGGUNG KOLONIAL: ANTARA ASIMILASI KEKUASAAN DAN RESISTENSI YANG DIREDAM

10.1. Tinjauan Umum

Pada paruh akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, politik kolonial Belanda mengalami pergeseran signifikan dalam cara mereka memperlakukan Islam di Hindia Belanda. Dari pendekatan militeristik yang represif pada era Perang Diponegoro di Jawa, Perang Paderi (Tuanku Imam Bonjol) di Minangkabau Sumatera Barat, dan Perang Aceh (Teuku Umar dan Cut Nya' Dien), kolonialisme Belanda kemudian mempraktikkan strategi yang lebih halus namun sistematis: memecah belah otoritas keagamaan, membedakan antara Islam spiritual dan Islam politik, serta menciptakan kelas elite keagamaan baru yang loyal kepada pemerintah kolonial.

Dalam kerangka strategi inilah, para imigran Hadhrami, yang kelak lebih dikenal sebagai "Habib", memainkan peran penting sebagai agen sosial dan kultural baru yang difasilitasi oleh kolonial untuk menjadi “penyeimbang”, terhadap kekuatan tarekat pribumi yang dinilai membahayakan stabilitas kekuasaan Eropa.^1^ 

Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang menjadi penasihat utama pemerintah kolonial untuk urusan Islam, secara eksplisit menyarankan agar pemerintah mengakomodasi para imigran Hadhrami yang moderat dan non-politik untuk mengimbangi arus Islam antikolonial yang berkembang di lingkungan pesantren dan tarekat.^2^

Dalam sejumlah memorandum rahasianya kepada Gubernur Jenderal, Snouck menyatakan bahwa Islam tarekat merupakan bentuk Islam yang paling berbahaya karena membentuk loyalitas trans-etnis, lintas wilayah, dan memiliki jejaring spiritual-politik yang sulit diawasi oleh aparat kolonial.^3^

Sementara itu, para imigran Hadhrami yang sengaja didatangkan dari Yaman dianggap lebih mudah diarahkan, karena struktur sosial mereka yang aristokratik dan relasi historis mereka dengan otoritas kolonial di Timur Tengah.

Para Habib ini kemudian diposisikan secara strategis di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Makassar, Pontianak, hingga Minangkabau. Mereka diberi akses pada lembaga pendidikan, percetakan, masjid, dan media keagamaan.

Perlahan namun pasti, terbentuklah komunitas elite Islam baru, sebuah kelas yang mulai menjauh dari denyut spiritual tarekat. Mereka tidak lagi bicara tentang jihad batin kolektif atau perjuangan sufistik-politik, sebagaimana diwariskan oleh Qadiriyah, Syattariyah, dan Naqsyabandiyah. Sebaliknya, corak keislaman yang mereka bangun adalah tekstual-skriptural, yakni berbicara hukum tanpa ruh, etika personal tanpa visi sosial, fiqih tanpa perlawanan.

Dan untuk menancapkan strategi ini, kolonialisme Belanda tak segan membentuk sebuah Tim yang dipimpin oleh seorang Habib, untuk malang melintang keluar masuk pesantren-pesantren besar. Bukan sebagai penerang jalan kebenaran, tetapi sebagai penyambung lidah kekuasaan yang hendak menjinakkan. Di balik sorban dan senyuman, tersembunyi misi, meluruhkan daya Islam yang membebaskan, dan menggantinya dengan Islam yang patuh, personal, dan steril dari perlawanan.

Inilah bagian pahit dari sejarah kita.

Namun dari kepahitan inilah, kesadaran harus tumbuh. Bahwa umat Islam tidak bisa terus dibungkam oleh narasi sejarah yang disusun penguasa. Bahwa telah saatnya kita bangkit menyusun kembali ingatan, menyambung kembali ruh perjuangan, dan menegakkan kembali Islam yang merdeka, bertauhid, dan berdaulat. ^4^

Bab ini akan membedah secara kritis dan historis, bagaimana para imigran Hadhrami ini dimasukkan dalam sistem kekuasaan kolonial, peran mereka dalam membentuk wajah Islam urban Hindia Belanda, serta mengulas secara komprehensif berbasis data dan manuskrip mereka yang berafiliasi (antek) pada kekuasaan kolonial Belanda.

Kita akan meninjau kasus-kasus konkret dari kota-kota seperti Batavia, Surabaya, Makassar, dan Minangkabau, sekaligus membandingkan respons komunitas pribumi terhadap penetrasi budaya-dakwah Hadhrami ini.

Pada akhirnya, bab ini akan membawa kita pada pemahaman bahwa sejarah Islam di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari pertarungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan spiritualitas, di mana sufisme dan tarekat yang menjadi ciri khas para ulama Pribumi mengalami degradasi bukan hanya karena kekuatan kolonial, tetapi juga karena manipulasi kultural oleh aktor-aktor imigran hadrami yang sengaja dihadirkan oleh pemerintah kolonial dan diperkenalkan sebagai dzurriyah nabi.

Dan dari sinilah lembaran kelam sejarah dimulai, ketika Proyek Etis Belanda dijalankan bukan untuk membebaskan, tetapi untuk menjinakkan. Ketika taqiyah dijadikan strategi kolonial, dan para imigran Hadrami dijadikan pion dalam bidak kekuasaan yang licik. Dalam balutan jubah kesalehan, lahirlah generasi baru yang tak sadar bahwa mereka sedang diarahkan, dijauhkan dari roh perjuangan, dari denyut sufisme yang membebaskan. Sejak saat itu, peradaban Islam di Nusantara perlahan dikikis, bukan oleh kekerasan, tetapi oleh keterasingan dari jati dirinya sendiri.

Namun sejarah belum selesai. 

Saat ini, waktunya telah tiba, untuk bangkit. Untuk menyusun ulang mosaik peradaban yang tercerai. Untuk merebut kembali ruh Islam yang merdeka, spiritual, dan berdaulat. Inilah panggilan untuk generasi baru, untuk menggali, memahami, dan menegakkan kembali sejarah yang pernah membuat kita jaya.

Bangkitlah, wahai pewaris ruh peradaban! Rekonstruksi bukan sekadar narasi, ia adalah jihad intelektual, spiritual, dan historis. (Bersambung ke Sub Bab 10.2)

Referensi:

1. L.W.C. van den Berg, Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien, (Batavia: Landsdrukkerij, 1886), hlm. 29–34.

2. Snouck Hurgronje, Advis en rapporten betreffende het beleid der Regeering van Nederlandsch-Indie ten opzichte van de Islam, Vol. I (Den Haag: Nijhoff, 1911), hlm. 172–181.

3. Michael Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (London: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 88–90.

4. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 178–185.