Tasawuf dalam Pilar Sunnah (Bagian 1)

Tasawuf Mengakar pada Sunnah Nabi Muhammad Saw
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari metode pembersihan hati, dengan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya sehingga ia akan dapat menjadi pribadi yang luhur dan berakhlaq mulia (Fahrudin, 2016). Tasawuf tidaklah berjalan tanpa sebuah landasan, ia memiliki sebuah fondasi normatif kuat yang terdapat dalam Qur’an dan Hadits Nabi Saw, juga pendapat para ulama.
Tasawuf berasal dari Islam sendiri karena mengakar pada ajaran Nabi Muhammad Saw (Bentounes, 2003). Beberapa ayat yang tertera dalam Qur’an menunjukkan sebuah pemahaman bahwa norma hukum tasawuf berasal dari jantung Islam sendiri, dan bukan berasal dari eksternal di luar ajaran Islam (Qs. [87]:14-15).
Bahkan Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pembersihan hati melalui dzikir didorong oleh rasa khidmat sesuai dengan sunnah (al-Ghazali, 2014: 104). Tasawuf sangat berkaitan dengan bangunan akhlaq manusia yang menjadi dasar utama kenabian Muhammad Saw (Qs. [68]:4). Norma hukum keberlakuan tasawuf dapat disimak dari Hadits:
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
- Baca Juga: Polemik Ucapan Selamat Tahun Baru
Hadits di atas menjelaskan tentang konsep Ihsan, tasawuf adalah aplikasi ihsan dalam diri seorang muslim. Tasawuf melatih hati seorang muslim untuk selalu merasa diawasi oleh Allah dalam dirinya, sehingga secara bertahap terjadi perubahan akhlaq menuju akhlaq yang baik. Ketika dirinya merasa dalam pengawasan Allah secara penuh maka perilakunya akan selalu berjalan di jalanNya karena hatinya terikat olehNya. Disinilah akhlaq yang mulia muncul, sebagaimana hadits berikut:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq manusia” (HR. Baihaqi).
Dalam Hadits lainnya Rasulullah Saw bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging yang jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik dan jika ia buruk maka seluruh tubuh ikut buruk. Ketahuilah bahwa daging tersebut adalah hati” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor” (HR. At-Tirmidzi)
Tasawuf membangun kembali akhlaq mulia, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw (Qs. [33]:21). Rasulullah Muhammad Saw adalah contoh sempurna pelaksanaan tasawuf (Badrudin, 2015). Tasawuf bersumber dari Sunnah Rasulullah Saw yang coba dicontoh oleh umatnya. Bahwa Sunnah bukan saja perbuatan fisik Rasulullah Saw semata, tetapi juga akhlaq, jiwa dan hati beliau. Bukan harta dan pakaian yang membentuk kemuliaan manusia, melainkan hati. Bahwa hati dan akal akan membentuk sebuah perilaku yang baik ataukah buruk. Hati seseorang menentukan totalitas nilai sebuah tubuh, maka Rasulullah Saw sendiri yang mengajak manusia untuk selalu memperhatikan hatinya.
- Baca Juga: Thariqah dan Kebangsaan
Tasawuf berupaya membentuk kembali perilaku manusia yang telah keluar dari landasan-landasan etika dan akhlaq. Tasawuf mengajarkan sebuah perilaku yang menjunjung tinggi akhlaq dalam sebuah peradaban manusia. Tasawuf berpijak pada ajaran yang tertera pada Qur’an dan Sunnah, yang sudah dicontohkan dan sudah terdapat perilaku-perilaku zuhud terhadap dunia dalam kehidupan Nabi Saw, para Sahabat, dan generasi sesudahnya (Hafiun, 2012).
Tasawuf dalam Timbangan Fiqh
Beberapa pihak acapkali menuduh bahwa tasawuf merupakan jalan sesat, karena pelaku tasawuf dituduh meninggalkan hukum-hukum Tuhan yang tertera dalam syariah dan fiqh para ulama. Pemikiran semacam ini sangat tidak tepat dan merupakan buah dari ketidakfahaman atas ilmu tasawuf secara mendalam. Bertasawuf tidak bermakna menjauhi syariat Allah, justru semakin mendekatinya. Imam Malik berujar:
“Barangsiapa bertasawuf tanpa fiqih maka akan menjadi zindiq, barangsiapa berfiqih tanpa tasawuf maka akan menjadi fasiq, dan barangsiapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat”
Pendapat Imam Malik di atas bahwa bertasawuf juga harus melandaskan dirinya pada fiqh, dengan bertasawuf tidak berarti bebas untuk menolak kewajiban-kewajiban hukum-hukum syariah dan fiqh yang diwajibkan padanya. Dengan bertasawuf tidak bermakna bebas untuk tidak lagi menjalankan sholat dan ibadah wajib lainnya. Dengan merasa kedekatan hubungan dengan Allah maka ia bebas untuk tidak menjalankan hukum-hukumNya, inilah yang menjadikan ia jatuh pada zindiq. (Maulana, 2017).
Imam Syafi’i juga menyatakan hal yang senada dengan Imam Malik:
“Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu. Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik”.
- Baca Juga – Refleksi Tasawuf: Meneladani Sifat Ar-Rahman
Menurutnya menjalankan fiqh tanpa tasawuf akan mengeraskan hati, maka itu beliau menganjurkan paduan keduanya yaitu tasawuf dan fiqh. Imam Syafi’i sama sekali tidak mengharamkan tasawuf, bahkan beliau berkumpul bersama dengan kaum Sufi untuk memperoleh 3 buah ilmu: bagaimana seseorang berbicara, bagaimana seseorang memperlakukan orang lain dengan kelembutan hati dan kasih sayang, serta membimbing ke jalan tasawuf (Cahyana, 2021).
Bertasawuf adalah sebuah proses peningkatan tahapan ibadah manusia, dari ibadah yang semata dijalankan karena hendak menggugurkan kewajiban menjadi sebuah ibadah yang menuju tahapan ihsan. Sebuah tahapan ibadah dimana ia merasa seolah-olah Allah selalu melihatnya, mengawasinya dan jiwanya selalu bersamaNya. Bertasawuf adalah menghubungkan sebuah relasi cinta antara manusia dengan Tuhannya. Bahwa ketika ia menjalankan kewajiban ibadah, ia menyadari secara penuh hadirnya Allah dengan segenap cintaNya kepada semua hamba-hambaNya.
Bahwa dengan melaksanakan tasawuf ia menjalankan hukum-hukum Tuhan sebagai bentuk kasih-sayang Allah padanya, dan bukan sebagai beban. Bahwa dengan bertasawuf ia menjadikan sholat sebagai sebuah relasi paling intim penuh kasih-sayang antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan demikian setiap tindakan perbuatan yang dilakukannya selalu menyertakan Dia di dalamnya. Allah berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi:
“Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.” (H.R. Bukhari).
- Baca Juga – Habib Luthfi: Bertindak Ilmiah dan Bangun Jati Diri Bangsa Kunci Cepat Turunkan Stunting
Sebuah hubungan yang tak terpisahkan antara seorang hamba dengan Tuhannya, bahwa ia merasa selalu melekat denganNya. Bahwa semua hal yang ia lakukan baik dalam mendengar, melihat, berucap, berbuat, dan melangkah selalu ia rasakan berada dalam kebesaran cinta dan keagunganNya. Bahwa dengan bertasawuf ia juga menjadi semakin dekat dengan manusia lainnya, mambangun sebuah relasi sosial yang jauh lebih bermartabat. Dengan bertasawuf menjadikan seorang manusia membangun dunianya sebagai pijakan menuju Allah semata, sehingga ia memperlakukan sesamanya tidak lepas dari ia memperlakukan dirinya dihadapan Tuhannya.
Bahwa sebuah relasi transcendental antara manusia dengan Tuhannya tidak lagi dilandaskan pada motif untung-rugi semata melainkan sebuah relasi cinta, maka semua ibadah yang ia lakukan dipenuhi oleh totalitas cinta kepadaNya. Ia tidak lagi berharap kepada manusia, yang ia lihat dan ia pandang hanyalah Dia di dalam relung jiwanya. Maka baginya ibadah adalah sebuah hubungan cinta, dan ketika ia tidak beribadah kepadaNya, maka ia memutus cinta yang telah terbangun antara ia dengan Allah al-Haqq.
Konklusi
Dengan bertasawuf seorang hamba justru semakin meningkatkan tahapan ibadahnya dan tidak semakin meninggalkannya. Ia bertasawuf untuk meningkatkan kedekatan hubungan dengan Allah, menumbuhsuburkan rasa cinta denganNya dan sesama manusia, membersihkan hati dan jiwanya dari debu-debu dunia yang mengotorinya. Bertasawuf adalah Sunnah, karena dengan bertasawuf manusia diharapkan selalu membentuk karakter akhlaq mulia sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. Tasawuf juga sekaligus mengingatkan manusia bahwa ia tidak pernah sekalipun lepas dari pengamatan dan jangkauanNya, maka setiap jiwa akan selalu dituntut untuk membersihkan hati dan jiwanya.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Asy- Syam [91]: 9-10).
Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)