Tasawuf dan Nilai Keadaban

Tasawuf dan Nilai Keadaban

Agustus 30, 2023 - 11:09
 0
Tasawuf dan Nilai Keadaban

Manusia Sang Pencari Tuhan

Manusia terus mencari kebenaran dan segala kesejatian dalam hidupnya. Bahwa pencarian kebenaran mengarahkannnya pada nilai dan gagasan spiritual yang mampu membuka ruang kebenaran baru ketika akal terasa terhenti menguak tabir. Hati (dan tentunya akal) menjadi pintu-pintu untuk membuka rahasia ketuhanan yang terus dicari dalam peradaban manusia. Akal mencari dalam lapisan raga dan rasional, hati mencari kebenaran-Nya pada tingkat kedalaman spiritualisme jiwa manusia. Dalam lapisan metode hati inilah tasawuf hadir untuk membuka rahasia yang hendak dibuka oleh manusia.

Tasawuf merupakan bentuk dari ajaran yang bersumber pada Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Jika Syariah bekerja pada tingkatan gerak fisik manusia, maka tasawuf bergerak pada lingkaran dalam struktur manusia, yaitu hati dan jiwa. Tasawuf merupakan bentuk upaya manusia untuk memperbaiki kondisi internal jiwanya, bahwa manusia selain memperbaiki sisi raga, ia juga perlu memperbaiki sisi jiwanya. Bahwa manusia membutuhkan sisi kedalaman nilai spiritualisme sebagai bukti yang menunjukkan bahwa ia bukanlah hewan ataupun juga malaikat. Tasawuf membentuk kembali manusia yang telah jauh dari Tuhannya.

Tasawuf dalam bahasa lainnya juga disebut dengan kata tazkiyatun nafs atau pembersihan dan penyucian hati. Ajakan Qur’an untuk membersihkan noda yang tampak melekat menjadikannya menjadi sebuah kewajiban. Manusia yang selalu diminta oleh Allah Swt untuk selalu membersihkan hati, dan mereka itulah yang beruntung (Qs.[91]:9–10). Pembersihan jiwa yang terkotori oleh kecintaan yang mendalam kepada dunia terus dilakukan melalui ragam metode baik membaca dan mentadaburi Qur’an (Qs.[3]:164), dzikrullah (Qs.[33]:41–42), serta Zakat (Qs.[9]:103). Maka perlu difahami bahwa tasawuf juga bagian dari perintah Allah yang tertera dalam Qur’an. 

Allah dicari dalam ruang jiwa manusia, ketika ia tak lagi mendapatkan kepuasan batiniah manusia. Dia Sang Maha Mengetahui, ketika manusia berusaha memenuhi ruang batinnya yang kosong, ia menyadari bahwa ruang ini hanya dapat diisi olehNya. Segala apa yang ada dihadapannya menjadi objek pencarian jiwanya, tetapi segala yang ia telah dapatkan tidak mampu memenuhi ruang batin terdalam. Dunia bukan materi yang mampu memenuhi ruang, melainkan jiwa yang tenang terpenuhi oleh cahaya ketuhanan (Qs.[89]: 27–30).

Bahwa Allah hadir dalam jiwa dan hati setiap hamba dan memenuhi ruang sadarnya. Manusia adalah ketiadaan dihadapanNya, ia tak berarti dihadapanNya. Manusia bagai setetes air di ujung jari di tengah samudera tak bertepi. Hendak kemana ia melangkah, ia selalu berada dalam jangkauanNya. Bahwa hanya ada Dia, yang lain tak lebih dan tak berarti. Ia yang melimpahkan cahaya Rahman dan RahimNya.

Pembentukan Keadaban Manusia

Tasawuf membentuk perilaku manusia yang selalu berupaya mendekat kepada Tuhan. Bahwa perilaku manusia dibentuk kembali menjadi manusia-manusia yang membuang jauh semangat duniawi yang telah membelenggunya selama ini. Pendekatan tasawuf dilakukan untuk membersihkan , menjernihkan, dan membeningkan hati yang telah ternoda oleh debu dan karat dunia. Rumi melalui bait-bait berujar:

“Sesungguhnya Aku lah akhirmu. Jika Aku katakan jangan Engkau pergi ke sana, sungguh aku adalah kekasih-Mu. Aku adalah sumber kehidupan di titik ketiadaan”

Manusia yang selalu menjadikan Dia sebagai ujung dari segenap curahan hidupnya, Allah menjadi sumber dari segenap kehidupan manusia ujar sang Syaikh Jallaludin Rumi. Rasa Ketuhanan membentuk akhlaq setiap manusia, bahwa bukan nilai kebendaan yang dicari dan menjadikannya menjadi manusia, melainkan kedekatan kepada Allah semata yang menjadikannya ia manusia sesungguhnya.

Manusia yang menyadari hatinya telah begitu penuh dan padat oleh nafsu yang membius, bagaimana hendak meletakkan Tuhan dalam hatinya? Lalu hendak kemana ia melangkah ketika hatinya telah penuh sesak oleh nafsu menguasai dunia dengan segenap kemewahannya? Dimana ia letakkan cintaNya di dalam hati? Masih adakah ruang di dalam kalbu untukNya? Inilah hakikat arti penting tasawuf bekerja membersihkan hati yang telah penuh sesak oleh sampah dunia yang mengarat.

Manusia yang sejatinya melangkah dengan getaran kalbu ketuhanan, berdetak seiring dengan cahaya Rahman dan RahimNya di dalam kalbu. Ia yang terus menerus perlu memperbaiki ruang hatinya yang begitu cepat penuh oleh debu-debu yang mengotori bening hati. Allah melalui tasawuf berupaya memperbaiki jiwa manusia terdalam, bahwa bukan hanya badan yang perlu dibersihkan dari noda, melainkan hati yang ini begitu tersamar: iri, dengki, hasut, dendam, sombong, riya’, dan kotoran hati lainnya.

Tasawuf membentuk ulang akhlaq manusia, membentuk kembali manusia sebagai makhluk yang beradab dan selalu menjunjung tinggi nilai keadaban. Ia menjadi manusia bukan karena mampu merengkuh kekuasaan dan harta, melainkan sejauhmana ia mampu meletakkan Allah di dalam hatinya yang terdalam, dan tidak tergoda oleh dunianya (Qs.[63]:9). 

Ia bagai terompah atau sandal, dimana ia dapat dipijak oleh siapapun tanpa dirinya mengeluh. Terompah telah menyelamatkan manusia dari jalan yang berbatu, serta panas yang menyengat. Inilah makna terdalam bagi manusia yang telah mendekat kepada Allah, bahwa dirinya menjadi penolong, penyelamat bagi manusia lainnya. Ia selalu dibutuhkan oleh banyak orang tanpa harus merasa dirinya paling unggul layaknya peci yang terletak di atas kepala. Sebagai terompah ia selalu dipijak oleh siapapun, dan ia akan selalu dibutuhkan oleh siapapun. Inilah akhlaq yang meneladani perilaku manusia, ia menjadi alas dari segala permasalahan dunia, sekaligus mampu menyelesaikan segala masalah dunia kepada siapapun yang membutuhkannya.

Sekumpulan manusia yang memiliki akhlaq akan menentukan bagaimana kelanjutan perjalanan peradaban manusia itu. Akhlaq, adab menjauhkan manusia dari perilaku tercela, karena ia akan mampu mengekang kehendak hewani manusia yang selalu ingin menguasai dan menundukkan. Hukum dan seperangkat norma yang dihadirkan tidak akan mampu berjalan jika tak ada akhlaq untuk menggerakkannya. Hukum yang berada dalam lapisan luar, ia tak mampu bergerak ketika dijalankan oleh orang tak berakhlaq. Beragam norma hukum yang menghukum perilaku korup telah dihadirkan, tetapi ketika akhlaq tak berjalan maka perilaku koruptif menjadi semakin subur.

Tasawuf membentuk akhlaq manusia, ia mengikat jiwa batiniyah manusia selalu melekat pada Allah. Bahwa bukan dirinya yang menjadikan segalanya, bahwa bukan manusia yang menentukan, melainkan Dia Sang Maha Agung. Bahwa manusia yang selalu mengikat dengan kehendakNya, akan selalu membentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai kebajikan. Maka dunia baginya tidak melenakannya, ia menggerakkan dunia sesuai dengan kehendakNya. Bahwa hanya Allah yang ada, dan manusia menjadikanNya sebagai titik tolak dari segala perbuatannya. 

Tasawuf dibutuhkan oleh sebuah bangsa untuk membangun kembali sebuah bangunan masyarakat yang beradab. Tasawuf bukan sekedar bermakna hubungan eksklusif nan transenden semata antara dirinya dan Tuhannya, melainkan tasawuf juga diharap mampu membentuk perilaku kesalehan sosial tiap individu dalam masyarakat. Pembentukan sekumpulan manusia yang selalu melekatkan dirinya dengan Allah akan memberi dampak pada perilaku etik sosialnya. 

Tasawuf juga mengajarkan sebuah pendalaman nilai agung tauhid. Hanya Allah diletakkan di dalam hati, dan bukan dunia serta selain-Nya. La illaha illallah, bahwa hanya Allah tidak ada selainNya. Dalam masyarakat yang semakin moderen, bahkan cerdas teknologi, segala apapun selain Allah dapat dipertuhankan secara halus dan tak disadari: harta, kekuasaan, kedudukan, kepandaian, dan apapun itu yang akan mampu menjadikan manusia menjadi tamak dan angkuh bahkan memunculkan sifat sombong dan rakus. Tasawuf mengembalikan kesadaran manusia, bahwa ia bukanlah siapapun. Manusia hanya tetes air dalam luas samudera, maka ia bukanlah siapapun dan apapun. 

Penulis merupakan Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia