Bolehkah Meminta “Nazhrah wa Madad” dalam Tarekat?

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi November 2005, Pertemuan Sufi III (al-Multaqa ash-Shufi ats-Tsalits) telah berlangsung sukses nan berkah di bulan suci Ramadhan tahun 1426 H. bertempat di kediaman Syekh Muhammad Abdul Khaliq asy-Syabrawi, Mursyid Thariqah Syabrawiyah. Pertemuan yang mengusung tema “Pancaran Cahaya Nazhrah Kunci Limpahan Madad” dan dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi, itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:

Agustus 30, 2023 - 05:37
 0
Bolehkah Meminta “Nazhrah wa Madad” dalam Tarekat?

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi November 2005, Pertemuan Sufi III (al-Multaqa ash-Shufi ats-Tsalits) telah berlangsung sukses nan berkah di bulan suci Ramadhan tahun 1426 H. bertempat di kediaman Syekh Muhammad Abdul Khaliq asy-Syabrawi, Mursyid Thariqah Syabrawiyah. Pertemuan yang mengusung tema “Pancaran Cahaya Nazhrah Kunci Limpahan Madad” dan dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi, itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, antara lain:

1. Tradisi Mulia Perlu Dipahami Landasannya.

Di antara sekian tradisi mulia yang telah diwariskan para leluhur sufi, khususnya di Timur Tengah, adalah ucapan memohon nazhrah wa madad. Tidak jarang dari kalangan pengamal tarekat dan umumnya kaum sufi di Mesir yang senantiasa mengucapkan serta memohonkannya. Sebagian dari mereka tidak mengerti hakikat ucapan atau permohonan tersebut, namun mereka meyakini kebenaran dan kemuliaannya, tiada lain karena telah diajarkan bahkan ditradisikan oleh guru-guru mulia mereka. Landasan utama mereka adalah kepercayaan penuh pada guru-guru sufi yang diyakini kokoh sanad keilmuannya.

Hanya saja, acapkali mereka dihadapkan dengan orang-orang yang gagal paham seraya menentang tradisi mulia tersebut. Meskipun kegagalpahaman orang lain tidak sekali-kali dapat menodai kebenaran yang diyakini pada nazhrah wa madad, akan tetapi ibadah yang didasari ilmu tentu lebih baik daripada ibadah tanpa didasari ilmu, sehingga para pengamal tarekat yang senantiasa memohon nazhrah dan madad sebaiknya mengerti tentang landasan ilmiah serta hakikat dari nazhrah wa madad itu sendiri.

Apabila telah memahami esensi dan urgensi dari nazhrah wa madad, maka menerangkannya kepada orang lain pun tentu harus dengan bahasa yang sederhana serta cara yang bijaksana, sebab itulah metode dakwah para sufi sesungguhnya. Rasulullah Saw. bersabda:

“أُمِرْنا أن نُكلِّمَ الناسَ على قدْر عقولِهم” (رواه الديلمي)

Kami/kita diperintahkan untuk berbicara kepada orang lain sesuai kemampuan akal mereka.” (HR. ad-Dailami)

2. Nazhrah dan Madad dalam al-Qur’an.

Secara bahasa, nazhrah berarti pandangan/tatapan mata (baik mata kepala maupun mata hati), sementara madad artinya tambahan yang banyak atau berlimpah. Di dalam al-Qur’an, dua kata tersebut dapat ditemukan pada sejumlah ayat, antara lain:

“وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا” (الكهف: 28)

Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang memohon kepada Tuhan mereka di waktu pagi dan senja dengan mengharap ridho-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia.” (QS. al-Kahf: 28)

“لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا” (البقرة: 104)

Janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad): “Ra’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna (pandanglah kami).”” (QS. al-Baqarah: 104)

“وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ” (لقمان: 27)

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)-nya, niscaya tidak akan ada habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.” (QS. Luqman: 27)

“قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِماتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا” (الكهف: 109)

Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku”, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. al-Kahf: 109)

Ayat-ayat di atas telah diterangkan para ulama dengan beragam penafsiran. Salah satunya sebagaimana disepakati guru-guru tarekat dalam Pertemuan Sufi III di Mesir, Oktober 2005 lalu. Ya, terkadang kita tidak menyadari bahwa tradisi memohon nazhrah dan madad dari para wali sesungguhnya memiliki landasan yang kokoh dalam Qur’an maupun Sunnah. Persoalannya, bekal ruh tidak jarang menjadi asing di mata logika. Itulah sebabnya diperlukan hati yang jernih, jiwa yang tenteram serta nurani yang meresapi manisnya ridho, sehingga timbullah diam yang panjang nan padat akan hikmah-Nya.

3. Bekal Hidup di Akhirat Hanya Dapat Disiapkan di Dunia.

Apabila seseorang berencana untuk bepergian jauh ke suatu negara yang tak pernah dikunjungi olehnya, maka hal pertama yang ia lakukan adalah menanyakan kepada orang-orang yang pernah berkunjung ke negara tersebut: Apa yang sekiranya dibutuhkan di sana, dan apa yang sulit bahkan mustahil didapatkan di sana?. Setelah ia mengetahui apa saja yang sangat dibutuhkan di negara tersebut, sementara tidak tersedia di sana dan hanya tersedia di negara asalnya, maka tentulah ia menyiapkannya terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya sebelum mulai bepergian. Nah, seluruh manusia pasti akan bepergian ke akhirat, sementara bekal hidup aman di akhirat hanya tersedia dan dapat disiapkan di dunia. Itulah yang sesungguhnya dimaksudkan dalam firman-Nya:

“وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا” (القصص: 77)

Dan janganlah kamu melupakan nasibmu (bekalmu di akhirat) dari (sewaktu hidupmu di) dunia.” (QS. al-Qashash: 77)

4. Nazhrah Adalah Modal Keselamatan di Akhirat.

Terlebih, apabila yang memberitahukan kepada kita tentang apa saja yang sangat dibutuhkan kelak di akhirat adalah Allah Swt. Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya, maka haruslah kita bersungguh-sungguh memperhatikan dan menyiapkannya di dunia. Allah Swt. menceritakan:

“يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُم بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنتُمْ أَنفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنكُمْ فِدْيَةٌ وَلَا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلَاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ” (الحديد: 13-15)

Pada hari (kiamat) ketika orang-orang munafik laki-laki maupun perempuan berkata kepada orang-orang beriman: “Pandanglah (berikan nazhrah kepada) kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu sekalian”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang (ingatlah masa lalumu di dunia) dan carilah sendiri cahaya (untukmu berupa pandangan dari orang-orang beriman)!”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya terdapat rahmat dan di sebelah luarnya dari situ terdapat siksaan. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang beriman) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?.” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan darimu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu adalah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah seburuk-buruk tempat kembali.”” (QS. al-Hadid: 13-15).

Pada ayat-ayat di atas diceriterakan dengan begitu jelas dan terperinci bahwasanya orang-orang munafik kelak di akhirat akan memohon nazhrah (pandangan mata) dari orang-orang beriman, agar dengan nazhrah tersebut mereka dapat memperoleh keselamatan, berkat cahaya orang-orang beriman. Maka dikatakanlah kepada mereka: “Flash backlah kalian ke dunia dan ingatlah apakah dahulu kalian pernah memohonnya!.”

Selanjutnya, orang-orang munafik itu terhalang oleh sebuah dinding yang berpintu, namun hanya cahaya iman lah yang mampu membukanya. Karena semakin dijauhkan dari orang-orang beriman, orang-orang munafik pun bersorak memanggil-manggil mereka seraya berkata: “Bukankah kami pernah bersama-sama dengan kalian (sewaktu di dunia)?.” Sungguh, orang-orang munafik itu berjuang keras untuk selamat dari lapisan terendah dari api neraka, hanya dengan nazhrah-nya orang-orang beriman!. Sayang seribu kali sayang, terlambat sudah usaha mereka!. Orang-orang beriman pun membalas mereka: “Ya, kalian memang pernah bersama-sama dengan kami di dunia, hanya saja kalian merasa paling mulia, mengharapkan kami hancur, meragukan kemuliaan tradisi kami, dan senantiasa berangan-angan kosong, serta terpedaya oleh tipuan syaitan yang terkutuk!.”

Dapat disimpulkan dari ungkapan orang-orang beriman di atas bahwa kebersamaan dengan orang-orang shalih selama dunia adalah modal terbesar untuk meraih keselamatan di akhirat. Namun dengan catatan, kebersamaan tersebut didasari kecintaan dan ketulusan. Bukan kebersamaan yang disertai kesombongan, keraguan, angan-angan kosong, penghasutan dan menuruti bisikan syaithan!.

Orang-orang beriman kemudian melanjutkan: “Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu sekalian dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kalian adalah neraka. Dialah tempat berlindungmu sekalian. Dan dia adalah seburuk-buruk tempat kembali.”

5. Bahaya Menolak Meminta Nazhrah Para Wali di Dunia.

Berdasarkan tiga ayat dalam QS. al-Hadid di atas, dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa memohon nazhrah dari para wali adalah sangat penting demi keselamatan di akhirat kelak. Jika seseorang enggan memintanya di dunia, maka mau tidak mau dan suka tidak suka, ia akan berjuang memintanya kelak di akhirat, meskipun hanya sia-sia!. Dan orang yang menolak untuk memintanya di dunia, kelak di akhirat akan disebut sebagai orang munafik, sementara orang munafik di dalam al-Qur’an juga disebut fasik bahkan kafir!. Allah Swt. berfirman:

“وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ” (التوبة: 84)

Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. at-Taubah: 84)

Dalam ayat-ayat lainnya, dipertegas bahwasanya ciri utama orang-orang kafir alias munafik adalah mereka yang menghina serta menentang para wali!. Allah Swt. berfirman:

“إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ وَإِذَا انقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِم انقَلَبُوا فَكِهِينَ وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ” (المطففين: 29-36)

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang beriman (para wali). Dan apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang beriman (para wali), mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar sesat”. Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak diutus sebagai penjaga bagi orang-orang beriman. Maka pada hari ini (akhirat), orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir. Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang (nazhrah). Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka perbuat.” (QS. al-Muthaffifin: 29-36)

Akan tetapi, mengapa orang-orang beriman pada ayat-ayat di atas selalu ditafsirkan dengan para wali? Jawabannya adalah firman Allah Swt.:

“أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ” (يونس: 62-64)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Mereka lah berita gembira di dalam kehidupan dunia dan (dalam kehidupan) akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)

6. Meminta Madad dari Para Wali atau dari Allah?.

Setelah memecahkan berbagai tanda tanya seputar nazhrah, para peserta yang terdiri dari mursyid-mursyid thariqah kemudian melanjutkan pemaparan mengenai madad. Diterangkan bahwasanya nazhrah merupakan cahaya Ilahi yang dipancarkan Allah (melalui pandangan para wali) ke dalam hati hamba yang dikehendaki-Nya. Apabila hamba tersebut telah menerima pancaran cahaya nazhrah lalu merasakan ketenangan tiada tara di dalam jiwa maupun raganya, maka ia akan mencanduinya lantas terdorong untuk selalu memohon tambahan ganda dari siraman anugerah tersebut. Nah, limpahan cahaya Ilahi yang dikaruniakan itulah kemudian dikenal dengan sebutan madad.

Tapi mengapa gerangan kaum sufi selalu meminta madad dari para wali, dan tidak memohonnya langsung kepada Allah Swt.? Di sinilah kita wajib menyadari bahwa sesungguhnya madad yang dialirkan oleh para wali tidak lain adalah aliran madad yang bersumber dari Allah Swt. sebagaimana dalam al-Qur’an dinyatakan:

“قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ” (النساء: 78)

Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.”” (QS. an-Nisa’: 78)

      Bahkan, limpahan langsung dari Allah dapat berupa nikmat dan dapat pula berupa azab, sebagaimana firman-Nya:

“مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا كُلًّا نُّمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا” (الإسراء: 18-20)

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat serta berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan kebaikan. Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan tambahan/limpahan (madad) dari pemberian Tuhanmu. Dan pemberian Tuhanmu tidaklah dapat dihalangi.” (QS. al-Isra’: 18-20)

Beda halnya dengan para wali yang mana Allah hanya mengalirkan kepada mereka kenikmatan dan kebaikan, maka tentulah limpahan madad melalui mereka tidak lain berupa kemuliaan serta keberkahan. Seumpama orang yang meminum air langsung pada sumbernya, misalnya sungai Nil, maka air tersebut datangnya dari Allah Swt. Adapun orang yang meminumnya dari keran rumahnya, maka air tersebut dialirkan (melalui pipa) dari sungai Nil juga, dan sungai Nil datangnya dari Allah Swt. jua. Hanya saja, air yang diminum melalui keran telah disaring sedemikian rupa, sehingga relatif lebih aman daripada meminumnya langsung pada sumbernya.

Dengan demikian, sebagaimana Allah mengalirkan nikmat kepada para penghuni surga, maka Diapun mengalirkan azab kepada para penghuni neraka. Begitu pula sebagaimana Allah mengalirkan keburukan kepada Iblis lalu Iblis mengalirkannya kepada segenap pasukannya, maka Diapun mengalirkan kebaikan kepada seorang wali lalu wali itu mengalirkannya kepada segenap pecintanya.

Akhir kata, tidak dapat dipungkiri bahwa nazhrah dan madad sama-sama bersumber dari Allah Swt. Tapi ingat, nazhrah wa madad selalu dialirkan Allah melalui para kekasih-Nya. Dan jangan lupa pula, orang-orang munafik di akhirat kelak tidak akan memohonnya kepada Allah Swt. tapi justru merengek-rengek mengemisnya dari sebagian wali-wali-Nya!.

Sumber: Majalah at-Tashawwuf al-Islami, terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, edisi November 2005.

Penulis adalah Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur