Iman dan Ilmu

Agustus 27, 2025 - 15:28
Agustus 27, 2025 - 15:29
Iman dan Ilmu

Iman bukanlah ilmu dan pengetahuan, sebab ilmu dan pengetahuan milik akal, sedangkan iman milik qalbu (hati) manusia. Manusia dengan ilmu tidak dapat dikatakan beriman kepada Allah Ta'ala, malaikat, para Nabi, dan hari kiamat. Iblis mengetahui perkara-perkara tersebut dengan ilmu dan pengetahuan, dan Allah telah menyatakan bahwa ia kafir. 

Betapa banyak filolof berargumentasi tentang bagian-bagian tauhid dan tingkatan-tingkatannya dengan demonstrani-demonstrasi filosofis, tetapi dirinnya bukan seorang beriman kepada Allah. Sebab ilmu nya bagian dari tingkatan akal, universal, dan penalaran, dan ia belum sampai ke tingkat qalbu, partikular dan hati.

Untuk lebih memahami hal ini, perhatikan contoh berikut:

Berdasarkan burhan (argumentasi) dan pengetahuan rasional, kita semua tahu bahwa orang-orang mati tidak dapat mengganggu manusia (yang hidup), semua orang mati di dunia ini tidak dapat bergerak walaupun sekedar gerakan seekor lalat. Dan kita semua tahu bahwa di dalam kegelapan, orang-orang mati itu mati. Dalam keadaan seperti ini, di malam gelap gulita, kita takut pada orang-orang mati dan imajinasi ketakutan menguasai akal kita. Hal ini di karenakan hati tidak percaya pada hakikat aqliyah dan pengetahuan rasional tersebut belum sampai pada hati. Namun mereka berulang2 dan sering melakukan ziarah kubur di malam hari yang gelap gulita, mereka telah mengantarkan pengetahuan ilmiah tersebut kepada hati, menjadikan nya keyakinan, dan mereka tidak takut pada orang-orang mati. Bahkan mereka bisa tinggal di dekat kuburan, dan mereka tenteram dengan suasana gelap.

Kelompok pertama dan kedua, mereka sepakat bahwa orang mati tidak akan mengganggu, namun berbeda dengan keimanan. Dari sisi ini pengetahuan mereka (Kelompok pertama) tidak membawa pengaruh, tetapi keimanan Kelompok kedua membebaskan mereka dari perasaan takut imajiner.

Jadi, ilmu bukanlah iman. Hal ini secara epistimologis sesuai dengan makna iman. Sebab iman bermakna percaya, membenarkan (tashdiq), ketenangan (sakinah), pasrah (taslim) dan tunduk. Dalam bahasa Parsi bermakna, "garwidan" (berpegang pada keyakinan). Dan jelas bahwa berpegang pada keyakinan bukan lah ilmu dan pengetahuan. Sebab dalam ilmu dan pengetahuan masih ada keraraguan tidak valid dan berleh eksperimen.

Iman kepada pengetahuan-pengetahuan (ma'arif) Ilahiyyah dan dasar-dasar akidah yang benar tidak akan tercapai melainkan dengan, pertama hakikat-hakikat tersebut dicapai dengan langkah tafakur, pelatihan akal, dengan dalil ayat, penjelasan dan bukti-bukti rasional.

Tahapan ini merupakan mukaddimah keimanan. Setelah akal melewati nya, itu belum cukup. Karena kadar pengaruh dari ma'arif tersebut sangat sedikit. Maka perolehan cahaya makrifat lebih sedikit lagi. 

 Seorang salik menuju ke

Allah Ta'ala setelah tahapan akal (penalaran, pemahaman dan argumentasi), haruslah terus berusaha melakukan pelatihan hati (riyadha qalbi). Setiap riyadah akan menyampaikan hakikat-hakikat pada hati, sehingga hati bercahaya.

Sebab pengetahuan tentang Allah dalam batas akal adalah cahaya, dan setelah melalui riyadha al-qalbi Allah mencurahkan cahaya itu ke dalam hati-hati yang layak, dan kemudian hati mengimaninya.

Satu contoh, hakikat tauhid yang merupakan asas dasar makrifat dan terpancar dari nya banyak sekali cabang keimanan, pengetahuan Ilahiyyah, sifat Ruhiyah yang sempurna dan qalbiyah yang bercahaya, selama masih dalam pengetahuan rasional, tidak satupun dari tiap-tiap cabangnya yang bisa memberi pengaruh dan dampak bagi akal, dan tidakakan sampai manusia manusia pada satu pun dari hakikat-hakikatnya.

Oleh karena itu Iman terbagi kedalam Beberapa tingkatan: sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbil Asy-Syafi'i Al-Naqsyabandi :

(وَاعْلَمْ) أَنَّ اْلِإيْمَانَ أَرْبَعُ مَرَاتِبَ

 (اَلْأُوْلَى) إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ دُوْنَ قُلُوْبِهِمْ وَإِنَّمَا يَنْفَعُهُمْ فِى الدُّنْيَا لِحِفْظِ دِمَائِهِمْ وَصَوْنِ أَمْوَالِهِمْ، وَهُمْ فِى الْآخِرَةِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: (إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ)

 (الثَّانِيَةُ) إِيْمَانُ عَامَّةِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لَكِنَّهُمْ لَمْ يَتَخَلَّقُوْا بِمُقْتَضَاهُ، وَلَمْ تَظْهَرْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ الْيَقِيْنِ فَيُدَبِّرُوْنَ مَعَ الله وَيَخَافُوْنَ وَيَرْجُوْنَ غَيْرَهُ، وَيَجْتَرِئُوْنَ عَلىَ مُخَالَفَةِ أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ

 (الثَّالِثَةُ) إِيْمَانُ الْمُقَرَّبِيْنَ، وَهُمْ الَّذِيْنَ غَلَبَ عَلَيْهِمْ اسْتِحْضَارُ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ، فَانْطَبَعَتْ بِذَلِكَ بَوَاطِنُهُمْ، وَصَارَتْ بَصَائِرُهُمْ كَاَنَّهَا تُشَاهِدُ الْأَشْيَاءَ كُلَّهَا صَادِرَةً مِنْ عَيْنِ الْقُدْرَةِ الْأَزَلِيَّةِ، فَظَهَرَتْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ ذَلِكَ، فَلَا يَعُوْلُوْنَ عَلَى شَىْءٍ سِوَى اللهِ، وَلَا يَخَافُوْنَ وَلَا يَرْجُوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّ الْخَلْقَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا، وَلَا يَمْلِكُوْنَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، وَلَا يُحِبُّوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُ لَا مُحْسِنَ سِوَاهُ، وَلِهَذَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ الشاذلي رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: (وَهَبْ لَنَا حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ بِكَ حَتَّى لَا نَخَافَ غَيْرَكَ، وَلَا نَرْجُوْ غَيْرَكَ، وَلَا نُحِبَّ غَيْرَكَ، وَلَا نَعْبُدَ شَيْئًا سِوَاكَ) وَلَا يَعْتَرِضُوْنَ شَيْئًا مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَحْكَامِهِ: لِأَنَّهُ الْحَكِيْمُ، وَرَأَوْا الآخِرَةَ مَحَلَّ الْقَرَارِ، فَسَعَوْا لَهَا سَعْيَهَا

 (الرَّابِعَةُ) إِيْمَانُ أَهْلِ الْفَنَاءِ فِى التَّوْحِيْدِ الْمُسْتَغْرِقِيْنَ فِى الْمُشَاهَدَةِ، كَمَا قَالَ سَيِّدِيْ عَبْدُ السَّلاَمِ المششي : وَأَغْرِقْنِيْ فِى عَيْنِ بَحْرِ الْوِحْدَةِ حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَسْمَعَ وَلَا أَجِدَ وَلَا أَحَسَّ إِلَّا بِهَا، وَقَالَ: وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ وَحَلَّ بَيْنِيْ وَبَيْنَ غَيْرِكَ. وَهَذا الْمَقَامُ يَحْصُلُ وَيَنْقَطِعُ

Ketauhilah Imam terbagi kedalam Empat tingkatan ;

1) Iman-nya orang-orang munafik, hanya membenarkan dengan lisan mereka tanpa diyakini dengan hati, akan tetapi Iman mereka hanya berguna di dunia untuk menjaga darah dan harta mereka, sedang di akhirat sebagaimana firman Allah SWT; “Sesungguhnya orang-orang munafik akan ditempatkan di neraka yang paling bawah”.

2) Iman-nya orang-orang mu’min/Awwam. Mereka meyakini dengan hati dan membenarkan dengan lisan, akan tetapi mereka tidak berakhlak mulia dengan kehendak iman, mereka tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan Allah SWT, dan buah dari keyakinannya tidak tampak. Maka mereka ber-tadbir serta Allah SWT/mereka menganggap mempunyai tadbir/pengaturan, mereka masih takut dan berharap pada selain-Nya, dan mereka berani untuk mengingkari perintah-Nya dan larangan-Nya.

3) Iman Muqarrabin/Khawwas, yaitu mereka yang menyibukkan diri dengan menghadirkan aqidah keimanan didalam bathin mereka, sehingga keimanan mereka menyatu dalam bathin mereka. Mata hati mereka seolah-olah memandang segala sesuatu yang keseluruhannya itu dari 'ain qudrah/ketentuan azali. Maka, tampaklah hasil dari keimanan mereka. Mereka tidak meminta tolong kepada selain Allah SWT, mereka tidak takut dan tidak pula berharap kecuali kepada Allah SWT, karna mereka menyaksikan bahwa makhluk itu tidak mempunyai kemanfaatan dan bahaya baginya. Dan juga tidak kematian, kehidupan, dan kebangkitannya, dan mereka tidak mencintai selain Allah SWT karena selain Allah SWT tidak bisa berbuat kebaikan.

Oleh karena itu Syaikh Arifbillah Abu Hasan Asy-Syadzili berkata:

 “Berilah kami haqiqat iman kepada-Mu sehingga kami tidak takut kepada selain-Mu, tidak mengharap sesuatu kepada selain-Mu, tidak mencintai kepada selain-Mu, dan tidak menyembah sesuatu selain-Mu”. Dan mereka (muqarrabin) tidak berpaling dan menentang kehendak dan perbuatan serta hukum-Nya, karena sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, dan mereka berkeyakinan penuh bahwa akhirat adalah tempat yang kekal, maka mereka pun berlomba-lomba untuknya.

4) Iman-nya Ahlul Fana’ dalam ketauhidannya yang tenggelam dalam musyahadah/Khawasul khawash, sebagaimana yang dijelaskan oleh

 Sayyid Maualana Abdu As-Salam Masyisyih:

 “Tenggelamkanlah aku dalam 'ain lautan keesaan-Mu sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak mendapati dan tidak merasakan kecuali kepada-Mu. Kumpulkanlah antara aku dan Engkau dan halangi antara aku dan selain engkau”,

 (Kitab Tanwirul Al-Qulub fi Muamalat Allami Al-Ghuyub, Maktabah Al-Tawfikiyah, Al-Qaherah hal 114-115)

**************************************************

Imam Khawash dan khawasul Khawash inilah yang disebut Iman kamil.

- Iman awwam = Ilmu Yaqin ( Keyakinan dengan dasar ilmu/dalil

-Iman Khawwas = Keyakinan dengan dasar ayyan/musyahadah/menyaksikan apa yang di imani itu didalam bathinnya

-Iman khawasul Khawas = fana dan baqa dengan Haq SWT.

Iman Awwam = Iman Akal dan Ilmu

Imam khawash/Muaqarribin = Iman Wahdatul Syuhud

Imam khawasul khawash = Iman Wahdatul Wujud

Sudahkah kita mencapainya atau berusaha untuk mencapai iman kamil tersebut? Mari merenung serta bercita-citalah untuk mendapatkannya.

Budi Handoyo SH MH