Teori Martabat Tujuh dalam Kitab Ad Durrun An Nafis
Martabat tujuh adalah salah satu ajaran yang mulai populer di Nusantara sejak awal abad ke-17. Ajaran ini pertama kali disebarkan oleh Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, mufti Kesultanan Aceh.

Martabat tujuh adalah salah satu ajaran yang mulai populer di Nusantara sejak awal abad ke-17. Ajaran ini pertama kali disebarkan oleh Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, mufti Kesultanan Aceh.
Ajaran ini berdasarkan kitab At-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syekh Muhammad al-Burhanpuri al-Hindi, seorang sufi dari Gujarat, India, yang berisi tentang tujuh martabat Ilahiah, didasarkan atas pemahaman Dzuqi Imam Muhyiddin Ibnu Arabi dan Syekh Abdul Karim Al-Jilli.
Istilah martabat tujuh masih dapat kita temukan di beberapa literatur kitab-kitab tasawuf jawi diantaranya kitab Ad-Durrun Nafis karangan Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari dan kitab Syirus Salikin karangan Syekh Abdus Shammad Al-Palembani.
Dalam kitab Ad-Durrun Nafis dijelaskan bahwa Tajalli Dzat itu atas tujuh martabat tanazul dari Hidratus Sariij yaitu Hadrat Dzat yang dalam pengertian tidak menyangkut Sifat dan Asma Allah Swt. tidak dapat digambarkan oleh akal dan hissi (inderawi) yang terbatas. Mustahil apabila dimunculkan melalui ukuran akal dan inderawi. Hal itu hanya dapat dicapai dengan jalan Kasyf.
Martabat tanazul ini dapat di kelaskan sebagai berikut
1. Martabat Ahadiyah
Martabat ini dinamakan pula dengan martabat Kunhi-Dzat (كنه ذات), yaitu keadaan Dzat dari sisi zahir yang dinamakan Asma dan Sifat, tapi keduanya binasa di dalam Dzat. Tidak ada martabat lain yang lebih atas dari martabat ini. Semua martabat bersumber dari sini.
2. Martabat Wahdah
Martabat ini zahir dari segala Sifat dan Asma dengan ijmal (keseluruhan), di sinilah hakikat Muhammad saw., yaitu asal dari pada segala yang Maujud (موجود) dan hawiyatul alam (حياتن علم) atau hakikat segala alam. Segala apapun berasal dari Nur Muhammad saw. sebagaimana sabdanya:
إن الله خلق روح النبي صلي الله عليه وسلم من ذاته وخلق العالم بأسره من نور محمد صلي الله عليه وسلم
“Sesungguhnya Allah menciptakan Ruh Nabi Muhammad saw. dari Dzat-Nya. Lalu Allah ciptakan alam dengan Rahasia-Nya dari Nur Muhammad saw.” (Hadis Al-Qudsi).
ياحبابر : إن الله خلق قبل الأشياء نور نبيك من نوره
“Wahai Jabir: Sesungguhnya Allah menciptakan Nur Nabimu dari Nur-Nya sebelum adanya sesuatu.” (Hadis Al-Qudsi).
أنا من الله والمومنون مني
“Aku (Nabi) berasal dari Allah dan orang-orang mukmin berasal dariku.” (Hadis Al-Qudsi).
Agar lebih memahami, analoginya umpama matahari dengan cahaya matahari. Cahaya matahari menunjukkan tentang adanya matahari. Tetapi cahaya itu hakikatnya bukan bentuk matahari namun cahaya matahari dapat diartikan dengan gambaran makna saja. Karena bila cahayanya tak ada, kita akan mengatakan bahwa matahari itu tidak ada padahal matahari itu bukanlah cahaya.
3. Martabat Wahidiyah
Pada martabat ini, sifat dan asma memiliki arti munfashil (منفصل) yaitu terurai. Dalam martabat ini lahir pula kalam yang qadim (كلام قديم) yaitu أنه أنا الله (sesungguhnya Aku-lah Allah). Adanya nya tuturan kata (خطاب)/khithob dengan kalam qadim itu berarti ada yang dituruti yaitu alam dan sifat.
Ketiga martabat di atas adalah qadim. Adapun terjadinya tanazul Dzat (تنزل ذات) atau susunan pada tingkatan itu hanya sekadar gambaran semata (أمر اكتبارى). Sehingga tidak perlu diartikan seolah-olah terdapat tingkatan ukuran masa, ruang dan tempat.
Maka, jelas pada alam Asma dan Sifat, Ruh Muhammad menyeluruh pada hadrat Wahdah dan terurai pada hadrat Wahidiyah (الثابته علم الأعيان). Dimana segala yang maujud dan mumkin datang dari hadrat Mahabbah, sebagaiman yang disebutkan dalam hadis Rasulullah saw.,
كنت كنزا مخفيا فا حببت أن أعرف فخلقت الخلق ليعرفني
“Aku (Allah) adalah suatu perbendaharaan yang tersembunyi, lalu aku berkeinginan agar dikenal, maka Aku jadikan makhluk (Muhamamad) agar ia mengenal-Ku.” (Hadits Al-Qudsi).
Lalu, lahirlah Nabi Muhammad saw. di alam syahadah atau alam nyata ini, yang kemudian darinya, terjadi pula segala isi alam ini.
4. Martabat Alam Arwah
Pada tingkatan ini, terhimpun dan terhampar luas segala ruh makhluk yang tidak tersusun-susun.
5. Martabat Alam Mitsal
Pada tingkatan ini, terjadilah rupa tetapi tidak bisa dibagi-bagi karena amat halusnya (istilah ilmiyah atom a=tidak Tom=dibagi-bagi).
6. Martabat Alam Ajsam
Pada tingkatan ini, tejadilah hal-hal yang berbentuk dan bisa dibagi-bagi.
7. Martabat Alam Insan
Martabat ke tujuh ini adalah martabat yang terakhir. Seorang yang zahir pada alam Insan (alam manusia) kemudian sempurna makrifatnya hingga sampai pada martabat pertama, maka orang tersebut diberi gelar Insan Kamil (the perfect man).
Insan Kamil atau manusia sempurna adalah apabila seorang hamba telah terhimpun Sifat Jalal (Kemuliaan) dan Sifat Jamal (Kebagusan) yang terdapat pada diri Nabi Muhammad saw.
Pemahaman martabat tujuh di atas dapat difahami melalui kejernihan hati dan Iman, serta ma’rifat yang bersih. Dalam tingkatan ma’rifat yang lebih penting adalah mengerti dan paham, karena dengan demikian, berarti akal sudah bisa menerima. Lalu kemudian mengikuti proses berikutnya yaitu yakin.Meskipun belum menjadi keyakinan yang mantap. Apabila seseorang sudah dapat menjelajahi wilayah ‘yakin’ maka ia berarti sudah mulai memasuki nilai rasa (zauq), yang merupakan sasaran pokok dari tasawuf.
Kemudian, Jika sudah sampai pada tingkatan yang dinamakan ‘tahqiq’ atau mantapnya keyakinan, maka ia tidak akan goyah lagi dalam keadaan apapun. Seakan-akan seribu pedang dan sejuta peluru pun tidak akan mengubah keyakinannya. Apalagi kalau hanya seribu kata dan seribu dalih. Namun untuk mencapai semua itu, kita tidak boleh lepas dari bimbingan seorang guru ruhani (mursyid) yang telah wushul kepada Allah Swt. dan telah benar-benar paham ilmu tauhid sufi. Hal ini penting agar akal dan pemahaman rasa kita tidak menyimpang dari koridor syariat serta tidak melenceng dari maksud pemahaman martabat tujuh yang sebenarnya.
Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin