Fase Kehidupan di Alam Rahim (Arham) 2

September 19, 2023
Fase Kehidupan di Alam Rahim (Arham) 2

Berhubung manusia tercipta dari unsur tanah yang rendah serta unsur roh Allah yang tinggi, maka di dalam diri manusia selalu terjadi pergulatan dan tarik menarik antara bisikan-bisikan yang mengajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif yang dapat merendahkan derajat manusia–seperti memuja-muja atau menuhankan benda-benda mati (kayu, batu, patung dan karya seni serta hasil teknologi manusia), harta, tahta dan wanita, berzina, berjudi, dan korupsi, dengan bisikan-bisikan yang mendorongnya untuk berbuat baik yang dapat mengangkat harkat dan martabatnya di atas makhluk-makhluk Allah yang lain seperti beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT; memenuhi nafkah dan berbagai kebutuhan hidup dengan cara-cara yang halal sesuai dengan petunjuk Allah SWT; serta berbuat baik dan saling tolong menolong dengan sesama manusia. Oleh karena itu, tugas kita sebagai umat Islam adalah berusaha semaksimal mungkin agar dorongan-dorongan ke arah hal-hal yang positif mampu mengalahkan dorongan-dorongan yang mengajak kepada hal-hal negatif.

Hadits di atas juga menjelaskan, bahwa sesudah roh ditiupkan dalam tubuh janin ketika masih berada di alam rahim, maka Allah SWT memerintahkan malaikat untuk mencatat empat kalimat yang merupakan ketentuan-Nya terhadap janin tersebut. Yaitu rizki, ajal, amal, dan nasib baik atau buruk (bahagia atau sengsara).

Pertama; Rizki. Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah telahmenetapkan rizki bagi seluruh makhluk-Nya, dan setiap makhluk tersebut tidak akan mati sebelum rizkinya terpenuhi dengan sempurna. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Hud/11 ayat 6:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”

Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Ankabut/29 ayat 60:

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa pada hakikatnya, rizki para makhluk–termasuk manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak zaman azali dan telah tercatat di Lauh Mahfudz kemudian ditulis kembali oleh malaikat ketika manusia berusia 4 (bulan) dalam kandungan. Sungguh pun demikian, manusia tidak boleh bersikap apatis dan fatalistik. Untuk mendapatkan rizki, manusia harus bekerja keras dengan cara yang halal disertai dengan doa serta sikap tawakkal kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT telah memerintahkan hamba-hamba-Nya berjalan mencari maisyah (pekerjaan/usaha) untuk mendapatkan rizki-Nya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Mulk 15:

Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.

Demikian juga sabda Rasulullah SAW:

“Wahai  manusia,  bertakwalah  kepada  Allah  dan  sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati  hingga  sempurna  rizkinya,  meskipun  (rizki  itu)  bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”5

Rasulullah  SAW  telah  memberikan  petunjuk  kepada  kita semua tentang cara yang tepat untuk mendapatkan rizki dari Allah SWT, yaitu dengan melakukan usaha maksimal disertai doa dan sikap tawakkal sebagaimana yang dilakukan oleh burung.

Hendaknya kita dapat mengambil pelajaran darinya dalam mencari rizki. Beliau bersabda:

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rizki sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung, yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”6

Rizki akan mengejar manusia, seperti halnya ajal (masa kematian). Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti halnya ajal juga mengejarnya”7

Kedua; Ajal. Setiap makhluk yang bernyawa–termasukmanusia—pasti akan mengalami kematian. Kapan manusia akan wafat serta mengakhiri kehidupannya di alam dunia? Semua tergantung ajal (masa kematian) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Dzat Yang Maha Kuasa pada zaman azali dan dicatat kembali ketika janin berusia 4 (empat) bulan dalam kandungan. Dia-lah Dzat yang menghidupkan manusia, mematikan, serta membangkitkannya kembali. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui berapa umurnya dan jatah hidupnya di alam dunia. Demikian juga tidak ada satu pun manusia yang mengetahui kapan serta dimana akan diwafatkan oleh Allah SWT. Semua terjadi atas ilmu dan izin-Nya.

Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali ‘Imran/3 ayat 145:

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

Ajal manusia sudah dtetapkan dan tercatat di Lauh Mahfudz, tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-A’raf ayat 34

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktu (ajal)-nya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya”

Ketiga; Amal Perbuatan. Pada hekekatnya, seluruh amalperbuatan manusia, baik amal saleh (al-hasanat) maupun amal yang buruk (al-sayyi’ah) yang akan dilakukan oleh setiap manusia selama hidupnya di alam dunia, telah diketahui dan dicatat oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh malaikat ketika janin beumur 4 (empat) bulan dalam kandungan. Sungguh pun demikian, tidak ada satu pun manusia yang mengetahui apa yang tertulis di Lauh Mahfudz tersebut. Oleh karena itu, setiap manusia harus berusaha melakukan amal baik serta menghindari amal buruk. Juga harus selalu berdoa, memohon petunjuk dan bantuan kepada Allah SWT agar selalu melakukan amal yang baik serta menghindari perbuatan yang buruk, maksiat dan dosa.

Setiap amal baik yang dilakukan oleh seseorang dengan ikhlas semata-mata mengharapkan rida dan pahala dari Allah SWT pasti  akan  dibalas  berlipat  ganda  serta  manfaatnya  pasti  akan kembali kepadanya. Sebaliknya, setiap perbuatan buruk, maksiat atau dosa yang dilakukan oleh seseorang, pasti akan dibalas oleh Allah SWT  serta  mafsadah  atau  dampak  negatifnya  akan  kembali kepadanya, kecuali jika dia bertaubat dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Fusshilat ayat 46:

“Barangsiapa  mengerjakan  amal  yang  saleh,  maka  (pahalanya) untuk  dirinya  sendiri.  Dan  barangsiapa  mengerjakan  perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”.

Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Taubat ayat 105 – 106:

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai  ada  keputusan  Allah;  Adakalanya  Allah  akan  mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Amal saleh yang dilandasi oleh iman, akan mengantarkan orang-orang yang beriman meraih surga, tempat kenikmatan yang abadi. Sebaliknya perbuatan buruk, maksiat dan dosa yang dilandasi oleh  kekufuran  akan  menghantarkan  orang-orang  kafir  ke  neraka jahannam  selama-lamanya.  Sebagaimana  telah  difirmankan  dalam surat al-Bayyinah ayat 6 – 8:

‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai -sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.

Keempat ; Nasib Baik atau Buruk (Bahagia atau Celaka) Pada hekekatnya, nasib manusia, apakah nasib baik maupun nasib buruk,  bahagia  atau  celaka,  bahkan  kelak  di  akhirat,  apakah  ia termasuk akan menjadi penghuni surga atau neraka, telah diketahui dan dicatat oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh  malaikat  ketika  janin  berumur  4  (empat)  bulan  dalam kandungan. Sungguhpun demikian, tidak ada satu pun manusia yang mengetahui nasibnya yang tertulis di Lauh Mahfudz tersebut. Oleh karena itu, setiap manusia wajib berusaha melakukan berbagai amal baik  yang  akan  menghantarkannya  meraih  nasib  yang  baik  serta menghindari amal buruk yang dapat menghempaskannya pada nasib buruk dan hina. Dengan berusaha semaksimal mungkin melakukan berbagai amal yang baik, disertai dengan doa, memohon petunjuk dan bantuan kepada Allah SWT, Allah SWT akan menunjukkannya pada jalan yang lurus dan diridai-Nya, bahkan akan mengubah nasib buruknya di Lauh Mahfudz menjadi nasib yang baik. Karena Allah SWT berhak melakukan hal tersebut. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ankabut ayat 69:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa orang-orang kafir tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT sehingga menjadi penghuni neraka jahannam selama-lamanya, karena mereka tidak mau berusaha semaksimal mungkin–bahkan tidak ada kemauan— untuk mendapatkan hidayah tersebut yang akan menghantarkannya untuk menjadi penghuni surga ‘Adn. Allah SWT tidak akan merubah keadaan  seseorang,  jika  mereka  sendiri  tidak  memiliki  kemauan untuk mengubahnya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ra’du ayat 11:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Jadi   pada   hakikatnya,  seluruh  kejadian   yang   menimpa manusia atau dialaminya di alam dunia, terutama empat hal di atas (rizki, ajal, amal dan nasib baik atau buruk) telah ditetapkan oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh malaikat ketika janin berusia 4 (empat) bulan dalam kandungan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT di dalam surat al-Hadid ayat 22 – 23:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan bahwa pada hakikatnya, Allah SWT telah mentakdirkan segala sesuatu sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”8

Sungguh pun demikian, tidak ada seorang pun yang mengetahui takdir Allah SWT, terutama keempat hal yang telah disebutkan di atas. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh malas berusaha dan beramal saleh, dengan alasan bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah SWT sejak zaman azali. Memang benar, bahwa Allah telah menetapkan takdir dalam kehidupan setiap hamba. Akan tetapi Dia Dzat Yang Maha Bijaksana juga menjelaskan jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan. Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah telah mentakdirkan rizki bagi setiap hamba-Nya. Namun Dia juga memerintahkan hamba-Nya keluar rumah untuk mencarinya. Jika ada orang yang bertanya, untuk apa kita beramal atau berusaha jika semuanya telah tercatat (ditakdirkan) oleh Allah SWT? Maka, Rasulullah SAW telah menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju’syum RA. Sbb:

“Beramallah kalian, karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah sesuai dengan apa yang Allah ciptakan (takdirkan) atasnya. Jika seseorang ditakdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Dan sebaliknya, jika seseorang ditakdirkan termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang yang celaka”9

Orang yang selalu beramal saleh (berbuat baik), maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sebaliknya orang kafir atau orang yang selalu begelimang dosa, berbuat maksiat dan kerusakan di muka bumi, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju neraka. Setiap manusia diberikan kebebasan untuk memilih keinginan dan kehendaknya masing-masing. Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai peringatan atau petunjuk bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan yang lurus. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Takwir ayat 27 – 28:

“Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus’.

Hal ini menunjukkan kesempurnaan ilmu Allah SWT, juga kesempurnaan kekuasaan, qudrah dan iradah-Nya, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka, namun setiap manusia tidak dapat bergantung kepada ketetapan ini, karena tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui tentang hal-hal yang dicatat di Lauh Mahfudz. Kewajiban setiap manusia adalah berusaha dan beramal kebaikan, serta banyak memohon kepada Allah SWT agar dimasukkan ke surga. Karena Allah SWT berhak mengubah apa saja yang telah ditetapkan atau ditakdirkan kepada hamba-hamba-Nya di Lauh Mahfudz. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Ra’du ayat 39:

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki). Dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”[]


5 HR Ibnu Majah no. 2144, Ibnu Hibban no. 1084, 1085-Mawarid, al Hakim (II/4 ), dan Baihaqi (V/264), dari Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhuma. Dianggap shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dianggap shahih oleh Syaikh al -Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2607.

6 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/30 dan 52), at-Tirmidzi no.2344, Ibnu Majah no. 4164, Ibnu Hibban no. 730, Ibnul Mubarak di dalam kitab az-Zuhd no. 559, al-Hakim (IV/318), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 4108, Abu Nu’aim dalam kitab al Hilyah (X/69), dan lain-lainnya. Dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab. At-Tirmidzi berkata,”Hasan shahih.” Al-Hakim juga menilai hadits ini shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi

7 HR Ibnu Hibban (1087-Mawarid) dan lainnya, dari Sahabat Abu Darda’. Hadits ini memiliki penguat dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah no. 952.

8 HR Muslim no. 2653 (16) dan at-Tirmidzi no. 2156, Ahmad (II/169), Abu Dawudath-Thayalisi no. 557, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma. Lafaz ini milik Imam Muslim.

9 HR al-Bukhari no. 4949 dan Muslim no. 2647.