Thariqah Junaidiyah: Sejarah, Sanad, dan Ajaran

September 18, 2023 - 06:43
Desember 29, 2023 - 11:38
 2
Thariqah Junaidiyah: Sejarah, Sanad, dan Ajaran

Biografi Imam Junaid

Thariqah junaidiyah di nisbatkan kepada Imam Junaid Al-Baghdâdi. Nama lengkap beliau adalah Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi, yang memiliki julukan (laqab) sebagai Abû al-Qâsim. Gelar “al-Qawariri” disandarkan pada profesi ayahnya, yaitu seorang penjual kaca. Selain itu, beliau memiliki julukan al-Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad. Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 5).

Imam Al-Junaid merupakan salah seorang shûfi terkemuka dan ia pun seorang ahli fiqih. Beliau bermadzhab kepada Imâm Abû Tsaur. Imam Al-Junaid telah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut pada umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya dan shufi terkemuka lainnya. Di kalangan shufi, imam al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah (Tadzkirat al-Auliyâ, halaman: 370).

Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya kepada Sari al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?” Sari al-Saqati menjawab: “Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” (Tadzkirat al-Auliyâ”, halaman: 370).

Imam Al-Junaid salah seorang shufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tashawwuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tashawwuf habis dibersihkan oleh beliau. Oleh karena itu, banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tashawwuf dan kemurnian ajaran Islâm.

Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak bisa lagi baginya untuk berbuat apapun, Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan”, Imam Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala amal perbuatan akan gugur”. Ini bagiku adalah suatu pendapat yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang yang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya orang-orang yang Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh swt., karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh swt. kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.

Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak menjalankan tashawwuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tashawwuf adalah kemurnian hubungan dengan Allâh swt. yang dasarnya menghindari kesenangan dunia (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 372). Sebagaimana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh saw.: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…”.  Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh swt. tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh saw. dalam setiap keadaannya”.

Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”. Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti, karena ilmu kita ini (tashawwuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Sikap wara’, zuhud, taqwâ, tawâdhu’, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”. Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 rakaat (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, Imam al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 rakaat dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Karamah Imam Al-Junaid

Banyak sekali karâmah yang dianugerahkan oleh Allâh swt. kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya; suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir seraya bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits Nabi Saw:

Takutilah pada firasat seorang mu’min, karena ia melihat dengan cahaya dari Allâh swt”. (Artinya penglihatan seorang mu‟min yang saleh itu memiliki kekuatan).

Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, Imam al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, perkataanmu benar, dan firasatku menyuruh untuk melepaskan simbol kekafiranmu, masuk Islâmlah Engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islâm”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islâm (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 374 dan Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ, juz 2, halaman:10 dan Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:15).

Suatu hari, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al-Baghdadi menderita sakit mata. Beliau pun memanggil seorang tabib.  Tabib itu berkata: “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air” Namun ketika tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah berwudhu’, shalat, kemudian tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah suara berkata: “Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridha-an Kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan.”

Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah Engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan. “Aku berwudhu‟ untuk shalat” jawab Syaikh Junaid. Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat. “Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk” komentar tabib tersebut.”Wahai Syaikh junaid, yang sakit bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.” Sahut tabib. (Tadzkirat al-Auliyâ, halaman: 376-377).

Abu Bakar al-Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abû Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah namun sebelumnya beliau telah mangkhatamkan al-Qur’an karim. (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:17).

Sanad Tharîqah Imam Junaid

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah al-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri, yaitu Rasûlullâh Saw. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islâm tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keIslâman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islâm dipastikan memiliki sanad. Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islâm sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri, Allâh Swt. dan Rasul-Nya.

Di antara sebab kokohnya (tidak terjadi perubahan) ajaran-ajaran yang dibawa Rasûlullâh Saw. dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allâh Swt. kepada umat nabi Muhammad Saw. di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allâh Swt. terhadap umat-umat Nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasûlullâh Saw. akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat. Imâm Ibn Sirin, seorang ulamâ terkemuka dari kalangan tabi’in berkata:

“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imâm Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîh-nya).

Imâm Abdullâh ibn al-Mubarak berkata;

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata tentang urusan agama terhadap apapun yang ia inginkan”.

Silsilah tharîqah imâm Junaidî sampai Rasûlullâh Saw. adalah: Imâm Ma‟rûf al-Karkhi dari Imâm ‘Alî al-Ridlâ, dari Imâm ayahnya sendiri: Imam Musa al-Kadzîm, dari ayahnya sendiri: Imam Ja’far al-Shâdiq, dari ayahnya sendiri: Imâm Muhammad al-Baqîr, dari ayahnya sendiri: Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri: Imâm al-Husain (Syahîd Karbala), dari ayahnya sendiri: Imâm Alî ibn Abî Thâlib, Dari Rasûlullâh Saw.

Tharîqah al-Junaidiyah: keturunan Junaidi dan cabangnya adalah:

  1. tharîqah al-Khawajikan
  2. al-Kubrâwiyah
  3. al-Qâdiriyah

Ajaran dan Amalan

Imam al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Shufi memiliki:

  1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
  2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
  3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya‟kub As.;
  4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria As.;
  5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya As.;
  6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
  7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
  8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad Saw. (Tadzkirat al-Auliyâ, halaman: 387).

Imam Al-Junaid juga menyusun shalawat kubro, yang tidak dicantumkan dalam artikel ini.

Wallau a’lam bisshowab

Sumber: Sabilus Salikin (Jalan Para Salik), halaman. 222-228, Cet. Pondok Pesantren Ngalah, Purwosari Pasuruan.

Editor: Warto’i