Al-Muntahi; Risalah Hamzah Fansuri untuk Pakar Tasawuf

Kitab Al–Muntahî (The Adept/Pakar) adalah semacam kitab pedoman bagi orang yang sudah ‘ârif (pakar) dalam tasawuf. Naskah Al-Muntahî tertua adalah koleksi Perpustakaan Leiden Belanda dengan nomor panggil, Cod. Or. 7291 yang pernah ditransliterasi oleh Al Attas tahun 1970.
Drewes dan Brakel (1986) dalam buku The Poems of Hamzah Fansuri mencatat naskah Al-Muntahî dalam bahasa Jawa yang sekali lagi menunjukkan pengaruh Syekh Fanshur tersebut berada di sana. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1988) mencatat pengaruh kuat ajaran Hamzah Fansuri melalui Shams Al-Dîn Al-Sumatrâ’i terhadap kosmologi dan tasawuf di Pulau Jawa.
Kitab Al–Muntahî selain mengutip begitu banyak ayat al-Qur’an, hadis serta perkataan ahli sũfi juga merupakan penjelasan panjang lebar mengenai hubungan Allah Swt. dengan ciptaanya.
Secara umum, ada tiga hadis Nabi yang menjadi bahan dasar dalam kitab ini. Pertama, hadis “Man nazara ila syai’in walam yara Allah fihi fahuwa batilun” (Siapa yang melihat kepada sesuatu tapi ia tidak melihat Allah dalam sesuatu itu, maka penglihatannya adalah batil/salah). Kedua, hadis “Kuntu kanzan makhfiyan, fa ahbabtu an u’rafa fakhalaqtu al khulqa” (Aku adalah permata yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk). Ketiga, hadis “Ana minallah wal ‘alamu minni” (Aku dari Allah dan alam semesta dariku).
Dalam kitab ini, Hamzah banyak menganalogikan hubungan antara Allah dengan ciptaanya seperti analogi laut dengan ombak, matahari dengan cahaya, limau (jeruk purut) dengan bagian-bagian batangnya dan lain-lain sebagainya.
Isi kitab ini sepertinya mendeskripsikan ajaran tasawuf-falsafi Hamzah Fansuri yang memuat prinsip-prinsip union mystic (waḥdah al-wujǔd) kaum imanen, bukan mengajarkan ajaran creatio ex nihilo (waḥdah al shuhǔd) kaum transenden. Karena disini diposisikan antara makhluk dan khalik adalah satu kesatuan walau berbeda dalam penampakan.
Selain itu, kitab ini juga menjabarkan pokok-pokok pemikiran ontologis Hamzah berkenaan dengan hubungan antara Tuhan, makhluk dan Nabi. Hamzah menganalogikan makna kanzan makhfiyan (permata yang tersembunyi) seperti pohon yang bersembunyi di dalam biji. Walaupun pohon tersebut belum nyata, tapi secara potensial ia ada di dalam biji. Melihat Allah hadir dalam makhluk tidak seperti melihat air yang hadir dalam kain basah, karena air dan kain itu berbeda.
Melihat hubungan demikian boleh juga seperti melihat laut dan ombak, karena walaupun namanya berbeda tapi hakikatnya satu. Bahwa ombak adalah laut yang bertalu (mengalun). Nyatanya ombak, walaupun memiliki alun dan buih, tapi hakikatnya hanyalah bayang-bayang dari lautan jua. Mata batin kita tidak boleh terhalang oleh sesuatu di luar Allah, seperti melihat ombak tapi tidak dapat melihat laut.
Sebuah hadis, Al-mu’minu mir’atul mu’min. Bahwa salah satu nama Allah adalah Mu’min, dan seorang yang beriman juga merupakan mu’min. Allah menjadi cermin bagi hambanya dan hamba pun menjadi cermin bagi Tuhannya. Karena keduanya tidak bercerai seperti firman Allah, “Dia bersama kamu di manapun kamu berada (59:23)” dan “Allah lebih dekat kepada kamu daripada urat lehermu (50:15)” dan “Ia juga yang dahulu, ia juga yang kemudian. Ia juga yang nyata, ia juga yang tersembunyi (57:3)” Seperti kata Hamzah, “Seperti mengetahui ruh dan badan, ia tidak meliputi badan dan tidak pula di luar badan. Ia tidak ada di sekalian alam, baik di luar maupun di dalam. Ia seperti kilau pada permata, tidak di dalam dan tidak diluar tetapi ia memancar (zahir).”
Al-mu’minu mir’atul mu’min itu seperti orang melihat kepada cermin. Dia tidak lagi dapat melihat cermin dan hanya melihat bayangan di dalam cermin yang walaupun rupanya ada tapi hakikatnya tidak ada. Hamzah mengutip pernyataan ibnu Arabi, “Jika engkau dapat melihat, Tuhan itu (hadir dalam) kenyataan hamba. Dan jika engkau dapat berpikir, Hamba itu (hadir dalam) kenyataan Tuhan. Jika engkau orang yang bermata dan berfikir maka kamu tidak dapat melihat. Sesungguhnya Dia (Tuhan) adalah kenyataan (hadir dalam) segala sesuatu yang ketika bersamanya adalah satu (menyatu), walaupun secara zahir terlihat dengan keragaman rupa.”
Analogi Tuhan dengan ciptaan juga seperti air hujan ketika meresap dalam tanaman. Walaupun air yang turun adalah sama tapi ketika dicerna oleh beragam tumbuhan, ia akan berbeda. Pada limau dia asam, pada tebu dia manis dan pada bambu dia pahit.
Kata Hamzah, “Awalnya tiada diketahui dan akhirnya tiada berkesudahan. Zahirnya sangat tersembunyi dan batinnya tiada dapat ditemukan. Ia memandang dirinya dengan dirinya, melihat dirinya dengan Dzat, Sifat, Af’al dan Atharnya yang walaupun namanya empat tapi hakikatnya adalah satu.”
Kata Hamzah, puncak dari semua pemahaman tersebut adalah pengalaman fana yang memuncak yang melampaui pengetahuan (ilm yakin) dan penglihatan (ain al yaqin) hingga sampai haq al yakin (keyakinan sebenar-benarnya). Hamzah menyimpulkan, Tuhan itu Esa, asal makhluk adalah esa dan (dan makhluk akan) kembali kepada Esa.
Penulis: Ramli Cibro (Dosen Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh)
Editor: Khoirum Millatin