Zikir Syathariyah dan Adab-adabnya dalam Kitab Tanbih Al Masyi
Artikel ini menjelaskan zikir La Ilaha illa Allah Tarekat Syathariyah, 20 adab zikir Tarekat Syattariyah dalam kitab Syekh Abdurrauf yang berjudul Tanbih Al Masyi

Aceh, JATMAN Online - Kitab Tanbih Al Masyi adalah karya Syekh Abdurrauf Ibn Ali al Fanshuri as Singkili (1024-1105 H/1615-1693 M). Beliau adalah ulama besar sekaligus penganjur Tarekat Syathariyah di Aceh.
Tarekat Syathariyah sendiri adalah salah satu tarekat besar dunia yang didirikan oleh Syekh Abdullah al Syattar (w. 890 H/1485 M) yang berasal dari India. Tarekat ini kemudian lebih berkembang di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dan juga disebut dengan Tarekat Isyqiyah. Tarekat Syattariyah dibawa ke Aceh oleh Syekh Abdurrauf as Singkili pada abad ke-17 dari dua gurunya Ibrahim al Kurani (w. 1690) dan Syekh Ahmad al Qashashi di Madinah (991-1071 H/1538-1660 M).
Sepeninggal Syekh Abdurrauf, Tarekat Syathariyah kemudian tidak berkembang di Aceh dan justru mengalir ke Sumatera Barat dan Jawa Barat, masing-masing dibawa oleh dua murid terkemukanya yakni Burhanuddin Ulakan (1646-1704) dan Abdul Muhyi Pamijahan (1071-1151 H/1650-1730 M).
Syekh Abdurrauf adalah mufti kerajaan Aceh Darussalam sejak masa Ratu Safiatuddin (w. 1675), Naqiyatuddin (w. 1678), Zakiyatuddin (w. 1688) dan Kamalat Syah (w. 1699). Ia datang ketika arang konflik wujudiyah masih mengepulkan asap, di mana Abdurrauf harus pandai-pandai bersikap jika tidak ingin arang tersebut kembali membara dan memakan korban. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya Umdat Al-Muhtajin, Tanbih Al Masyi dan Turjuman Al Mustafid. Yang terakhir dianggap sebagai tafsir pertama yang ditulis oleh ulama Nusantara dan menjadi episterium kajian tafsir di Asia Tenggara.
Kitab Tanbih Al Masyi, selain merespon fenomena wujudiyah juga ditulis untuk menjelaskan pokok-pokok Tarekat Syathariyah, termasuk di dalamnya adab-adab zikir. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab menunjukkan sasaran pembaca yang dituju bukan saja masyarakat Melayu Nusantara akan tetapi seluruh dunia Islam. Ini sekali lagi menunjukkan kualitas ulama Melayu Nusantara dalam menghasilkan karya-karya global. Wajar jika ia kemudian disebut oleh Azyumardi Azra sebagai salah satu dari tiga aktor kunci jaringan ulama Nusantara abad ke 17 dan 18 selain Nuruddin ar Raniry (w. 1658) dan Syekh Yusuf al Maqasari (w. 1699).
20 Adab Zikir Tarekat Syathariyah
Dalam sebuah manuskrip Tanbih Al Masyi yang digunakan oleh Jama’ah Syathari dari Sumatera Barat, tertulis mengenai 20 Adab Zikir Syathari yang terdiri dari adab sebelum berzikir, adab ketika berzikir dan adab setelah berzikir. Manuskrip dengan tulisan tangan yang rapi khas abad ke 20 tersebut, sepertinya merupakan salinan paling sempurna dari kitab Tanbih Al Masyi karena nyaris tidak memiliki kesalahan penulisan maupun kerusakan.
Adapun adab sebelum berzikir ada lima yaitu taubat, mandi atau berwudhu, berdiam untuk memperoleh ketetapan hati (tahsil as shidq), dan meminta pertolongan kepada syekh. Di sana juga disebutkan bahwa meminta pertolongan syekh dimaksudkan adalah meminta pertolongan kepada Nabi karena posisi syekh adalah sebagai pengganti Nabi.
Adapun adab ketika sedang berzikir ada dua belas yaitu: Duduk ditempat yang suci, meletakkan tangan diatas paha, memakai wewangian, berpakaian yang rapi, diam di tempat yang tidak terlalu terang, memejamkan mata, membayangkan wajah syekh, fokus kepada zikir, ikhlas, mengucapkan lafaz la ilaha illa Allah, menghadirkan makna zikir dan menafikan segala sesuatu dari dalam hati selain Allah.
Adapun adab setelah berzikir ada tiga yaitu diam sejenak, mengatur nafas dan tidak meminum air sesaat setelah selesai berzikir. Adapun panduan belajar zikir Syathari di antaranya, belajar sepenuh hati kepada syekh, jangan merasa lebih pandai daripada syekh, memilih berguru kepada syekh yang kamil mukamil, berusaha bersungguh-sungguh (tidak setengah-setengah), menyatukan kehendak dengan kehendak syekh dengan tidak memiliki kehendak selain apa yang dikehendaki syekh sehingga sampai kepada maqam tauhid dan mendapat taufik.
La ilaha Illa Allah, Dzikir Syathari
Syekh Abdurrauf meriwayatkan bahwa Tarekat Syathari terhubung langsung dengan sahabat terdekat Nabi, yakni Ali Ibn Abi Thalib. Suatu ketika, Sayyidina Ali berkata kepada Nabi, “Wahai Nabi, ajarkan kepadaku jalan paling dekat, ibadah paling mudah dan amalan paling utama supaya dekat dengan Allah.” Nabi kemudian menjawab, "Wahai Ali, hendaklah kamu memperbanyak zikir La Ilaha Illa Allah.”
Lalu Nabi menyuruh Ali memejamkan mata dan mendengarkan lafaz La Ilaha Illa Allah yang diucapkan oleh Nabi sebanyak tiga kali. Ali kemudian mengucapkan lafaz yang sama sebanyak tiga kali dan Nabi-pun mendengarnya.
Menurut Abdurrauf ada banyak versi zikir yang dapat diamalkan selain La Ilaa Illah Allah, yakni Illa Allah Illa Allah, Allah Allah, Huwa Allah Huwa Allah, Allah Huwa Allah Huwa. Akan tetapi, tentu saja setiap zikir memiliki tata cara tersendiri, berdasarkan apa yang diajarkan oleh syaikh dan dilembagakan dalam tarekat-tarekat mu’tabarah.
*Penulis adalah dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh