Kitab Syarb Al-‘Āsyiqin; Minuman Hamzah Fansuri Untuk Para Pecinta

November 8, 2023 - 06:58
November 10, 2023 - 10:06
 0
Kitab Syarb Al-‘Āsyiqin;  Minuman Hamzah Fansuri Untuk Para Pecinta

Syarb al-‘Āsyiqîn atau The Drink of Lovers adalah salah satu dari risalah tasawuf yang ditulis oleh Syekh Hamzah Fansuri (w. 1527), seorang pujangga sufi Aceh abad ke-16. Syarb al-‘Āsyiqîn berarti minuman bagi orang-orang yang berahi (‘isyq). Naskah yang ada ialah koleksi Snouck Hurgronje dan satu lagi naskah dari Banten. Kini keduanya disimpan di Perpustakaan Leiden dengan nomor panggil masing-masing MS Cod. Or. 7291 dan MS. Cod. Or. 2016. Tahun 1933, Doorenbos membuat transliterasi naskah tersebut dan tahun 1970 Al-Attas memperbaharuinya. Menurut Syarifuddin seorang putra Aceh yang juga menulis tentang Syekh Hamzah Fansuri, naskah ini juga tersimpan dalam koleksi perpustakaan kuno Abu Dahlan Tanoh Abee No. 640 F Aceh Besar.

Pada akhir abad ke-17, kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Naskah Sharb versi Jawa dijumpai di Banten, kepunyaan Sulthan Abu Al Maḥasîn  Zayd al ‘Ābidîn, Raja Banten dari tahun 1690 sampai 1733 M. Versi Jawa ini kemudian disalin dan disunting serta diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Drewes dan Brakel Tahun 1986. Penemuan naskah tersebut dalam versi lain (selain versi asli berbahasa Melayu) menunjukkan bahwa pemikiran Hamzah melanglang jauh melampaui Aceh dan Barus.

Selain itu, terdapat versi lain dari Syarb al-‘Āsyiqîn, yaitu Zînah Al Wâḥidîn. Terdapat sedikit perbedaan pada muqadimah namun subtansi dan isi keduanya sama (Abdul Hadi 1995, Al-Attas 1970, Syarifuddin 2011).

Memang, Hamzah menyatakan tujuan mengarang kitab tersebut adalah untuk memberi pemahaman ilmu makrifah kepada masyarakat Nusantara yang sebagian besar ketika itu tidak menguasai bahasa Arab dan Persia. Menurut Hamzah, menjadi wajib bagi seorang untuk mencari ilmu syari’at, tarekat, hakikat dan makrifat kepada guru yang sempurna walaupun ia tidak dapat berbahasa Arab atau Persia dengan baik.

Hamzah membagi kitab tersebut kedalam tujuh bagian yaitu kajian syariat, tarekat, hakikat, makrifat, Tajalli Dzat, Sifat Allah serta Isyq dan Sukr. Hamzah memulai pembahasannya dengan mengutip hadis Nabi, “Syariat itu perkataanku, tarekat itu perbuatanku, hakikat itu keadaanku dan makrifat itu rahasiaku.” 

Bagian pertama, syariat berbicara mengenai 5 rukun iman yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Syariat juga terdiri dari 3 yaitu barang yang dilihat tidak dilarang (disebut juga hadis taqriri/ketetapan), barang yang disuruh (disebut juga hadis qauli/perkataan) dan yang diperbuat nabi (disebut juga hadis fi’li/perbuatan). Menurut Hamzah, ketiga segmen ‘ubudiyah (peribadatan) hamba meliputi syariat, tarekat dan hakikat adalah tiga serangkai di mana salah satu di antaranya tidak boleh dilupakan hamba.

Bagian kedua adalah tarekat. Tarekat juga disebut sebagai pakaian Nabi. Hamzah menyebut bahwa tarekat terdiri dari tiga tahap yaitu taubat, zuhud dan tawakkal. Menurut Hamzah, taubat artinya tidak kembali lagi kepada dosa yang telah diperbuat; zuhud artinya mencari nafkah sekedar kebutuhan sehari semalam dan tidak berlebih-lebihan; dan tawakkal artinya tidak ragu kepada jaminan Allah.

Hamzah mengutip sebuah hadis,

"Hiduplah di dunia seperti orang asing atau seperti seorang yang berjalan serta bersikaplah seolah engkau adalah penghuni kubur.”

Sebuah analogi menarik dari Hamzah, bahwa orang syariat jika memiliki yang mencukupinya sekedar dari pagi sampai sore, ia tidak boleh meminta (bekerja) sampai bekalnya habis. Adapun orang tarekat, baru boleh meminta (bekerja) jika ia tidak lagi sanggup berdiri untuk shalat. Sedangkan bagi orang hakikat, mereka bahkan tidak boleh meminta sama sekali kepada selain Allah bahkan walaupun ia hampir mati kelaparan. Bahkan, menurut Hamzah (bagi orang hakikat) ketika ia mati karena tidak meminta kepada manusia, maka matinya itu syahid hukumnya.

Bagian ketiga adalah hakikat. “Hakikat itu adalah keadaanku,” kata Nabi. Menurut Hamzah, ahli hakikat itu terbagi dua. Satu bagian mereka yang tetap bersama manusia (anak dan istri) tapi hatinya tidak tersangkut kepada mereka itu dan hanya terpaut kepada Allah semata. Sedangkan ahli hakikat yang kedua adalah mereka yang meninggalkan anak dan istri, fokus kepada Allah, fana di dalam wujud Allah dan bahkan ia juga lupa pada dirinya.

Hamzah menuliskan,

“Karena itu, bagi ahli hakikat, semua makhluk juga merupakan bagian dari kita. Semua manusia, baik kafir maupun muslim, lawan maupun kawan adalah saudara kita. Begitupun racun dan tawar, surga dan neraka, murka dan ampunan, baik dan jahat, kaya dan miskin, puji dan cela, lapar dan miskin, kecil dan besar, mati dan hidup, sakit dan nyaman, benar dan salah adalah sama saja. Karena fa ainama tuwallu fatsamma wajhullah. Siapapun yang mendapat makna fa ainama tuwallu maka apapun yang dilihatnya, yang terlihat adalah wajah Allah.”

Bagian keempat adalah makrifat. Seluruh Nabi, wali, filsuf dan mutakalim, meyakini bahwa Allah itu Qadim-bukan baharu, Khaliq-bukan makhluk, tiada berupa dan tiada berwarna, Kekal-tiada fana, tiada bercerai-tiada bertemu, tiada putus dan tiada tersambung, tiada mitsal, tiada sebangsa dan tiada sekutu dengan-Nya, tiada bertempat dan tiada bermasa. Akan tetapi mereka berbeda pandangan mengenai hubungan di antara keduanya. Menurut teolog, Allah meliputi alam semesta dengan ilmu-Nya, sedangkan ahli sufi meyakini bahwa Allah meliputi alam semesta dengan Dzat-Nya, karena Dzat Allah tiada bercerai dengan ilmunya. Berbeda dengan makhluk seumpama manusia yang dapat berpisah dari ilmunya.

Allah juga dekat (hampir) dengan makhluknya. Menurut Hamzah, berhampiran atau dekat itu terbagi kedalam 4 kategori yaitu dekat zaman (waktu), dekat jarak, dekat sifat dan dekat Dzat. Contoh kategori dekat waktu adalah bahwa zaman Nabi Muhammad lebih dekat kepada kita daripada zaman Nabi Isa. Contoh dekat jarak bahwa bulan lebih dekat dengan bumi daripada planet venus. Contoh dekat sifat (dan kemuliaan) seperti sifat kemuliaan Abu Yazid lebih dekat kepada Nabi Muhammad daripada Utbah dan Shaibah (yang keduanya merupakan musuh Nabi).

Menurut ahli sufi, Allah dekat dengan semua makhluk, para nabi, wali Allah, orang-orang shaleh, orang musyrik, kafir dan para pelaku maksiat. Akan tetapi dalam konsep makrifat, semakin seorang bermakrifat kepada Allah maka ia semakin dekat; sebaliknya semakin ia tidak bermakrifat maka orang tersebut semakin jauh.

Bagian kelima adalah Tajalli Allah. Menurut Hamzah, Dzat Allah itu la ta’yun (tak terdefenisikan dan tak tergambarkan oleh siapapun). Itu sebabnya Nabi mengatakan “Maha suci Engkau yang tiada kukenal sebagaimana kebenaran adanya.” Di tempat lain Nabi juga mengatakan” Berpikirlah mengenai ciptaan Allah dan jangan berpikir mengenai Dzat Allah.”

Definisi pertama (ta’yun awwal) terdiri dari 4 bagian yaitu ilmu, wujud, syuhud dan nur. Dari Ilmu, nyatalah Alim (yang mengetahui) dan ma’lum (yang diketahui); Dari Wujud nyata Yang Mengadakan dan yang diadakan (makhluk); Dari Syuhud nyata yang melihat dan yang dilihat dan dari Nur nyata yang menerangi dan yang diterangi. Dari ta’yun awwal, alim dan ma’lum, awal dan akhir, zahir dan batin dapat diidentifikasi (beroleh nama)

Dari ma’lum muncul a’yan tsabitah yang juga disebut sebagai surah ‘ilmiyah dan haqiqah al asya’ yang kesemua itu adalah ta’yun tsani. Adapun ta’yun tsalits adalah ruh insani, ruh hayawani dan ruh nabati. Sedangkan ta’yun rabi’ dan ta’yun khamis adalah definisi jasmani (lahiriyah) Alam semesta hingga kepada akhirnya (315-316). Kata Hamzah, “Itu sebabnya menurut Ahli Suluk, wujud alam adalah Wujud Allah, karena hakikatnya alam (walaupun secara zahir dapat kita saksikan) sungguh tidak berwujud. “

Bagian keenam penjelasan mengenai sifat Allah. Menurut Hamzah, Allah Qadim dengan tujuh sifat yaitu hayat, ilmu, iradah, qudrah, kalam, sama’ dan bashar. Kesemua sifat Allah itu dibagi kedalam jalal dan jamal Allah. Menurut Hamzah, semesta alam berjalan berdasarkan jalal dan jamal Allah. Segala yang baik datang dari jamal Allah dan segala yang buruk berasal dari jalal-Nya.

Bagian ketujuh adalah penjelasan mengenai isyq (birahi) dan sukr (mabuk). Menurut Hamzah, isyq dan sukr adalah derajat tertinggi dalam tasawuf. Orang yang isyq tidak akan takut mati, dan bahkan jika ia mati, maka ia akan menjadi syahid. Isyq adalah lawan dari akal (budi). Jika akal menghendaki kekayaan, kekuasaan, jabatan, kenyamanan, kesehatan, duduk di atas maka isyq menghendaki sebaliknya. Orang yang isyq lebih menghendaki kefakiran, sakit, hina, lapar dan duduk dibawah. Ia tidak takut neraka dan tiada pula berharap pada surga. 

Seorang yang isyq akan menyerahkan diri kepada Allah secara tajrid dan tafrid atau dalam bahasa Hamzah disebut tanggal dan tunggal. Tajrid artinya melepaskan diri (fana’) dan hal-hal yang terkait dengan diri (tanggal). Sedangkan tafrid artinya tunggal bersama Tuhan-nya (baqa’). Inilah hakikat dari la ilaha illah Allah wahdahu la syarika lahu. Apabila seorang meninggalkan diri maka ia tunggal dengan Tuhannya. Dan apabila seorang meninggalkan syirik maka ia tunggal dengan Tuhannya.

Editor: Khoirum Millatin