Nasehat Spiritual Habib Luthfi

Agama adalah kenyataan terjauh dan realita terdekat. Begitulah seorang pakar Islam pernah menyimpulkan. Kenyataan terjauh berarti agama kerap membicara kan hal-hal yang berkenan dengan apa-apa yang sulit difahami dan segala yang berada di luar lingkup penaran akal bila dilihat dari kacamata barat. Sebuah kepercayaan yang mengungkap masalah kegaiban. Dari mulai keberadaan tuhan, malaikat, alam jin dan dunia para wali.
Itulah mengapa tak heran, bila Islam terkadang dalam benak penganutnya menjadi sumber rujukan perbincangan “Kenyataan terjauh itu”. Namun itu juga mengapa yang membuat banyak orang sering bertanya/apa sih masalahnya sehingga Islam selalu saja, tiada henti-hentinya, berbicara tentang alam gaib, para wali dan lainnya, bukan itu terlalu jauh, bukankah Islam itu cukup berbicara kenyataan yang dekat saja seperti tenyang bagaimanakah cara untuk membuat hubungan baik terhadap keluarga, bagaimanakah caranya menjadi seorang pedangang atau nelayan yang islami, dan bagaimanakah caranya memperlakukan tetangga, kawan, murid, dan sebagainya? Nah sebelum menjawab itu, ada baiknya kita melihat apa yang pernah ditegaskan oleh al-Quran dalam beberapa buah ayat yang sering kita baca.
“Itulah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib” (al-Baqarah: 2-3)
Orang-orang percaya pada yang ghaib pada ayat itu adalah orang-orang yang beriman pada Allah, para nabi, para malaikat, termasuk para wali. Bukankah Allah itu ghaib? Bukankah para Nabi itu sudah wafat dan tidak lagi berada di hadapan kita (ghaib)? Bukankah para malaikat itu tidak terlihat (ghaib)? Dan bukankah para wali itu juga tersembunyi (ghaib) tersembunyi dari kita?
Nah, kalau itu kita akui, mengapa kita tidak mencoba membuat hubungan dengan yang gaib, yang tidak terlihat, yang tersembunyi, dan yang tidak lagi berada di hadapan kita, sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan?
Kalau begitu jawabanya, kita perlu pertanyakan, apakah mata pelajarannya untuk mulai memberikan beberapa pemahaman itu? Jawabannya adalah kita harus mempelajari setiap ilmu yang ditawarkan oleh Islam. dan ilmu itu telah dirangkum menjadi beberapa keterangan al-Quran, buku petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Kalau sebelum agama dikatakan sebagai realita terdekat, Islam memang hadir untuk mengatur hubungan-hubungan antar manusia, dari mulai tingkatan terkecil yaitu keluarga, hingga masalah yang pelik yaitu kenegaraan. Bahkan, perbincangan terhalus yaitu psikologi.
Psikologi, dalam Islam, adalah masalah yang selalu saja terkait dengan perjalanan spiritual seseorang. Contoh masalah psikologi Islam itu banyak sekali yang dapat dipaparkan, beberapa di antaranya adalah kondisi seseorang yang mengalami kerinduan pada tuhannya, atau seseorang yang sedang jatuh cinta kepada Rasullah SAW., dan seseorang ingin berbicara berkomunikasi dengan para wali.
Tidak cukup itu saja, bahkan psikologi Islam itu termasuk membahas masalah kondisi seseorang yang sering didatangi oleh makhluk tertentu, yang seandainya tidak terpecahkan, maka seseorang itu dapat mengakibatkan hal-hal yang sama sekali bisa kita bayangkan. Berapa banyak orang yang telah mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi, Imam Mahdi atau titisan malaikat. Itu semua terjadi karena kondisi psikologi orang itu belum siap, dan di satu pihak kenyataan, orang itu memang didatangi atau bertemu makhluk tertentu yang gemar berbohong dan menyesatkan. Inilah yang menegaskan mengapa tasawuf yang titik berat permasalahannya selalu berbicara makrifat dan hakikat, namun sesekali mencuatkan pembahasan masalah jin dan makhluk tidak dikenal, bahkan yang berhubungan dengan tradisi kejawen.
Memang nyatanya, tidak ada disiplin ilmu lain yang berhak memberikan solusi dan jawaban kecuali tasawuf yang didalamnya syariat, makrifat dan hakikat dibicarakan dengan jelas. Itulah yang membuktikan bahwa apabila ada sebuah mazhab yang menolak atau membid’ahkan tasawuf, maka para pengikutnya dengan mudah terserang penyakit kejiwaan. Sementara dengan tasawuf, seseorang diberikan pilihan untuk memasuki beberapa sekolah di dalamnya, termasuk sebuah kelas yang mengajarkan untuk memulai jihad akbar (melawan hawa nafsu) guna menyongsong jihad kecil (medan pertempuran).
Berbicara tentang tasawuf berarti berbicara tentang tarekat. Tarekat adalah sebuah kelas dimana para siswanya mempelajari berbagai hal, contohnya, mengingat allah dan rasulnya, menyadari kekurangan diri sendiri, menahan hawa nafsu, mementingkan kebutuhan manusia lain diatas kebutuhan kita sendiri dan lain sebagainya. Sarananya adalah shalat, puasa, dzikir, bershalawat, tidak membicarakan kekurangan orang lain, termasuk menapaktilasi peri kehidupan para wali. Namun semua itu ada ukurannya, ada dosisnya, dan yang berhak memberi resep nya hanya seorang mursyid, sementara orang selainya tidak akan mampu, bahkan resep yang diberikannya bisa menimbulkan penyakit lain yang tidak kita harapkan.
Habib Luthfi Bin Yahya. Jelas namanya yang sangat tidak asing bagi orang orang yang mendambakan kenikmatan spiritual. Beliau dengan sekian jabatannya seperti seorang mursyid dan ketua tarekat seluruh indonesia, tidak terasa berlebihan jika dianggap pantas untuk mulai melakukan tugas penyembuhan, dari mulai menemukan apakah jenis penyakitnya hingga meramu obat penyembuhannya. Dan kenyataannya, resep utamanya bisa kita dapatkan secara jelas didalam buku ini.
Dalam buku ini, Habib Luthfi Bin Yahya Juga menjawab pertanyaan seputar masalah tauhid, fiqh (hukum hukum agama), kasykul (serba serbi yang berkenaan dengan Islam). Itu memang karena tanya jawab ini sebelumnya pernah dimuat dalam majalah al-Kisah pada kolom konsultasi spiritual secara berkala. Maka itu, menyusunnya ke dalam sebuah buku terasa sangat penting bagi siapa saja. Semoga buku ini dapat menjadi kuliah awal bagi kita semua untuk menyongsong pelajaran tidak ringan lainnya demi kualitas keimanan. Semoga, amin ya Rabbal alamin.[Af]