Jalan Hamba Menuju Pintu Takwa

Syekh Abdus Shamad al-Palimbani, penulis buku ini adalah seorang ulama Nusantara asal Palembang yang hidup pada masa 1704-1789 M. Buku ini merupakan gabungan dua kitab Karya Syekh Abdus Shamad al-Palimbani yang ditulis dalam Bahasa arab dengan judul “Hidayatus Salikin fi Suluk Maslaki Muttaqin” dan “Anisul Muttaqin”. Karena gabungan dua kitab, pembahasannya dibagai dalam dua bagian, dimulai dari kitab “Hidayatus Salikin fi Suluk Maslaki Muttaqin”, yang terdiri dari 7 bab dan bagian penutup.
Bab 1 tentang Aqidah, Bab 2 tentang Taat Zhahir, Bab 3 tentang Menjauhi Maksiat Zhahir, Bab 4 tentang Menjauhi Maksiat Bathin, Bab 5 tentang Taat Batin, Bab 6 tentang Fadhila Adab dan Tata Cara Dzkir, Bab 7 tentang Adab Hubungan Kepada Allah & Pergaulan Terhadap Manusia, dan bagian penutup tentang Adab Berkenalan.
Sedangkan pada kitab “Anisul Muttaqin’ terdiri dari 5 bab, yakni Bab 1 tentang Lalai dan Tafakur, Bab 2 tentang Penjelasan Ilmu dan Kebodohan, Bab 3 tentang Penjelasan Akal dan Kebodohan, bab 4 tentang Orang Fakir dan Dunia, dan Bab 5 tentang Penjelasan Tawakal dan Tamak. Untuk melengkapi buku ini, penerbit menambahkan pula biografi Syekh Abdus Shamad al-Palimbani, meliputi tempat kelahiran, pendidikan dan pemikiran, wafatnya, dan alasan kenapa makam Syekh Abdus Shamad al-Palimbani berada di Thailand. Kedua kitab tersebut membahas tentang tasawuf akhlaqi yang dipelopori oleh Imam al-Ghazali. Pada kitab Hidayatus Salikin, Syekh Abdus Shamad menerjemahkan dan mensyarah kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali, yang memuat tema-tema pendidikan karakter yang kental. Sedangkan pada kitab Anisul Muttaqin, pembahasannya meliputi tiga persoalan pokok. Pertama, anjuran untuk selalu berkata benar. Kedua, mengikhlaskan seluruh perbuatan hanya kepada Allah SWT. Ketiga, menyucikan hati setiap saat. Semua tema pembahasan itu pada intinya memusatkan perhatian pada cara pencapaian makrifat kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
Sebagai sebuah kitab Tasawuf, topik pembahasan dalam buku ini tidak terbatas pada amaliah-amaliah zahir, namun meliputi pula amaliah-amaliah bathin yang menjadi karakteristik dari ajaran tasawuf.
Pembahasan kitab “Hidayatus Salikin fi Suluk Maslaki Muttaqin” diawali dengan mukadimah yang menjelaskan tentang arti Ilmu yang bermanfaat, yakni sesuatu yang menambah rasa takut kepada Allah, bertambah dalam mengetahui kejelakan diri, bertambah ibadah kepada Allah, berkurang kecintaan pada dunia, bertambah kerinduan pada akhirat, terbuka mata hati akan sesuatu yang bisa menghapus amal, berusaha menjaga diri, dan bisa melihat bagaimana tipu daya setan. Ilmu yang bermanfaat ini sangat utama dalam Islam. Beberapa hadits Nabi terkait hal ini antara lain yang artinya: “Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim dan bermanfaat jika dibutuhkan, jika ia tidak dibutuhkan, maka ia mencukupi dirinya”. Sayyidina Abdullah Abbas RA berkata: Derajat para ulama itu lebih mulia 700 derajat di atas kaum muslimin, jarak antara satu derajat dengan derajat lainnya adalah sejauh 500 tahun. Dalam bab 1 tentang aqidah, dijelaskan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu baginya. Allah itu tunggal, tiada banding bagi-Nya. Allah itu ada sejak dahulu, tiada bagi-Nya permulaan. Allah itu kekal, tiada kesudahan bagi-Nya. Allah itu maha suci, tiada menyerupai segala ciptaan-Nya. Hal-hal tersebut harus diketahui dan diyakini oleh seorang yang telah baligh dan berakal.
Pada bab 2 tentang taat zahir, dijelaskan tentang ketaatan dalam ibadah-ibadah zahir, yang berisi petunjuk, amalan, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits berkaitan dengan adab buang air besar & kecil, adab berwudhu, adab mandi, adab tayamum, adab pergi ke Masjid, adab masuk Masjid sampai terbit matahari, adab ibadah sejak terbit hingga terbenamnya matahari, adab persiapan menjalankan shalat, keutamaan shalat tasbih, faedah shalat istikharah, faedah shalat hajat, adab shalat, adab imam dan makmum, adab pada hari Jumat, dan adab puasa. Menurut Imam al-Ghazali, ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah adakalanya ada yang wajib adan yang sunnah. Ibadah wajib bagaikan ra’sul mal (modal perniagaan), sedangkan ibadah sunnah adalah laba (keuntungan) dari perniagaan.
Dalam bab 3 tentang menjauhi maksiat zahir, disebutkan bahwa seluruh anggota tubuh kita bagaikan rakyat yang kita pimpin. Sebagaimana halnya pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, kita pun akan dimintakan pertanggungjawaban atas seluruh anggota tubuh kita. Karenanya, seluruh anggota tubuh kita dengan fungsinya masing-masing harus digunakan dalam tuntunan Agama.
Pada bab 4 tentang maksiat batin, maksiat batin merupakat maksiat yang ada dalam hati meliputi segala perangai jahat dan sifat-sifat tercela, antara lain seperti: Riya, takabur, cinta dunia, Ujub, dengki, dan kikir. Sifat-sifat ini wajib dijauhi, dan bagi yang telah terjangkit wajib mensucikan hatinya dari sifat-sifat tersebut. Dalam Q.S. As-Syams ayat 8 Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. Menurut Imam al-Ghazali, Hadits Nabi SAW yang artinya: “Kebersihan itu Sebagian dari iman”, bermakna mensucikan hati dari sifat tercela dan memperbaikinya dengan sifat terpuji.
Dalam bab 5 tentang taat batin, lain halnya dengan taat zahir yang bersifat fisik, taat batin merupakan ibadah yang ada di dalam hati. Beberapa diantaranya yakni; zuhud, sabar, bersyukur, ikhlas, tawakkal, ridha atas takdir Allah, dan mahabbah (Cinta kepada Allah). Mahabbah ini merupakan salah satu martabat tertinggi yang akan menghantar seseorang kepada makrifat. Nabi SAW bersabda: “Setiap sesuatu punya sumber, dan sumber ketakwaan adalah hatinya orang-orang yang makrifat kepada Allah”. Cinta kepada Allah memiliki beberapa ciri yakni; mendahulukan apa yang diperintahkan Allah daripada yang disenanginya, selalu mengingat kematian, benci terhadap godaan maksiat dunia serta hatinya tidak condong pada harta dunia.
Dalam bab 6 tentang fadhilah, adab dan tata cara dzikir, disebutkan bahwa Syekh al-Murshafi dalam kitabnya Manhajus Salik ila Asyrafil Masalik mengemukakan 35 keutamaan bagi ahli zikir dibandingkan ibadah lainnya, antara lain; Allah akan selalu menyebut diri ahli zikir. Allah berfirman: “Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu”. Ahli zikir sangat dekat dengan Allah seakan tidak ada penghalang sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsi: “Aku Bersama hambah-Ku Ketika ia mengingat-Ku”. Terdapat 2 jenis zikir, zikir jahr (Suara keras), dan zikir sir (Suara perlahan).
Bab 7 tentang adab hubungan kepada Allah dan pergaulan terhadap manusia, meliputi adab orang alim, adab pelajar, adab anak kepada orang tua, dan adab berteman. Beberapa adab dari 17 adab orang alim yang dikemukakan dalam buku ini adalah: menanggung dan menerima risiko apapun dari seorang murid, baik pertanyaan atau pekerjaan yang memberatkan. Orang alim hendak bersikap sabar dan tidak lekas emosi kepada muridnya, dan jangan malu berkata tidak tahu atau mengucapkan “wallahu a’lam” jika masih ragu atas jawaban suatu masalah yang belum jelas persoalannya. Adab pelajar antara lain: jangan banyak bicara di depan guru, jangan bertanya kepada guru sebelum meminta izin, jangan berbisik dengan orang lain di depan guru, dan jangan berburuk sangka kepada guru jika melihat perbuatannya berlainan dengan i’tikad kita atau berlainan dengan perbuatan kita, karena guru lebih mengetahui rahasia-rahasianya seperti kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Adab anak kepada orang tua antara lain: jangan meninggikan suara melebihi suara Ibu dan Bapak, bersungguh-sunggu dalam nenuntut keridhaan orang tua dengan perkataan atau perbuatan serta merendahkan diri, dan jangan memandang kepada mereka dengan pandangan yang menyakitkan atau yang membuat mereka marah. Adab berteman antara lain: menutupi rahasia teman, menutup aibnya, turut bergimbira atas keberhasilannya dan sedih atas musibah yang menimpanya, dan memaafkan kesalahannya. Pada bagian penutup tentang adab berkenalan disebutkan bahwa manusia itu terdiri dari tiga perkara. Pertama, sahabat kita, yakni teman dan kekasih kita, kedua, orang yang kita kenal, dan ketiga, orang yang kita tidak kenal. Dalam memilih teman, hendaknya menghindari teman-teman yang dapat menjerumuskan kita ke jalan kesesatan, dan mencari teman yang menghantarkan kita kepada kebaikan. Qadi Ibnu Ma’ruf berkata: “Hati-hati terhadap musuhmu sekali dan berhati-hatilah terhadap temanmu seribu kali”.
Pada kitab Anisul Muttaqin bab 1 tentang Lalai dan Tafakur, dijelaskan bahwa kelalaian dapat mecegah berbagai kebaikan. Kelalaian merupakan kekufuran bagi seorang salik dan kesesatan bagi bagi orang bertaqwa, karena lalai dapat mendatangkan dosa, dan dosa dapat mengakibatkan kekufuran. Kelalaian juga merupakan sesuatu yang lebih memabukan yang lebih jelek dari minuman keras, karena minuman keras menutupi akal sedangkan kelalaian menutupi kebenaran. Dalam bab 2 tentang Ilmu dan Kebodohan, dijelaskan bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa amal, sedangkan amal tidak akan bermanfaat tanpa ikhlas. Alangkah mengherankan jika ada orang yang puas karena ilmunya meskipun tidak beramal. Pada bab 3 tentang Akal dan Kebodohan, dijelaskan bahwa orang berakal adalah orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, beramal untuk bekal di alam kubur sebelum ia dimasukan ke dalam kubur, dan Allah ridho kepadanya sebelum ia bertemu dengan Allah. Dalam bab 4 tentang Orang Fakir dan Dunia, dijelaskan bahwa kefakiran lebih baik dari semua kebaikan karena kefakiran mengandung enam perkara, tiga di dunia, yakni selalu senang bertambhanya ibadah, dan berkurangnya musuh, dan tiga di akhirat, yakni sedikit hisab, tercegah dari siksa, dan perolehan pahala. Sedangkan dalam bab 5 tentang Tawakal dan Tamak, dijelaskan bahwa tidak ada pemimpin di dunia selain tawakal, karena tawakal membebaskan seseorang dari kecemasan dan kesedihan. Selain itu tawakal juga merupakan amal yang utama dan wajib bagi kaum muslimin sebagaimana firman Allah “Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Tawakal juga lebih utama dari zuhud, karena zuhud tidak akan berhasil dengan baik kecuali disertai tawakal. Adapun tamak, adalah sama dengan syirik karena tamak menyebabkan syirik. Orang yang tamak tercegah dari semua kebaikan dan nikmat Allah.
Buku ini sangat bermanfaat dibaca terutama bagi kaum “Salik” (Penempuh jalan spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), maupun para pemula pengenal dunia tasawuf/thoriqah. Dengan membaca buku ini, kita menjadi semakin sadar mengenai adanya perbuatan-perbuatan maksiat (dosa) batin yang selama ini tanpa sadar sering kita lakukan, karena menganggap perbuatan-perbuatan maksiat (dosa) hanya terbatas pada bentuk zahir.