Kitab Asrar Al ‘Arifin; Tafsir Hamzah Fansuri atas Syair-syairnya

September 18, 2023 - 09:16
November 2, 2023 - 16:47
Kitab Asrar Al ‘Arifin; Tafsir Hamzah Fansuri atas Syair-syairnya

Asrâr Al-‘Ārifîn fî Bayân ‘Ilm al Sulúk wa al Tauhîd atau Rahasia Ahl Ma’rifah adalah kitab Hamzah Fansuri yang menjelaskan makna beberapa bait syairnya. Diketahui bahwa syair Syekh Hamzah Fansuri teramat banyak.

Di antara sekian syair tersebut, sebagian darinya ditafsir oleh murid beliau seperti Syamsuddin Sumatrani dalam Kitab Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syair Ikan Tongkol. Juga terdapat tafsir syair Hamzah Fansuri yang disalin ulang oleh Muhammad Yusuf Trengganu yang diyakini juga ditulis sendiri oleh Syekh Trengganu tersebut. Naskah tertua disimpan di Leiden, No. 7291 dan sudah ditransliterasikan oleh Doorbores (1933) dan Al-Attas (1970). Menurut Syarifuddin, Naskah ini juga terdapat dalam koleksi perpustakaan kuno Abu Dahlan Tanoh Abee, No. 663 Aceh Besar.

Selain ditafsir oleh muridnya, Hamzah juga menafsir sendiri syair-syairnya diantaranya 15 bait syair yang ditafsir dan diberi nama Asrar Al Arifin atau rahasia ahli ma’rifah (the secrets of the gnostic). Kitab ini menjelaskan lima belas bait syair milik Hamzah Fansuri. Kitab ini adalah tafsir mistik atas syair mistik, dimana penafsir dan pembuat syair adalah beliau sendiri. Kata Hamzah, bagi yang tidak memahami bagaimana makna syair, dapat menggalinya dari tafsirnya karena tafsir atas syair makrifat, juga merupakan makrifat.

Kitab Asrar Al Arifin membahas mengenai makrifat kepada Allah, baik makrifat Sifat maupun Asma’-nya. Menurut Hamzah, seorang yang menyembah Allah tapi tidak disertai dengan makrifat, maka ia tetap muslim akan tetapi imannya kurang. Begitu penting makrifat kepada Allah hingga Hamzah mengutip ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa,

Siapa yang di dunia buta (tidak mengenal Allah) maka di akhirat kelak ia juga buta (17:72).”

Bagi Hamzah, mereka yang tidak mengetahui Allah disebut awwam, mereka yang mengetahui Allah (dengan ilmu) disebut khash dan mereka yang mengenal Allah (dengan makrifat) disebut khawas al khawas.

Bait pertama, kedua, ketiga dan keempat berbicara mengenai Dzat Allah beserta ketujuh sifatnya. Hamzah menyebutkan bahwa walaupun mengetahui nama (asma’) itu penting (termasuk mengetahui sifat dan perbuatan Allah), tapi mengenal Yang Pertama (yaitu Khuni Dzat Allah) itu lebih penting. Hamzah menyebutkan,

“Yakni tatkala bumi, langit, arash, kursi, surga, neraka dan semesta belum ada, maka yang Ada ketika itu hanya Dzat Allah semata, sendiri tiada dengan sifat dan asma.”

Dzat itu disebut Huwa, kata tunjuk bagi Dzat tanpa sifat dan asma. Adapun nama “Allah” adalah himpunan seluruh Asmaul Husna, sama seperti nama “Muhammad” yang terhimpun di dalamnya, nama-nama mulia bagi baginda junjungan kita.

Menurut Hamzah, Allah itu “Qadim” yaitu suatu makna yang sulit dipahami kecuali oleh mereka yang sudah terbuka hijab (kasyf). Mereka yang sudah terbuka hijab mengumpamakan Qadim seperti buah yang bulat, tiada berujung, tiada berpangkal, tiada batasan awal dan tiada pula batasan akhir. Tiada depan, tiada belakang, tiada kiri dan tiada pula kanan, tiada atas dan tiada bawah. Perumpamaan lain seperti lingkaran yang tiada awal dan tiada akhir. Menurut mereka, Allah Ada beserta tujuh Sifat Qadim lainnya yaitu Hayyat, Ilmu, Iradah, Qudrah, Kalam, Sama’ dan Bashar.

Bait kelima menjelaskan mengenai Hakikat Muhammad. Ketika ilmu melihat ma’lumat, maka muncul hakikat Muhammad. Dan Hakikat Muhammad adalah yang pertama bercerai dengan Dzat. Ia disebut Ruh Idhafi (nyawa yang tersandar), terkadang disebut Aql Kulli (perhimpunan akal), Nur (cahaya), Qalam al-A’la (huruf tertinggi) dan Lauh al-Mahfuz (bentangan yang dipelihara tempat takdir manusia ditempa).

Bait keenam berbicara mengenai Tuhan yang Kamal (sempurna) dengan Sifat Jamal (indah) dan Jalal (perkasa)-Nya. Itu sebabnya walaupun Tuhan menciptakan surga tapi juga menciptakan neraka. Walaupun ia menciptakan kesalehan dan kebaikan tapi ia juga menciptakan kefasiqan dan keburukan. Maka (dengan Jamal dan Jalal Allah), baik dan buruk berasal dari Allah. Rahim adalah Jamal Allah dan Rahman Adalah Jamal Allah. Pun demikian, dalam perikehidupan manusia juga harus diyakini bahwa Allah hanya ridla kepada perbuatan baik dan tidak ridla pada perbuatan buruk.

Bait ketujuh dan delapan, menceritakan tentang ketinggian Allah yang tiada dapat diibaratkan. Allah tidak pernah berpisah dari Sifat-Nya, kekal selama-lamanya. Allah berfirman, “Kulla yaumin huwa fi sya’n, (55:29) yang artinya Allah senantiasa sibuk. Ia memberi bekas pada segala kejadian, memberi wujud pada sekalian alam, siang dan malam, tiada berhenti, senantiasa dan selama-lama. 

Bait kesembilan dan sepuluh menganalogikan Tuhan sebagai bahr al-amiq (laut yang dalam), tiada berhingga dan berkesudahan. Kuhni Dzat-Nya tiada dapat dideskripsikan sebagaimana ucapan Nabi, “Maha Suci Engkau, yang tiada dapat kami kenal dengan sebenar-benar kenal.” Ombak timbul tenggelam dalam pandangan, tapi dalam hakikatnya ia adalah tanda keabadian yang tiada bercerai dengan laut. Allah Swt. tiada bercerai dengan alam, tapi ia tiada di dalam dan tiada di luar alam. Dia tiada di atas, tiada di bawah, tiada di kiri, tiada dikanan, tiada di depan dan tiada di belakang. Dia tidak bercerai dan Dia tidak bertemu; Dia tidak dekat dan tidak pula jauh. Dengan kata lain, ombak dan laut keduanya terjalin, dari dalam laut ombak timbul, dan ke dalam laut ombak tenggelam. Dari dalam laut ombak datang dan ke dalam laut ombak kembali.

Bait kesebelas sampai empatbelas menjelaskan mengenai orang yang telah makrifat(tahu akan wujud) dan syuhud. Menurut Hamzah, orang yang telah mendapatkan “Wujud” akan menyaksikan keberadaan Allah dalam segala keadaan. Batinnya tidak terkait kepada apapun dan hanya terpaut kepada Allah semata. Orang yang demikian, telah fana dan mati rasa. Dan dalam keadaan fana, jangankan untuk mengingat diri, mengingat tuhanpun ia tidak mampu. Dia lenyap ke dalam Tuhannya, dan kesadaran ketuhananpun lenyap dari dirinya. Ibarat mutu (emas yang sudah menjadi perhiasan) yang lenyap di dalam emas, maka ia tidak lagi mengetahui, apakah ia emas atau mutu? Apakah ia seorang hamba atau Tuhan???

Terakhir, bait kelima belas Hamzah menganalogikan dirinya sebagai yang dlaif tapi tidak terpisah dari Dzat al-Sharif (Tuhan). Walaupun tubuhnya terlihat keras (seperti buih) karena asalnya air maka hakikatnya lembut juga (air). Seperti buih yang senantiasa terpaut (washil) dengan laut; Hamzah pun senantiasa terpaut dengan Tuhannya.

Penulis: Ramli Cibro (Dosen Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh)
Editor: Khoirum Millatin