Ornamen-ornamen Tarekat dalam Praktik Kebudayaan di Maluku

September 21, 2023 - 08:48
 0
Ornamen-ornamen Tarekat dalam Praktik Kebudayaan di Maluku

Dalam satu kesempatan yang lalu saya sempat bertemu Tuan Guru Chairudin Talaohu, Lc (Ketua JATMAN Maluku) dan menanyakan beberapa hal terkait perkembangan tarekat di Maluku. Saya bertanya, “Mengapa tarekat bisa berkembang di Maluku? Apa faktor utama hingga tarekat bisa berkembang di Maluku? Sejak kapan tarekat mulai masuk ke Maluku? Bagaimana ajaran tarekat melihat tradisi-tradisi bernuansa Islam yang sekarang ini dipraktikkan masyarakat muslim Maluku?” dan sederet pertanyaan lainnya. Bagi saya, jawaban Tuan Guru Chairudin atas sejumlah pertanyaan tersebut sangat mengesankan.

Akhir-akhir ini terdapat dua tarekat yang cukup kuat berkembang di Maluku terutama di Kota Ambon yakni Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) yang dibawa Tuan Guru Erwin Notanubun dan Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah yang di dawuh langsung oleh Tuan Guru Chairudin Talaohu. Dua tarekat ini banyak diminati berbagai kalangan terutama anak-anak muda yang sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah di Kota Ambon.  Kebanyakan anak muda ini berasal dari Leihitu, Pulau Seram, Buru, dan Tual. Antusias anak muda memasuki dunia tarekat menunjukkan kesan bahwa tarekat tidak hanya diminati kalangan orang tua-tua saja melainkan anak muda pun memiliki minat yang sama.

Minat terhadap tarekat dan ingin mendalaminya itu merupakan ekspresi keterpanggilan karena di dalam diri setiap manusia memiliki rasa rindu untuk kembali ke asalnya. Hal ini sebagaimana janji primordial manusia dengan Allah Swt. yang tertuang dalam Qs. al-A’rāf ayat 172,

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Berangkat dari rasa keterpanggilan tersebut maka banyak anak-anak muda mulai menaruh minat terhadap tarekat dan ingin mendalaminya. Meskipun belakangan ini berkembang stigma di tengah-tengah masyarakat muslim bahwa kita harus mendalami dulu syariat baru tarekat, stigma ini ditepis Tuan Guru Talaohu. Ia menjelaskan bahwa,

“Tarekat itu ya syariat itu sendiri, kedua-duanya tidak bisa kita pisahkan, karena ketika anda mendalami tarekat ya sekaligus anda mendalami juga syariat”. Dengan kata lain, minat anak muda terhadap tarekat tersebut sudah berada di jalan yang tepat.

Sebelum dua tarekat yang sudah saya sebutkan di atas itu berkembang di Maluku akhir-akhir ini, pada masa-masa awal (mungkin sekitar abad 11 atau 12 masehi) sudah berkembang beberapa ajaran tarekat di Maluku seperti Naqsyanbandiyah, Qodariyah, Rifaiyah, tapi penamaan di masyarakat belum ada masa itu. Tuan Guru Chairudin Talaohu menjelaskan,

“Konsep tarekat yang dibawa ialah mursyid dan suluk sehingga nama tidak dibutuhkan saat itu, hal ini terlihat dari lembar-lembar ijazah baiat yang ditemukan pada beberapa daerah di Maluku menunjukkan sebagian masyarakat muslim berbaiat pada mursyid namun penamaan tarekatnya tidak nampak ada pada lembaran tertulis tersebut.”

Setelah para mursyid meninggal dunia maka ajaran tarekat tersebut berubah menjadi kebudayaan yang dipraktikkan masyarakat muslim Maluku. Dengan kata lain, praktik kebudayaan yang berkembang di Maluku terdapat ornamen-ornamen tarekat di dalamnya. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengklaim praktik kebudayaan tersebut sebagai ajaran tarekat.

Tuan Guru Chairudin Talaohu menjelaskan, “Jika kita telusuri dari praktik-praktik budaya tentunya klaim tarekat tidak ada, kecuali setelah ada pembuktian tertulis pada ijazah sanad baiat yang diberikan mursyid pada si murid”. Lanjutnya, “Olehnya itu budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim tidak bisa diklaim sebagai ajaran tarekat tapi budaya sebagai ornamen peninggalan yang membuktikan bahwa ajaran tarekat itu sudah ada sejak dahulu kala di Maluku.”

Ulasan tersebut menunjukkan bahwa ornamen-ornamen tarekat yang ada dalam praktik setiap kebudayaan di Maluku adalah tarekat itu sendiri seperti Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan sejumlah tarekat lainnya yang belum diberi nama masa itu. Setelah para mursyid yang membawa tarekat ini meninggal dunia, para mursyid itu kemudian mewarisi praktik tarekat ini kepada masyarakat sehingga lambat-laun berubah menjadi kebudayaan yang belakangan ini tidak bisa diklaim sebagai ajaran tarekat lagi.

Tuan Guru Chairudin Talaohu menegaskan bahwa, “Kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim itu tidak bisa kita klaim sebagai ajaran tarekat karena mursyidnya sudah tidak ada. Meskipun demikian kita harus melindungi kebudayaan tersebut karena di dalamnya terdapat ornamen-ornamen tarekat yang dibawa para murysid masa lampau.”

Singkatnya, ornamen-ornamen tarekat yang ada di dalam kebudayaan di Maluku sekarang ini harus dilindungi, karena hadirnya kebudayaan tersebut tidak langsung jadi (taken for granted), melainkan melalui pergumulan sejarah yang lumayan panjang. Upaya melindungi kebudayaan yang dipraktikkan masyarakat muslim Maluku sekarang ini berarti sama halnya menghargai para mursyid yang waktu itu membawa ajaran tarekat ke Maluku.

Sikap saling melindungi inilah yang menurut Tuan Guru Chairudin Talaohu adalah ekspresi dari Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini sebagaimana visi Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) sebagai Badan Otonom (banom) Nahdlatul Ulama terkhusus di Maluku memiliki tujuan ialah melindungi dan melestarikan kebudayaan, bukan sekedar saling mengklaim yang berujung pada pertikaian dan kesalahpahaman.

Penulis: Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy (Ketua Pengurus Wilayah MATAN Maluku)
Editor: Khoirum Millatin

Jatman Online Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN) merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran at-thoriqoh al-mu'tabaroh.