Melayani dengan Cinta: Jalan Sunyi Kaum Sufi dalam Berkhidmat Kepada Guru

Dalam kehidupan kaum sufi, ada satu tradisi yang tampak sederhana tetapi sesungguhnya memuat samudra makna: berkhidmah kepada guru. Di jalan tasawuf, khidmah bukan sekadar etika sosial, tetapi jalan rohani yang menuntun murid dari kegelapan ego menuju cahaya cinta Ilahi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menulis:
Ungkapan ini bukan ancaman, melainkan peringatan halus bahwa perjalanan menuju Tuhan tidak dapat ditempuh hanya dengan logika atau pengetahuan. Diperlukan bimbingan seorang mursyid yang telah mengenal jalan, seperti seorang pendaki yang menuntun muridnya menapaki tebing-tebing spiritual dengan selamat.
Namun, bimbingan semacam itu hanya akan berbuah jika disertai khidmah, pelayanan penuh hormat dari murid kepada gurunya. Dalam khidmah, seorang murid melepaskan keakuannya, menundukkan kehendak pribadinya di hadapan kehendak guru, dan belajar mengenal makna cinta yang sejati.
Khidmah Sebagai Cermin Cinta
Dalam dunia modern, pelayanan sering diukur oleh imbalan. Tetapi bagi kaum sufi, melayani guru bukan transaksi, melainkan penyucian diri. Ia adalah latihan untuk meniadakan kepentingan pribadi demi kebahagiaan orang lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dalam Futuh al-Ghaib, menulis:
Kaum sufi percaya bahwa tidak ada ilmu yang menembus hati tanpa adab. Berkhidmah kepada guru berarti mengasah hati agar lembut, menumbuhkan rasa tawadhu’, dan menahan diri dari keberatan. Dalam setiap langkah melayani, ada latihan spiritual yang halus: menekan ego, menumbuhkan sabar, serta membuka ruang bagi cinta dan keikhlasan.
Kisah para wali memperlihatkan bahwa khidmah sering kali menjadi kunci pembuka maqam rohani. Dikisahkan, Sayyidina Ahmad al-Badawi setiap hari membersihkan sandal gurunya. Ia tidak pernah bertanya mengapa, tidak pula menunda. Dalam pengabdian kecil itu, ia merasakan ketenangan batin yang luar biasa. Dan kelak, justru dari tangannya lahir ribuan murid yang juga menapaki jalan ma’rifat.[3]
Jalan Sunyi Pengosongan Diri
Berkhidmah bukanlah tindakan lahiriah semata. Ia adalah riyadhah an-nafs, latihan jiwa untuk mengosongkan diri dari ego. Saat seorang murid menyapu halaman zawiyah gurunya atau menyiapkan air wudhu dengan penuh cinta, sebenarnya ia sedang membersihkan cermin hatinya sendiri.
Rumi dalam Matsnawi menulis dengan indah:
Makna bait ini begitu dalam. Guru adalah pancaran rahmat Ilahi. Namun rahmat itu hanya dapat memantul pada hati yang bening dan rendah hati. Dengan berkhidmah, seorang murid menyiapkan wadah jiwanya untuk menerima limpahan cahaya guru.
Dalam tarekat Naqshabandiyah, khidmah bahkan dianggap sebagai bentuk zikr khafi (zikir tersembunyi). Tidak dengan lisan, melainkan dengan tindakan. Membersihkan ruangan, melayani jamaah, atau sekadar mendengarkan petuah guru dengan penuh perhatian, semuanya adalah ibadah yang diam, namun bergema di langit.
Kaum sufi percaya, barakah seorang guru mengalir melalui pintu khidmah. Bukan banyaknya waktu bersama guru yang menentukan keberkahan itu, tetapi seberapa dalam pengabdian dan cintanya.
Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi meriwayatkan ucapan seorang sufi besar:
Kalimat itu menjadi rahasia para salik. Mereka tidak sibuk menonjolkan amalan, melainkan menundukkan diri dalam khidmah. Sebab di sanalah sirr, rahasia Tuhan, dapat turun ke hati murid yang tunduk dan bersih.
Berkhidmah juga menumbuhkan hubungan batin yang kuat antara murid dan guru. Dalam keheningan khidmah, murid sering merasakan getaran ruh gurunya yang menuntun tanpa kata. Itulah yang disebut rabithah, ikatan ruhani yang melampaui jarak dan waktu.
Pelayanan Sebagai Jalan Cinta
Dalam pandangan sufi, cinta kepada guru bukan bentuk pengkultusan. Ia adalah cermin cinta kepada Allah. Sebab, mencintai guru berarti mencintai sosok yang telah membimbing menuju Tuhan.
Rumi berkata:
Maka kaum sufi tidak pernah memisahkan khidmah dari cinta. Saat seorang murid menyiapkan air minum untuk gurunya, membersihkan ruangan, atau menemani dalam perjalanan dakwah, semua dilakukan dengan rasa syukur karena diberi kesempatan untuk melayani kekasih Allah.
Bagi mereka, setiap tindakan kecil dalam khidmah adalah bentuk zikir. Sapu yang digerakkan dengan cinta menjadi tasbih. Air yang dituangkan dengan niat ikhlas menjadi tahmid. Senyum yang diberikan kepada guru menjadi doa yang melangit.
Di tengah dunia modern yang serba cepat dan penuh kebisingan ego, tradisi khidmah kaum sufi terasa seperti oase. Ia mengingatkan kita bahwa kehormatan sejati bukanlah dalam dilayani, melainkan dalam melayani. Berkhidmah mengajarkan keheningan batin: bahwa dengan melayani guru, kita sedang dilatih untuk melayani kehidupan itu sendiri, tanpa pamrih, tanpa syarat.
Seorang murid sejati akhirnya menemukan, bahwa guru tidak memerlukan pelayanan lahiriah, tetapi ingin melihat bagaimana muridnya tumbuh menjadi pribadi yang lembut, ikhlas, dan beradab. Guru hanya perantara; yang sesungguhnya dilayani adalah Allah.
Sebagaimana kata Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
Dan di situlah hakikat khidmah kaum sufi: melayani dengan cinta, agar kelak layak dicintai oleh Sang Maha Pencinta.
Wallahu A'lamu Bi ash-Shawab
Daftar Pustaka
1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din, Jilid I, “Kitab al-‘Ilm”, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2005, hlm. 53.
2. Al-Jailani, Abdul Qadir. Futuh al-Ghaib (Revelations of the Unseen), Trans. Muhtar Holland, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1992, hlm. 37.
3. Asmaran, H. Biografi Wali-Wali Allah dalam Tradisi Sufi Mesir dan Maghribi, Jakarta: Pustaka Al-Hidayah, 2012, hlm. 112–113.
4. Rumi, Jalaluddin. The Masnavi I Ma’navi, Book II, terj. R.A. Nicholson, London: Luzac & Co., 1925, hlm. 158 (bait 3241–3243).
5. Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, hlm. 61.
6. Rumi, Jalaluddin. Mathnawi: Spiritual Couplets, Book VI, terj. E.H. Whinfield, Delhi: Motilal Banarsidass, 1974, hlm. 214.
7. Al-Jailani, Abdul Qadir. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hlm. 122.