Idul Adha sebagai Lompatan Spiritualitas, Refleksi Kemanusiaan

Jakarta, JATMAN Online – Idul Adha yang kita peringati tiap tahun, adalah limpahan keberkahan dan kegembiraan yang luar biasa. Meski, pada akar sejarahnya, Idul Adha diselimuti kesedihan dari proses pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail: kepasrahan dan ketundukan paripurna kepada Allah.
Setiap tahun, kita merayakan Idul Adha dengan penuh kekhidmatan. Hari raya yang juga dikenal sebagai Hari Raya Haji ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi sebuah momen yang mengajarkan nilai-nilai spiritual yang mendalam. Ibadah kurban yang menjadi inti dari Idul Adha bukan hanya tentang pengorbanan hewan, tetapi juga tentang pengorbanan diri untuk kebaikan sesama dan hubungan yang lebih erat dengan Sang Pencipta.
Ibadah kurban mengajarkan kita untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan pribadi, tetapi juga kebutuhan orang lain di sekitar kita. Ketika seseorang memilih untuk berkurban, ia mengorbankan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya berbagi rezeki dan menjalin kepedulian sosial dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Idul Adha tidak hanya menjadi momen untuk merayakan kebesaran Allah, tetapi juga untuk merenungkan bagaimana kita dapat berkontribusi lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan bersama.
Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang selalu kita peringati, akar sejarahnya tertaut dengan kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil.
Dikisahkan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban. Hal ini tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 37:
"Lan yanaala Allahu luhumuha walaa dimaauha walakin yanaaluhu at-taqwa minkum".
(Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya, QS Al-Hajj: 37).
Menuju Puncak Spiritualitas
Spiritualitas Idul Adha juga tercermin dalam kesiapan seseorang untuk mengorbankan yang dicintainya demi menaati perintah-Nya. Kisah Nabi Ibrahim yang siap untuk mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allah, menunjukkan tingkat kepatuhan dan kepercayaan yang luar biasa. Meskipun pada akhirnya Allah menggantinya dengan seekor domba, peristiwa tersebut menegaskan pentingnya taat kepada-Nya bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, kepatuhan seperti ini mengajarkan kita untuk menerima ujian dengan lapang dada dan menguatkan ikatan spiritual kita dengan Allah.
Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Idul Adha mengajarkan bahwa cinta kepada Allah tidak hanya tercermin dalam doa-doa kita, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk kebaikan umat manusia. Ibadah kurban memberi pelajaran tentang pentingnya menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung. Dengan berbagi rezeki melalui kurban, kita tidak hanya menghidupkan semangat gotong royong, tetapi juga meneguhkan ikatan sosial dan spiritual dalam komunitas.
Namun, di balik keindahan dan kekhidmatan Idul Adha, terdapat tantangan-tantangan baru dalam menjalani ibadah tersebut di tengah dinamika masyarakat modern. Globalisasi dan perkembangan teknologi membawa perubahan signifikan dalam cara kita memahami dan melaksanakan ibadah ini.
Lalu, bagaimana kita mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan konteks zaman now menjadi suatu pertanyaan yang penting. Penting untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan adaptasi dengan perkembangan zaman agar makna spiritualitas dari ibadah kurban tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selain itu, semangat pengorbanan dalam ibadah kurban juga dapat diartikan sebagai simbol perjuangan untuk mengatasi egoisme dan keserakahan dalam diri. Ketika seseorang rela mengorbankan bagian dari harta yang dimiliki untuk orang lain, itu adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih kuat di dalamnya. Dalam konteks ini, Idul Adha mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya diperoleh dari kesenangan materi, tetapi juga dari kepuasan batin yang timbul dari rasa kasih sayang dan kedermawanan kepada sesama.
Sebagai sebuah lompatan spiritualitas, Idul Adha mengundang kita untuk merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam. Dalam berbagai aspeknya, ibadah kurban memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan hati, rasa syukur, dan tanggung jawab sosial. Ia juga mengajarkan kita untuk selalu bersikap rendah hati dalam menghadapi kesulitan hidup, serta menumbuhkan semangat untuk saling menguatkan dalam komunitas.
Idul Adha bukanlah sekadar hari raya yang diwarnai oleh tradisi dan kebiasaan belaka, tetapi lebih dari itu, ia adalah cerminan dari kekuatan spiritualitas yang mendalam dalam agama Islam. Dengan merayakan Idul Adha, kita menghormati warisan spiritual yang diberikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, serta meneguhkan komitmen untuk mengikuti jejak keteladanan mereka dalam menjalani kehidupan ini dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.
Menjadi Pribadi Paripurna: Berkorban dan Melayani Sesama
Kita semua perlu merefleksikan, bahwa Idul Adha adalah momentum berharga untuk merayakan nilai-nilai ibadah kurban yang mengajarkan tentang pengorbanan, kepatuhan, empati, dan cinta kasih. Semangat spiritualitas yang tercermin dalam ibadah ini mengajak kita untuk terus meningkatkan kualitas kehidupan spiritual dan sosial kita, serta menjaga kebersamaan dan persatuan umat manusia di tengah dinamika perubahan zaman. Dengan demikian, mari kita sambut Idul Adha dengan hati yang lapang dan semangat yang membara untuk menjadikannya sebagai momen transformasi spiritual yang bermakna bagi kita semua.
Puncak spiritualitas umat manusia sejatinya ketika kita berani dan mampu untuk berkorban: menyingkirkan emosi, egoisme, nafsu kekuasaan, hingga kerasukan atas harta. Untuk mendekati Nur Ilahi dan Nur Muhammad, manusia perlu membersihkan diri, mengorbankan nilai-niali negatif menuju pribadi yang punya Kompas moral, pribadi yang berkhidmah, melayani dan berbakti untuk sesama. Bahwa segala kekuasaan yang kita miliki, muaranya adalah untuk kebaikan umat manusia dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Inilah puncak dari spiritualitas: berkhidmah dan melayani kemanusiaan. (*).
Dr. M. Hasan Chabibie
Kepala BKHM Kemendikbudristek; Penjabat Bupati Kudus-Jawa Tengah; Ketua Umum MATAN