Memahami Wajah Tasawuf Al Jili

Wajah tasawuf Abdul Karim al Jili lebih bermuara pada Tasawuf Uluhi (Tasawuf Ketuhanan). Fikrahnya banyak difokuskan pada kajian-kajian subtansial ketuhanan. Hal itu bisa dimaklumi karena al Jili hidup pada masa periode ketiga jagad tasawuf Islami, yang disebut era Tasauf Falsafi.
Tidak seperti kebanyakan tokoh-tokoh sufi “Masa Falsafi” yang memiliki karakteristik (teori) pemikiran tersendiri, seperti Syihabuddin Suhrawardi dengan Teori Isyraqiyah-nya, Ibnu Arabi dengan Teori Wahdat al Wujud-nya, Ibnu Sab’in dengan Teori Ittihad-nya, Ibnu Faridi dengan Teori Cinta, Fana’ dan Wahdat as Syuhud-nya.
Abd Karim al Jili lurus-lurus saja fikrah tasawufnya. Boleh jadi sebab kelurusan fikrah al Jili itu disebabkan ia terlahir dari klan Syeikh Abdul Qadir al Jilani, yang memiliki tradisi tasawuf yang mengakar dan mendasar. Bisa pula karena kedalaman Riyadlah dan Mujahadah serta ‘kenyang’nya al Jili dalam pengembaraan ritual, sehingga la bisa menyeimbangkan antara Tasawuf Uluhi dengan Tasawuf Akhlaqi dalam dirinya.
Al Jili memang pantas disebut sebagal sosok yang berhati sufi dan berakal filosof. Di samping sebagai pemikir produktif, al Jili juga seorang pegiat ibadah yang tekun. Unsur tawazunitas (keseimbangan) itu tidak saja terlihat dari perilaku dan kepribadiannya, namun juga pada karya-karya tulisnya.
Setidaknya dari karya “Insan Kamil” ini kita bisa melihat ‘ikhtiar’ al Jili dalam membumikan ke’angker’an dogma-dogma alam ketinggihan yang selama ini oleh sebagian orang dianggap ‘sakral’ untuk dikupas dengan pisau logika. File-file kesakralan langit yang selama ini terprotek passwordnya, oleh al Jili diturunkan dan dibuka lalu dibumikan di ranah logika. Dengan begitu hakikat yang selama ini terpendam di dasar logika bisa disibak. Namun al Jili mengingatkan logika hanya sekedar alat dan bersifat sekunder. Adapun untuk memahami kesejatian segala sesuatu adalah dengan Mukasyafah (pengetahuan intuitif), tanpanya mustahil orang bisa menemukan hakekat makrifat.
Wajah Tasawuf al Jalli, laksana sumber energi baru di jagad tasawuf Islami. Selama ini tasawuf Islam selalu divonis sebagai anti Intelektualisme bahkan tasawuf dijadikan kambing hitam sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Vonis semacam itu tidak akan pernah lahir jika sang pem-vonis tidak membenturkan pengetahuan Intuitif (dzauqiyah) dengan pengetahuan rasional (aqliyah) secara dikotomis.
Intuisi dan akal bersumber dari akar yang sama, bahkan keduanya saling mengisi (Interaktif). Hanya saja, akal hanya mampu menangkap kebenaran secara sepotong- potong (parsial), sedang Intuisi mampu menangkap kebenaran secara utuh. al Jili sangat memahami realita tersebut. Ia tidak menafikan peran akal untuk menggapal pemahaman sejati, hanya saja al Jili memposisikan akal sekedar ‘alat’ dan bersifat sekunder, sebab makrifah hakiki di mata al Jili hanya bisa digapai dengan pengetahuan Intuitif (dzauq).
Nuansa baru yang ditaburkan al Jili di jagad tasawuf Islam adalah dalam meniti jalan Allah. la berusaha memberi porsi akal (logika) sesual peran dan fungsinya, di samping konsistensi laku suluk (olah rohani), itu berarti ia juga memeras tenaga (olah batin) dan memeras otaknya (asa otak). Ketajaman mata hati akan lebih cepat melesat ke jantung makrifah hakiki Jika fungsi dan peran akal difungsikan sesuai porsinya.
al Jili sepertinya hendak menuntun ummatnya menjadi manusia yang berhati sufi dan berotak filosof, dengan tetap memegang teguh prinsip, “Untuk menggapal Makrifatullah adalah dengan dzauq al wujdan (intuisi) bukan dengan aql (akal) dan logika pikir.”
Seorang yang belum pernah tersentuh capaian-capaian spritual, akan terbutakan mata hati dan pikirnya dalam menangkap isyarat-isyarat, metafora dan paradoks sufisme. Ujaran dan perilaku sufistik, memang tidak sepenuhnya bisa dipahami dari makna lahirnya, maksud sesungguhnya justru sering tersimpan dalam makna batinnya. Sementara kebanyakan orang (kalangan non sufi) terlalu percaya pada makna dan simbol-simbol verbal dengan mengabaikan fungsi sugestinya. Tanpa menelisik makna makna batin dan pesan tersirat (madzluliyah) ujaran-ujaran pun perilaku sufistik, kita akan mudah terpeleset dalam kekeliruan serius.
Maka langkah yang paling arif dilakukan guna menyikapi keganjilan ungkapan dan perilaku sufistik adalah dengan mentradisikan husnudzan (pikiran positif), agar kita tidak terjebak ke dalam pemaknaan simbolistik dan sikap formalistik. Terkait dengan ini ada baiknya kita simak bait puisi sufi,
Ilmu adalah huruf
yang tidak terungkap kecuali dengan perbuatan
Dan perbuatan adalah huruf yang tidak terungkap kecuali dengan ketulusan hati
Dan ketulusan adalah huruf yang tidak terungkap kecuali oleh kesabaran
Dan kesabaran adalah huruf yang tidak terungkap kecuali dengan penyerahan
Penulis: Tgk selamet Ibnu Ahmad (Mudir JATMAN Idarah Syu’biyyah Kab. Bener Meriah, Aceh)
Editor: Khoirum Millatin